31.12.16

Kenapa Harus Bayar, Ketika Allah Janjikan Surga ..??

 Yogyakarta,2011

Amplop coklat berada di genggaman. Perlahan – lahan ujung amplop dirobek, dan sangat berhati –hati agar benda di dalamnya tidak ikut sobek. LULUS. Sebuah kata yang ditulis dengan huruf kapital, dan center berada di tengah paragraf. Satu kata yang terlah dinanti selama berjuang enam hari lamanya. Satu kata yang dihasilkan selama tiga tahun lamanya belajar. Syukur bergumam dari bibir si gadis tambun.
Kehidupan sesungguhnya baru dimulai. Gadis ini bimbang apa yang harus dilakukan, setelah usai pendidikan menengah atasnya. Seorang teman membuka percakapan. Menanyakan tujuan selanjutnya. Si Tambun mengungkapkan, “embuh.. lah…”, gaya santainya dalam bahasa jawa, yang berarti entah lah. Teman ini mengatakan sebuah hal yang akan selalu di kenang si gadis selamanya.
***
Adik kecil dengan senyum manis mengetuk pintu rumah ku. Teriak nya di depan pintu, “mbakkk…. Ayoo ngaji”, “iya.. sebentar, ajak teman yang lainnya dulu yaaa, nanti ketemu di Masjid,”, teriak ku dr dalam rumah. Ku dengar sudah tak ada cuap – cuap manja diluar. Bismillah bergumam dalam hati dan melangkah keluar menuju tempat istimewa bersama adik – adik yang istimewa pula.
Sudah satu minggu mengajar di Taman Pendidikan Al Quran di Masjid kampung sebelah. Melihat semangat adik – adik yang tak pernah redup untuk belajar ayat Nya. Membuat hati ini trenyuh dan merasa malu. Sudah 18 tahun hidup namun masih datar – datar saja pengetahuan ku tentang agama Nya. Membaca kalamNya pun dapat terhitung jari dalam satu tahun. Berbeda dengan mereka, malaikat kecil yang diberikan Allah untuk membukakan mata hati ku.
“sudah faham ya adik – adik, besuk kita ulangi lagi untuk makhrojul hurufnya, kita tutup dengan berdoa,” ku tutup kelas sore ini. Nikmatnya berjuang dijalan Mu ya Rabbi. Membina sebuah madrasah kecil yang hanya 6 orang santri dari warga sekitar. Selly salah seorang santri berlari tergesa – gesa mengambil air wudhu. Melewatiku dengan permisi, “permisi mb”, izin nya. Iseng aku menanyakan padanya, “dek… kog teman – teman yang lain gak pada mau Ngaji kenapa ?”, tanyaku. Aku selalu merasa aneh, kampung sebesar ini, jumlah anak kecik dan remajanya hampir 100 orang. Namun yang berniat mengaji di TPA atau madrasah yang lain, hanya 6 – 10 orang. Kemana mereka yang lainnya?. “wah, maaf mbak aku ngak tau,”jawab selly menyadarkan ku.
Penasaran memuncak kuberanikan melakukan interview ringan kepada anak – anak yang aku temui ketika sepulang mengajar dari masjid. Adnan, salah satu anak yang sudah hampir beranjak remaja, usianya sekitar 9 tahun. Rapport ku bangun, dengan berbasa – basi menanyakan sepakbola, karena terlihat Ia membawa bola. “Nan, kog gak ikut TPA di Masjid sih, kan seru banyak temennya, dan berguna lho.. besok kalau ujian membaca Qur’an di sekolah sudah lancar, karena sering TPA di masjid”, tanya ku panjang lebar. “gak mau ah mbak.. kan TPA bayar, orang tua ku gak punya uang,” jawabnya. Seketika bulu kudu merinding mendengarnya. Membayar. Selama ini memang anak dibebankan uang untuk menunjang operasional TPA setiap bulannya, namun nominalnya tidak sebersar sekolah formal pada umumnya. Dalam hati masih berfikir, dengan biaya serendah ini saja, banyak anak yang tidak mau mengaji. Kenapa bisa begini ?.
Rapat dadakan dengan pimpinan madrasah saya agendakan, dengan mendesak, seperti Laksamana muda maeda meminta pak Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan. Rapat membahas mengenai usulan saya agar Biaya dari santri di tiadakan. Namun, menggantikan biaya dari santri itu dengan cara lain yang tidak memberatkan santri. Usul saya diterima. Langsung saja tanpa menunda, saya membuat pengumuman kecil dalam kertas ukuran A6, menyatakan bahwa TPA sekarang Gratis, tidak bayar sama sekali. Kenapa saya berani memutuskan seperti ini, karena Allah pasti akan menepati janjinya.
Masih selalu kita ingat, bahwa ada 3 amalan yang tidak akan terputus ketika kita telah tiada. Ilmu yang bermanfaat salah satunya. Kenapa kita harus berharap materi bila Allah sudah jelas menjanjikan surganya. Kenapa kita mengharap rizki dari ilmu yang memang sudah seharusnya kita bagi kepada yang lainnya. Ilmu yang terbagi sampai kapanpun tak akan pernah hilang.  Itu yang akan menolong kita di zaumul mizan nantinya.
***
Lagu islami berkumandang dari TOA masjid. Kaki – kaki kecil berlarian menghampiri sumber suara. Senangnya hati dan mata ini, melihat pemandangan yang begitu langka sebelumnya. Enam orang  santri yang dulu, berubah menjadi 35 santri yang siap memakmurkan agamaMu. Hanya mampu bergumam dalam hati, inilah sedikit aksiku untuk memperkenalkan agamamu kepada malaikan kecil di dunia ini.
Sudah tidak ada kata lagi, bahwa belajar mengaji harus membayar. Tidak ada lagi bermalas – malasan kemasjid hanya karena biaya. Yang ada kali ini hanya canda gurau selepas membaca kalamMU. 35 santri yang akan siap menyelamatkan agamaMu di kemudian hari. Bismillah.
Teringat perkataan teman ku waktu itu, “ngajaro TPA, selagi during kerjo, ora ono rugine ngajar TPA iku. Ilmumu kanggo guno, entuk pahala, manfaat kanggo liyane, lan mesti dilancarke karo Allah, opo sek tok karepke lan tok sebut nang dongomu,” (Ngajarlah TPA, selagi belum dapat pekerjaan, gak ada ruginya kog, ilmu yang didapat bermanfaat, dilancarkan oleh Allah semua yang kamu inginkan dan doakan). Benar adanya, berkat doa dari adik – adik kecil itu, tidak selang dua bulan, panggilan interview ke sebuah perusahaan swasta di Yogya menghampiri telpon ku. Tawaran kerja ke luar pulau pun datang melamarku. Tidak hanya itu, beasiswa untuk melanjutkan study juga mampir dalam kehidupanku. Betapa Allah member dua kali lipat dari janjinya. Barangsiapa menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya. Tak hanya surga, dunia pun di dapat. 



(Sri Mulyaningsih, Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ’45 Yogyakarta)

0 komentar:

Posting Komentar