21.6.24

ESSAY 6_PSIKOLOGI LINGKUNGAN OLEH IRVAN DWIKURNIAWAN


BERKUNJUNG KE TPSP RANDU ALAS

Dosen Pengampu : Dr. Dra. ARUNDATI SHINTA, M. A.

Oleh : 

NAMA :  IRVAN DWIKURNIAWAN

NIM : 22310410135

KELAS : SP

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 

YOGYAKARTA


Beberapa bulan terakhir ini masyarakat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ramai membahas dan memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah sampah yang diperparah dengan penutupan TPST Piyungan. Pemerintah mulai terlihat huru-hara dalam mengupayakan kebijakan cepat dan tepat untuk segera menyelesaikan masalah sampah ini. Selan itu, protes warga menimbulkan tekanan emosional terhadap pemerintah yang dikejar waktu, dikejar janji, dan dikejar gengsi sebagai kota yang "istimewa namun sayang darurat sampahnya".

Huru-hara memunculkan polemik baru. Kebingungan masyarakat mengolah sampah menghasilkan masalah baru, ketidakmampuan masyarakat mengolah sampah secara mandiri memicu tindakan oknum masyarakat menumpuk sampah di pinggir jalan dan berakibat pada munculnya "wisata baru" khas Jogja; "bukit-bukit sampah"

Penumpukan sampah di beberapa titik di kota Jogja memperburuk kecemasan dan diprediksi pemicu gesekan sosial masyarakat dengan topik yang baru akibat sampah. Sampah kini menjadi barang yang ditolak di mana-mana. TPS di tingkat kelurahan ditutup dan sampah warga tak tahu bisa dibuang di mana, akibatnya trotoar kota yang rapi dan indah khas Jogja kini berubah menjadi "bukit-bukit" sampah.


Munculnya masalah sampah di Yogyakarta tentu bukan fenomena baru yang mulai dibicarakan tiga atau empat bulan terakhir. Sejak 2022 sampai 2023 penutupan TPST Piyungan telah dilakukan beberapa kali sebagai upaya pemerintah untuk melakukan perluasan dan pembukaan lahan transisi di TPST Piyungan. Lantas, saat ini tampaknya pertanyaan perlu diajukan kepada pemerintah mengenai kebijakan penutupan TPST Piyungan, apakah telah menyelesaikan masalah, atau malah sebaliknya penutupan itu untuk pembukaan lahan transisi hanya menunda waktu terjadinya masalah darurat sampah di Yogyakarta.

Situasi Yogyakarta dengan status darurat sampah tentu merupakan sebuah kalkulasi dari kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat, dan prioritas pemerintah yang tampaknya tak tuntas dalam menyelesaikan masalah sampah. Sejak munculnya masalah ini, langkah yang paling sering dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan perluasan atau penambahan lahan transisi pada TPST Piyungan yang tentunya tidak menyelesaikan masalah itu sendiri.

 Bertepatan pada Sabtu, 4 Mei 2024, kami mahasiswa semester 3 Psikologi, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta melakukan kegiatan pembelajaran dan berkunjung ke TPSP Randu Alas di Ngaglik, Sleman. 


TPS Randu Alas memainkan peran yang krusial dalam sistem pengelolaan sampah di Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini Pak Sujono ditunjuk sebagai narasumber yang merupakan salah satu perwakilan pengurus dari TPSP ini, beliau menjelaskan bahwa Randu Alas mengelola sampah daro 400 kepala rumah tangga disekitar TPSP ini, TPSP ini menerapkan 3R yaitu Recycle, reduce dan rejuce. Tujuan dari TPSP Randu Alas adalah Mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) melalui pemilahan, daur ulang, dan pengolahan organik, mendorong masyarakat untuk lebih sadar dan terlibat dalam pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, mengolah sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis seperti kompos dan material daur ulang.

Tantangan yang dihadapi TPSP Randu Alas saat ini adalah :

  • Kesadaran Masyarakat: Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemilahan sampah. 

  • Keterbatasan Teknologi dan Dana: Keterbatasan dalam teknologi dan pendanaan untuk operasional dan pengembangan TPSP..

  • Manajemen Pengelolaan : Koordinasi yang efektif dalam pengumpulan dan pengangkutan. 

 


0 komentar:

Posting Komentar