20.7.22

KEKUASAAN DAN MORALITAS MENURUT PANDANGAN MACHIAVELLI

 


Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial

Semester Genap T.A 2021/2022

Oleh :

Anisa Zakiatun Nufus (21310410083)

Kelas A (Reguler)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

Dosen Pengampu:

Dr. Arundati Shinta, M.A.


      Niccolo Machiavelli adalah seorang filsuf abad modern yang cukup dikenal dalam ilmu politik. Niccolo Machiavelli lahir di Florence, tahun 1469, disebuah kota yang berdiri sendiri, pada zaman renaissance (abad pencerahan). Machiavelli adalah seorang tokoh filsafat dan politikus, yang hidup di era abad ke-18. Tokoh ini sangat terkenal dengan sebutan bapak politik modern. Sebagai seorang politisi sekaligus mantan praktisi pemerintahan, ia telah banyak melahirkan perubahan-perubahan, baik melalui pemikirannya maupun kerja praktisnya. Bahkan ia sering disebut sebagai pendiri filsafat politik Modern (Roeck, 2015).

      Wacana moralitas dan kekuasaan senantiasa mengemuka dalam kajian konsep politik. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang di inginkan, atau kemampuan untuk membuat sesuatu yang terjadi pada orang lain menurut keinginan penguasa. Di satu sisi kekuasaan memiliki nilai ideal sebagai sarana perwujudan aspirasi dari semua anggota suatu organisasi. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek politik pemimpin atau penguasa yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan terlibat dalam perdebatan nilai dan praktek. Nilai ideal terkait dengan tuntutan moralitas yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin. Sementara pada kenyataannya, kekuasaan menghadirkan fenomena yang sulit dan kompleks, yaitu hanya menguntungkan dalam kebutuhan pribadi sang pemimpin dan anak buah dalam organisasinya saja. Pemikiran Niccolo Machiavelli identik dengan kondisi tersebut.

      Persoalan yang timbul adalah, ternyata sampai sekarang pun masih banyak pemimpin yang mempunyai karakter seperti apa yang digambarkan oleh Machiavelli, dan itu berdampak juga pada karakter anak buah atau karyawan dari organisasi tersebut. Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang terpisah. Asumsi moral dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. Moralitas merupakan bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat. Penguasa yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuannya adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai.

      Para pemimpin organisasi yang beranggapan sama seperti  Machiavelli bisa menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya, tanpa mementingkan moral sebagai landasannya, terlebih lagi, ketika berhadapan dengan pihak eksternal organisasi, tidak selalu untuk diri sendiri, kadang pemimpin yang memiliki karakter seperti pendapat Machiavelli saat mendapatkan keuntungan finansial yang didapat atau dimanipulasi dari pihak eksternal tersebut kemudian diberikan untuk kesejahteraan semua anak buah organisasi. Ini dilakukan demi ‘membeli’ kesetiaan anak buahnya dan melanggengkan kekuasaannya.

      Padahal, dalam pemikiran lain, seperti Russell dan Kant memposisikan moralitas sebagai landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Hal ini juga berarti bahwa hubungan moralitas dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal, yakni kemanusiaan.

      Karena itu, persoalan yang harus dijawab adalah bagaimana sikap pemimpin yang seharusnya dan apa yang harus dilakukan sebagai anggota organisasi jika memiliki pemimpin seperti yang digambarkan oleh Machiavelli.  Sebagai pemimpin  seharusnya menyadari bahwa hubungan moralitas dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Sehingga pemimpin tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sebagai anggota organisasi harus juga memiliki karakter yang kuat, tidak selalu menerima begitu saja apapun ketentuan dari pemimpin, apalagi didapat dari cara yang salah,  dan harus memiiki kesadaran tentang moralitas agar jalannya organisasi bisa positif.

      Jika antara pimpinan dan anggota organisasi sudah memiliki kesadaran akan moralitas dalam menjalankan organisasi, tentu organisasi akan berjalan dengan baik dan tanpa ada kecurangan serta tidak merugikan pihak lain.

 


Daftar Pustaka

Dr. Firdaus Syam,M.A. (2010).  Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Ed.1,Cet.2. Jakarta: Bumi Aksara. h.105

Henry J. Schmandt. (2009) Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen. Jogjakarta:Pustaka Pelajar. h.87

Roeck, B. (2015). Renaissance. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition. Diakses pada 20 Juli 2022, dari https://doi.org/10.1016/B978-0-08-09 7086-8.62010-X

John R. Schemerhorn, at all. (1998). Basic Organizational Behavior. Osborn, 2nd edition. h.195.


0 komentar:

Posting Komentar