STRATEGI ADAPTASI DI LINGKUNGAN YANG BARU AGAR TIDAK MENGALAMI CULTURE SHOCK
Essay Syarat Mid Semester Psi Lingkungan
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA
Oleh:
Langgeng Dwi Hartono (20310410063)
Psikologi B
Mata Kuliah: Psikologi Lingkungan
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Adaptasi pada situasi lingkungan daerah yang
baru merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seseorang jika ingin tetap
survive. Hal ini tentunya dibutuhkan
oleh setiap orang yang baru pindah dari daerah lama ke daerah yang baru. Alasan
orang pindah biasanya ada beberapa hal, yakni perihal pendidikan, pekerjaan,
dan bencana alam. Ketika memasuki tempat tinggal atau daerah yang baru bearti sama
halnya memasuki lingkungan yang asing. Seseorang biasanya akan timbul perasaan
aneh, cemas, malu, dan canggung, karena memasuki suatu culture atau budaya dan
kebiasaan yang baru. Gejala seperti ini biasanya disebut dengan culture
shock atau gegar budaya.
Menurut Oberg (dalam Ridwan, 2016), culture
shock atau gegar budaya adalah sebuah penyakit yang diderita karena hidup
di luar lingkungan budayanya, dan dalam proses untuk menyesuaikan diri di
lingkungan barunya. Pengertian lain tentang gegar budaya menurut Lundstedt
(dalam Ridwan, 2016) adalah bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri (personality
mal-adjustment) yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru.
Gegar budaya seringkali dianggap sebagai
suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diterima
orangorang yang secara tiba-tiba harus pindah atau dipindahkan ke lingkungan
yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh
kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang telah diakuisisi di dalam
pergaulan sosial awal. Petunjukpetunjuk dalam pergaulan berbentuk katakata,
isyarat, ekspresi wajah, kebiasaankebiasaan, atau norma-norma, yang diperoleh
dalam perjalanan hidup sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing,
semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia akan kehilangan pegangan lalu
mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama ia akan menolak lingkungan yang
menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu, dengan menganggap
kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Ia cenderung mencari
perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman dari tempat asal yang sama,
kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut
streotipe dengan cara negatif.
Orang yang mengalami gegar budaya di lingkungan yang baru memiliki beberapa gejela atau tanda, menurut Guanipa (dalam Niam, 2009) gejalanya adalah:
Timbul perasaan kesedihan, kesepian, dan kelengangan;
Preokupasi (pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan;
a. Kesulitan atau gangguan tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit.
b. Perubahan perilaku, tekanan atau depresi.
c. Muncul kemarahan, sifat cepat marah, keengganan untuk berhubungan dengan orang lain.
d. Mengidentifikasikan dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama.
e. Kehilangan identitas.
f. Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru.
g. Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana.
h. Tidak percaya diri.
i. Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan.
j. Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru.
k. Mengembangkan obsesi seperti overcleanliness.
l. Rindu keluarga.
a. Fase Bulan Madu, yang berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Fase ini paling disukai oleh semua orang karena individu merasakan kesenangan layaknya pasangan yang sedang berbulan madu yang belum menemui kesulitan dalam menjalani situasi baru.
b. Fase Pesakitan, yaitu masa krisis yang
dialami individu karena lingkungan baru mulai berkembang. Pada fase ini, ia
dihadapkan pada keadaan yang sangat sulit, sehingga timbul perasaan yang tidak
nyaman, kegelisahan, rasa ingin menolak apa yang dirasakan tapi tidak bisa
berbuat apa pun. Pada fase ini, individu merasa sendiri, terpojok, dan bimbang.
Karena perubahan lingkungan yang dirasakan, ia mendapati halhal yang tidak
diinginkan ada di lingkungan yang baru. Pada tahap ini, ada perasaan kehilangan
simbol-simbol, adat kebiasaan yang dulu menjadi identitas dirinya. Ia
dihadapkan pada suatu keadaan yang berlawanan.
c. Fase Adaptasi menempatkan individu yang
mulai memahami budaya barunya. Pada fase ini, ia mulai dapat memprediksi
peristiwa dalam lingkungan baru sehingga hal itu tidak lagi terlalu terasa
menekan.
d. Tahap terakhir, Fase Penyesuaian Diri
adalah fase saat individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya. Ia
tidak lagi mendapatkan kesulitan berarti lagi karena telah melewati masa
adaptasi. Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya
disertai dengan rasa puas dan menikmati.
Gegar budaya ini dapat timbul atau muncul berdasarkan beberapa faktor. Menurut Parrillo (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi gegar budaya adalah:
a. Pertama, faktor intrapersonal yang meliputi keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam konteks lintas budaya), karakter personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Ciri fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi.
b. Faktor berikutnya berkaitan dengan variasi
budaya, yang memengaruhi transisi individu dari satu budaya ke budaya lain.
Culture shock terjadi dengan lebih cepat jika kedua budaya sangat berbeda, hal
ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam
masyarakat, dan bahasa.
c. Faktor ketiga melibatkan manifestasi sosial politik, karena sikap dan karakter masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotip, dan intimidasi.
Gegar budaya atau culture shock ini hanya salah satu contoh penyakit atau gangguan yang diakibatkan dari gagalnya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru, masih banyak lagi penyakit atau gangguan yang lainnya. Untuk itu kita perlu mempunyai strategi untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan atau daerah yang baru (asing). Berikut cara yang tepat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru:
a. Berinteraksi dengan orang-orang di
lingkungan baru.
Jika kita baru saja pindah ke daerah yang
baru, sebaiknya kita berbaur dengan orang-orang di sekitar kita. Berbaur ini
dapat bertujuan untuk saling menganal dengan orang-orang sekitar. Contohnya pergi
ke rumah tetangga untuk bertamu, mengikuti kegiatan keagamaan di tempat tinggal
yang baru, mengikuti kegiatan gotong royong, dll.
b. Berkomunikasi dengan baik
Komunkasi adalah suatu hal yang sangat
penting untuk beardaptasi, karena dengan berkomunikasi bisa untuk saling
sharing dan menjalin kedekatan dengan orang-orang sekitar. Jika daerah tempat
tinggal yang baru memiliki logat dan bahasa yang berbeda dengan kita, sebaiknya
dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, dengan intonasi yang baik,
ramah dan tidak berkata yang dapat menyinggung perasaan orang sekitar kita.
c. Mempelajari dan menyesuaikan diri dengan budaya
dan etika atau aturan yang berlaku di daerah yang baru
Dengan kita pindah ke daerah yang baru,
mau tidak mau kita harus mempelajari budaya dan etika atau aturan yang berlaku.
Budaya dan etik/ aturan di setiap daerah pasti berbeda-beda. Kita harus cepat
mempelajarinya dan segera menyesuaikan diri dengan budaya dan aturan yang ada. Untuk
mempelajarinya kita harus berbaur atau berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka
Parrillo, V. N. (2008). Stranger to These
Shores: Race and Ethnic Relations in the United States (9th ed.). New Jersey:
Prentice Hall.
Niam, E.K. (2009). Koping terhadap Stres
pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhamadiah
Surakarta. Jurnal Indigenous. 11.
Ridwan, Aang. (2016). Komunikasi
Antarbudaya. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sekeon, K. (2013). Komunikasi Antar Budaya
Pada Mahasiswa Fisip Unsrat (Studi Pada Mahasiswa Angkatan 2011). Jurnal
Acta Diurna. 2 (3). 1-14.
0 komentar:
Posting Komentar