15.5.22

STRATEGI ADAPTASI DI LINGKUNGAN YANG BARU AGAR TIDAK MENGALAMI CULTURE SHOCK

 

STRATEGI ADAPTASI DI LINGKUNGAN YANG BARU AGAR TIDAK MENGALAMI CULTURE SHOCK

 


Essay Syarat Mid Semester Psi Lingkungan

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA

Oleh:

Langgeng Dwi Hartono (20310410063)

Psikologi B

Mata Kuliah: Psikologi Lingkungan


Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


    Adaptasi pada situasi lingkungan daerah yang baru merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seseorang jika ingin tetap survive. Hal ini tentunya  dibutuhkan oleh setiap orang yang baru pindah dari daerah lama ke daerah yang baru. Alasan orang pindah biasanya ada beberapa hal, yakni perihal pendidikan, pekerjaan, dan bencana alam. Ketika memasuki tempat tinggal atau daerah yang baru bearti sama halnya memasuki lingkungan yang asing. Seseorang biasanya akan timbul perasaan aneh, cemas, malu, dan canggung, karena memasuki suatu culture atau budaya dan kebiasaan yang baru. Gejala seperti ini biasanya disebut dengan culture shock atau gegar budaya.

    Menurut Oberg (dalam Ridwan, 2016), culture shock atau gegar budaya adalah sebuah penyakit yang diderita karena hidup di luar lingkungan budayanya, dan dalam proses untuk menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Pengertian lain tentang gegar budaya menurut Lundstedt (dalam Ridwan, 2016) adalah bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri (personality mal-adjustment) yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru.

    Gegar budaya seringkali dianggap sebagai suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diterima orangorang yang secara tiba-tiba harus pindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang telah diakuisisi di dalam pergaulan sosial awal. Petunjukpetunjuk dalam pergaulan berbentuk katakata, isyarat, ekspresi wajah, kebiasaankebiasaan, atau norma-norma, yang diperoleh dalam perjalanan hidup sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama ia akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu, dengan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Ia cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman dari tempat asal yang sama, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut streotipe dengan cara negatif.

    Orang yang mengalami gegar budaya di lingkungan yang baru memiliki beberapa gejela atau tanda, menurut Guanipa (dalam Niam, 2009) gejalanya adalah:

Timbul perasaan kesedihan, kesepian, dan kelengangan;

Preokupasi (pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan;

a. Kesulitan  atau gangguan tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit.

b. Perubahan perilaku, tekanan atau depresi.

c. Muncul kemarahan, sifat cepat marah, keengganan untuk berhubungan dengan orang lain.

d. Mengidentifikasikan dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama.

e. Kehilangan identitas.

f. Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru.

g. Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana.

h. Tidak percaya diri.

i. Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan.

j. Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru.

k. Mengembangkan obsesi seperti overcleanliness.

l. Rindu keluarga.

     Selain gejala, gegar budaya juga memiliki beberapa fase. Menurut Samovar (dalam Sekeon, 2011), mengargumentasikan adanya empat fase yang dilalui individu yang mengalami gegar budaya, dalam bentuk kurva U, yakni:

a. Fase Bulan Madu, yang berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Fase ini paling disukai oleh semua orang karena individu merasakan kesenangan layaknya pasangan yang sedang berbulan madu yang belum menemui kesulitan dalam menjalani situasi baru.

b. Fase Pesakitan, yaitu masa krisis yang dialami individu karena lingkungan baru mulai berkembang. Pada fase ini, ia dihadapkan pada keadaan yang sangat sulit, sehingga timbul perasaan yang tidak nyaman, kegelisahan, rasa ingin menolak apa yang dirasakan tapi tidak bisa berbuat apa pun. Pada fase ini, individu merasa sendiri, terpojok, dan bimbang. Karena perubahan lingkungan yang dirasakan, ia mendapati halhal yang tidak diinginkan ada di lingkungan yang baru. Pada tahap ini, ada perasaan kehilangan simbol-simbol, adat kebiasaan yang dulu menjadi identitas dirinya. Ia dihadapkan pada suatu keadaan yang berlawanan.

c. Fase Adaptasi menempatkan individu yang mulai memahami budaya barunya. Pada fase ini, ia mulai dapat memprediksi peristiwa dalam lingkungan baru sehingga hal itu tidak lagi terlalu terasa menekan.

d. Tahap terakhir, Fase Penyesuaian Diri adalah fase saat individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya. Ia tidak lagi mendapatkan kesulitan berarti lagi karena telah melewati masa adaptasi. Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya disertai dengan rasa puas dan menikmati.

    Gegar budaya ini dapat timbul atau muncul berdasarkan beberapa faktor. Menurut Parrillo (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi gegar budaya adalah:

a. Pertama, faktor intrapersonal yang meliputi keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam konteks lintas budaya), karakter personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Ciri fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi.

b. Faktor berikutnya berkaitan dengan variasi budaya, yang memengaruhi transisi individu dari satu budaya ke budaya lain. Culture shock terjadi dengan lebih cepat jika kedua budaya sangat berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa.

c. Faktor ketiga melibatkan manifestasi sosial politik, karena sikap dan karakter masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotip, dan intimidasi.

    Gegar budaya atau culture shock ini hanya salah satu contoh penyakit atau gangguan yang diakibatkan dari gagalnya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru,  masih banyak lagi penyakit atau gangguan yang lainnya. Untuk itu kita perlu mempunyai strategi untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan atau daerah yang baru (asing). Berikut cara yang tepat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru:

a. Berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan baru.

    Jika kita baru saja pindah ke daerah yang baru, sebaiknya kita berbaur dengan orang-orang di sekitar kita. Berbaur ini dapat bertujuan untuk saling menganal dengan orang-orang sekitar. Contohnya pergi ke rumah tetangga untuk bertamu, mengikuti kegiatan keagamaan di tempat tinggal yang baru, mengikuti kegiatan gotong royong, dll.

b. Berkomunikasi dengan baik

    Komunkasi adalah suatu hal yang sangat penting untuk beardaptasi, karena dengan berkomunikasi bisa untuk saling sharing dan menjalin kedekatan dengan orang-orang sekitar. Jika daerah tempat tinggal yang baru memiliki logat dan bahasa yang berbeda dengan kita, sebaiknya dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, dengan intonasi yang baik, ramah dan tidak berkata yang dapat menyinggung perasaan orang sekitar kita.

c. Mempelajari dan menyesuaikan diri dengan budaya dan etika atau aturan yang berlaku di daerah yang baru

    Dengan kita pindah ke daerah yang baru, mau tidak mau kita harus mempelajari budaya dan etika atau aturan yang berlaku. Budaya dan etik/ aturan di setiap daerah pasti berbeda-beda. Kita harus cepat mempelajarinya dan segera menyesuaikan diri dengan budaya dan aturan yang ada. Untuk mempelajarinya kita harus berbaur atau berinteraksi dengan lingkungan sekitar.



Daftar Pustaka

Parrillo, V. N. (2008). Stranger to These Shores: Race and Ethnic Relations in the United States (9th ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Niam, E.K. (2009). Koping terhadap Stres pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhamadiah Surakarta. Jurnal Indigenous. 11.

Ridwan, Aang. (2016). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: CV Pustaka Setia.

Sekeon, K. (2013). Komunikasi Antar Budaya Pada Mahasiswa Fisip Unsrat (Studi Pada Mahasiswa Angkatan 2011). Jurnal Acta Diurna. 2 (3). 1-14.

0 komentar:

Posting Komentar