15.5.22

PRILAKU BUDAYA BERBERES





Prilaku Budaya Berberes

Tugas Essay : Psikologi Sosial

Dosen Pengampu : Arundati Shinta, M.A





Siti Khasanah (21310410089)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Permasalahan besar yang dihadapi dunia saat ini adalah membludaknya volume sampah, termasuk Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Koran Sindo (2018) sampah menduduki peringkat pertama dengan persentase sebesar 40% sebagai persoalan lingkungan di Indonesia. Semakin banyak aktivitas manusia yang dilakukan akan berdampak pula pada penambahan sampah yang ada. Sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah bahwa masalah sampah sangat terkait dengan pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat.

Dampak lingkungan dan kesehatan dari pengelolaan sampah yang tidak tepat rupanya belum mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018), sebanyak 72% masyarakat Indonesia tidak memiliki kepedulian mengelola sampah. Hal ini ditunjukkan dari perilaku rumah tangga di Indonesia dalam menangani sampah. Pada tahun 2017 disebutkan bahwa 53% rumah tangga di Indonesia memilih untuk melakukan pembakaran terhadap sampah; 5% membuang sampah ke sungai atau selokan; 2,7% membuang sampah sembarangan; 2,1% menimbun atau mengubur sampahnya. Ditambah, sebanyak 81,4% rumah tangga di Indonesia jarang membawa tas belanja sendiri ketika berbelanja, menunjukkan hanya sekitar 18,6% dari total penduduk Indonesia yang peduli terhadap sampah plastik (Badan Pusat Statistik, 2018).

Kecenderungan Perilaku Individu dan Sampah

Budaya yang masih kurang di masyarakat Indonesia, yaitu budaya membereskan dan budaya bersih.

Sampah adalah hasil akhir dari aktivitas manusia, baik produksi maupun konsumsi. Dalam ekonomi, sampah merupakan eksternalitas negatif. Sebab, sampah yang dihasilkan seorang individu, dapat mengganggu individu lain di sekitarnya, bila dibuang sembarangan, atau tidak dikelola dengan baik. Meski seseorang dapat terganggu dengan sampah yang bertebaran di sekitarnya, ada beberapa orang yang memang terbiasa untuk membuang sampah sembarangan. Di negara maju sekalipun, tidak berarti setiap masyarakatnya anti untuk membuang sampah sembarangan.

Hasil temuan kedua, yang mungkin dapat mendukung dugaan sampah merupakan budaya adalah bahwa keberadaan sampah yang ada sebelumnya, mendorong perilaku orang untuk membuang sampah sembarangan juga di tempat itu. Dengan kata lain jika sampah terlihat bertebaran di sekitar, kecenderungan orang untuk membuang sampah sembarangan pun akan semakin tinggi.

Hal ini juga dapat menjelaskan perilaku orang Indonesia, di mana ketika ada tempat terbuka dan ada satu orang saja memulai untuk membuang sampah di situ, orang lain pun akan mengikuti, dan pada akhirnya tempat tersebut akan menjadi tempat pembuangan sampah umum. Pola pengelolaan sampah di Indonesia, menyebabkan masyarakat kurang antusias dalam mengelola lebih jauh sampahnya.

P Wesley Schulz, seorang professor dari California State University, yang mengamati perilaku individu dalam mengelola sampah. Salah satu studi yang dilaporkan dalam, Schultz,et al (2011) adalah dengan melakukan pengamatan perilaku terhadap 9.757 individu, di 130 titik yang berbeda. Hasil studi mereka secara garis besar menghasilkan dua temuan, pertama ketika seseorang hendak membuang sampah, jarak keberadaan tempat sampah mempengaruhi ia untuk membuang sampah sembarangan atau pada tempatnya. Semakin jauh/tidak ditemukan tempat sampah, semakin tinggi kemungkinan seseorang akan membuang sampah sembarangan. Dan sebaliknya jika keberadaan tempat sampah cukup dekat, kemungkinan besar, sampah akan dibuang di tempat sampah.

Mengubah Prilaku dari perilaku acuh menjadi peduli lingkungan ternyata sangat sulit. Perilaku bisa diubah bila perilaku baru itu mengandung reward yang memadai / dianggap penting oleh individu (The law of effect)

Sarwono (2001) mendefinisikan perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh individu satu dengan individu lain dan sesuatu itu bersifat nyata.

1) Pada hakekatnya, manusia itu sulit untuk mengubah perilaku, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan.

2) Kebiasaan akan bisa berubah, bila perilaku baru tersebut mendatangkan reward. Ini adalah penerapan dari The law of effect dari Edward Thorndike. Pada intinya, perilaku yg berakibat (efek) memuaskan akan diulangi lagi. Perilaku yg berakibat tak menyenangkan tidak akan diulangi lagi.

Budaya Beberes yaitu membangun kebiasaan peduli lingkungan dengan tanggung jawab atas sampah sendiri dan mencari kebermanfaatan dari sampah.

Kemudian adanya kesadaran untuk menjadi contoh terutama ke konsumen lain yang belum melakukan budaya berberes agar tergerak dan turut peduli sampahnya sendiri sehingga memunculkan rasa untuk berkontribusi. Hal lain yang muncul adalah terdapat kesadaran bahwa Budaya Beberes memang harus dimulai dari diri sendiri, kebaikan di masa depan terkait kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, mengolah sampah kembali dengan baik.

Hal ini juga sekaligus dapat mengajarkan konsumen dalam membiasakan diri memilah sampah di kehidupan sehari-hari. Kemudian perusahaan atau masyarakat dapat mengelola sampahnya dengan sistem 3R;
  • Reduce artinya mengurangi. Kurangilah jumlah sampah dan hematlah pemakaian barang. Misalnya dengan membawa tas belanja saat ke pasar sehingga dapat mengurangi sampah plastik dan mencegah pemakaian styrofoam.
  • Reuse artinya pakai ulang. Barang yang masih dapat digunakan jangan langsung dibuang, tetapi sebisa mungkin gunakanlah kembali berulang-ulang. Misalnya menulis pada kedua sisi kertas dan botol.
  • Recycle artinya daur ulang. Sampah kertas dapat dibuat hasta karya, demikian pula dengan sampah kemasan plastik mie instan, sabun, minyak, dl. Sampah organik dapat dibuat kompos dan digunakan sebagai penyubur tanaman maupun penghijauan.
Kejadian protes yang dilontarkan warganet terhadap kampanye #budayabeberes, merupakan sebuah indikasi yang seharusnya menjadi pengingat bagi tidak hanya pemerintah, tapi masyarakat Indonesia secara umum. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang malas. Dan, budaya bersih dan mandiri merupakan budaya yang baik yang harus terus ditingkatkan. Perlu ada gerakan yang lebih masif lagi dalam meningkatkan budaya beberes dan budaya membuang dan mengelola sampah agar lingkungan bersih, sehat, dan nyaman.

Saran bagi kalangan muda adalah sebaiknya menerima dan menerapkan dengan baik ajakan Budaya Beberes. Sehingga dapat menciptakan kebiasaan peduli sampah dan kebersihan lingkungan sekitar yang nantinya akan berefek pada kehidupan sehari-hari.


Daptar Pustaka


Badan Pusat Statistik. (2018). Laporan indeks perilaku ketidakpedulian lingkungan hidup 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik lingkungan hidup 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (c. 1) Jakarta, Sekretariat Negara

Arundati, A.S. (2022). Berbisnis dengan limbah [Presentasi PowerPoint]

Ai, S.P. (2022). Perubahan Prilaku [Presentasi PowerPoint]

Schultz, P. W., Bator, R. J., Large, L. B., Bruni, C. M., & Tabanico, J. J. (2011). Littering in Context: Personal and Environmental Predictors of Littering Behavior. Environment and Behavior, 35-59.



 





0 komentar:

Posting Komentar