Fenomena Klitih di Yogyakarta
Nama : Bella Azahar Br Tarigan (21310410033)
Prodi : Psikologi Reguler
Mata Kuliah : Psikologi Sosial
Dosen Pengampu : Dr.,Dra.Arundati Shinta MA
Arti Klitih
Berdasarkan
beberapa kasus yang telah terjadi, klitih dapat dipahami sebagai aksi kriminal
jalanan yang terjadi di DIY dan sekitarnya. Aksi ini dilakukan oleh para pemuda
yang menyakiti pengendara lain saat malam hari. Targetnya pun cenderung random.
Biasanya korban adalah orang yang kebetulan melintas di jalan sepi saat malam
hari. Selanjutnya, para pelaku melakukan perundungan secara fisik menggunakan
senjata tajam, bisa dengan pisau, silet, celurit, dan lain sebagainya. Karena
siksaan tersebut, korban bisa menderita luka yang cukup parah bahkan ada yang
meninggal dunia.
Asal Usul Klitih
Meskipun
sekarang aksi klitih identik dengan kekerasan, sebenarnya asal-usulnya jauh
dari kesan tersebut. Awalnya, klitih merupakan istilah yang digunakan masyarakat
DIY untuk menyebut aktivitas keluar rumah untuk berkeliling dan mengisi waktu
luang tanpa tujuan yang jelas. Dalam hal ini, klitih sebenarnya sama dengan
aktivitas lain yang bertujuan menghilangkan kepenatan.Sayangnya, makin lama
kegiatan orang-orang yang punya waktu luang tersebut diisi dengan aksi
kejahatan di jalanan. Pelaku yang tertangkap pun kebanyakan adalah pemuda atau
pelajar. Hal itu membuat arti klitih mengalami pergeseran menjadi aktivitas
kejahatan yang identik dengan remaja dan senjata tajam.
Perbedaan
Antara Klitih, Tawuran, dan Begal
Masyarakat
yang baru mendengar berita tentang klitih biasanya mengira hal ini sama dengan
tawuran, aksi begal atau perampokan di jalan. Padahal motifnya berbeda.
Tawuran adalah perkelahian yang dilakukan beramai-ramai
atau secara massal antara dua kelompok atau geng tertentu. Motif dari tawuran
biasanya adalah perselisihan atau masalah turun-temurun dari dua kelompok yang
bermusuhan. Sementara pembegalan adalah perampokan harta dengan atau tanpa
melakukan siksaan secara fisik. Motif utama dari begal adalah harta.
Perselisihan dan harta bukanlah motif utama klitih.
Alih-alih mengambil harta atau berusaha balas dendam atas masalah tertentu,
klitih menyerang pengendara di jalan hanya sebagai kegiatan iseng. Setelah
melukai target, para pelaku kemudian pergi begitu saja. Berdasarkan kasus yang
telah terjadi, klitih juga dianggap sebagai ajang pembuktian para remaja yang
ingin mencari jati diri. Setelah terbukti berani melakukan penyerangan,
eksistensi diri di lingkungan pertemanan atau gengnya jadi diakui.
Upaya Pemda DIY Atasi Klitih
Pemda dan Polda DIY pun melakukan beberapa
langkah untuk mengatasi masalah ini agar keamanan dan ketertiban masyarakat
benar-benar terjaga.
1. Jaga Warga
Jaga Warga adalah kelompok yang bertugas membantu
menyelesaikan konflik sosial di lingkungan masyarakat. Jaga Warga berperan di
seluruh kelurahan di Yogyakarta. Jaga Warga di level kelurahan ini diminta
untuk mengawasi aktivitas anak-anak muda setelah jam belajar masyarakat.
2. Penyuluhan Berkala
Penyuluhan berkala akan dilakukan sebagai upaya
pembinaan terkait kejahatan jalanan melalui Bhabinkamtibmas. Selain itu, juga
akan dilakukan razia tas bawaan pelajar dan penambahan CCTV di tempat rawan
kejahatan.
3. Antisipasi Pola Baru Klitih
Meskipun pelaku klitih tak seramai tawuran,
kelompok ini diduga punya kelompok yang terorganisir. Oleh karena itu,
kejahatan ini bisa ditelisik lebih lanjut melalui pola dari kasus-kasus yang
sudah terjadi.
Bagaimana pendapat Mahasiswa
psikologi terkait fenomena klitih di Yogyakarta? Apakah hal itu masuk dalam
ranah psikologi sosial ? Mengapa ? Apa dampaknya
Beberapa diantaranya mahasiswa psikologi
berpendapat bahwa fenomena klitih ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis
dan agresivitas seorang remaja itu sendiri. Mengapa demikian? Berikut akan saya
paparkan penjelasan mengenai kaitan klitih dengan psikologi sosial pelaku.
Agresivitas adalah salah satu bentuk ekspresi
dari emosi. Emosi yang keluar ketika seseorang sedang merasa tidak suka atau marah.
Seseorang yang memiliki agresivitas yang tinggi maka ia akan memiliki
kecenderungan untuk selalu melukai orang lain atau setidaknya mengganggu orang
lain. Di kalangan remaja usia sekolah agresivitas bisa diwujudkan dalam hal-hal
yang kecil, misal mencubit, menjitak, mengejek, merusak bahkan sampai memukul.
Berkowitz (2006) menjelaskan bahwa agresivitas adalah perilaku yang dilakukan
dengan tujuan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun verbal. Sejalan
dengan itu Taganing (2008) menjelaskan tentang agresi yang merupkan segala
bentuk perilaku yang di maksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik
maupun mental.
Salah satu bentuk perilaku agresif adalah
perilaku klitih yaitu perilaku agresivitas yang dilakukan dengan sengaja untuk
melukai seseorang. Banyak penelitian yang telah dilakukan guna menggali faktor
yang mempengaruhi agresivitas pada remaja secara umum. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Efianingrum (2006) mengatakan bahwa Pelajar mengenal wacana
kekerasan melalui media elektronik dan lingkungan pergaulan. Adapun wacana
kekerasan yang mereka kenal menyangkut kekerasan melalui bahasa (berupa kata,
ucapan, atau komentar bernada umpatan, cacian, atau makian), yang sering
digunakan dalam pergaulan dengan teman di sekolah.
Hasil penelitian menunjukan agresivitas remaja
terkait dengan faktor lingkungan tempat subjek tumbuh dewasa, yaitu keluarga,
kelompok (sebaya) dan lingkungan masyarakat. Bandura (dalam Sarwono &
Meinarno, 2009), menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses
belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Individu bertindak
agresif merupakan produk dari respon lingkungan sosial.
Wong (dalam Dewi, 2013) menjelaskan Masa remaja
merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanakan dan masa dewasa,
merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang cepat
pada anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan anak
perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita dewasa. Masa remaja memiliki
permasalahan yang komplek. Oleh karenanya banyak remaja dalam penyelesaian
masalahnya kurang siap, maka tidak sedikit keberhasilan penyelesaian masalah
yang didapat tidak memuaskan, sehingga kegagalan tersebut bisa berakibat tragis
dan menjadi trauma atau dendam.
Annisavitry (2017) menyebutkan bahwa semakin
rendah kematangan emosi yang dimiliki oleh remaja, maka akan semakin tinggi
perilaku agresivitas, begitu pula sebaliknya, faktor-faktor penyebab terjadinya
perilaku agresif yang dihipotetiskan dalam penelitian ini, meliputi; faktor
keluarga/orang tua, rekan sebaya, lingkungan sosial/tetangga media massa dan
kondisi internal individu, secara uji statistik dapat diterima. Penelitian
Susantyo (2016) menyebutkan bahwa faktor rekan sebaya berpengaruh secara
signifikan kepada kondisi internal individu, namun tidak pada munculnya
perilaku agresif itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
ketiga subjek perilaku dipengaruhi oleh banyak hal dalam melakukan klitih,
diantaranya adalah Latar belakang orang tua, Keluarga bermasalah, Hubungan
dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, dan Karakter Individu.
Daftar Pustaka
Annisavitry, A dan Budiani. 2017.
Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Agresivitas pada Remaja. Jurnal
Psikologi Pendidikan. 04 (1). 1-6.
Berkowitz, L. 2006. Emotional
Behavior: Mengenali Perilaku dan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekitar Kita
(Terjemahan oleh Susiatni). Jakarta: PPM Anggota IKAPI.
Desmita. 2005.Psikologi Perkembangan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar