13.5.22

 Fenomena Klitih di Yogyakarta

Nama : Bella Azahar Br Tarigan (21310410033)

Prodi : Psikologi Reguler

Mata Kuliah : Psikologi Sosial

Dosen Pengampu : Dr.,Dra.Arundati Shinta MA


Arti Klitih

Berdasarkan beberapa kasus yang telah terjadi, klitih dapat dipahami sebagai aksi kriminal jalanan yang terjadi di DIY dan sekitarnya. Aksi ini dilakukan oleh para pemuda yang menyakiti pengendara lain saat malam hari. Targetnya pun cenderung random. Biasanya korban adalah orang yang kebetulan melintas di jalan sepi saat malam hari. Selanjutnya, para pelaku melakukan perundungan secara fisik menggunakan senjata tajam, bisa dengan pisau, silet, celurit, dan lain sebagainya. Karena siksaan tersebut, korban bisa menderita luka yang cukup parah bahkan ada yang meninggal dunia.

Asal Usul Klitih

Meskipun sekarang aksi klitih identik dengan kekerasan, sebenarnya asal-usulnya jauh dari kesan tersebut. Awalnya, klitih merupakan istilah yang digunakan masyarakat DIY untuk menyebut aktivitas keluar rumah untuk berkeliling dan mengisi waktu luang tanpa tujuan yang jelas. Dalam hal ini, klitih sebenarnya sama dengan aktivitas lain yang bertujuan menghilangkan kepenatan.Sayangnya, makin lama kegiatan orang-orang yang punya waktu luang tersebut diisi dengan aksi kejahatan di jalanan. Pelaku yang tertangkap pun kebanyakan adalah pemuda atau pelajar. Hal itu membuat arti klitih mengalami pergeseran menjadi aktivitas kejahatan yang identik dengan remaja dan senjata tajam.

Perbedaan Antara Klitih, Tawuran, dan Begal

Masyarakat yang baru mendengar berita tentang klitih biasanya mengira hal ini sama dengan tawuran, aksi begal atau perampokan di jalan. Padahal motifnya berbeda.

Tawuran adalah perkelahian yang dilakukan beramai-ramai atau secara massal antara dua kelompok atau geng tertentu. Motif dari tawuran biasanya adalah perselisihan atau masalah turun-temurun dari dua kelompok yang bermusuhan. Sementara pembegalan adalah perampokan harta dengan atau tanpa melakukan siksaan secara fisik. Motif utama dari begal adalah harta.

Perselisihan dan harta bukanlah motif utama klitih. Alih-alih mengambil harta atau berusaha balas dendam atas masalah tertentu, klitih menyerang pengendara di jalan hanya sebagai kegiatan iseng. Setelah melukai target, para pelaku kemudian pergi begitu saja. Berdasarkan kasus yang telah terjadi, klitih juga dianggap sebagai ajang pembuktian para remaja yang ingin mencari jati diri. Setelah terbukti berani melakukan penyerangan, eksistensi diri di lingkungan pertemanan atau gengnya jadi diakui.

 

 

Upaya Pemda DIY Atasi Klitih

Pemda dan Polda DIY pun melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini agar keamanan dan ketertiban masyarakat benar-benar terjaga.

1. Jaga Warga

Jaga Warga adalah kelompok yang bertugas membantu menyelesaikan konflik sosial di lingkungan masyarakat. Jaga Warga berperan di seluruh kelurahan di Yogyakarta. Jaga Warga di level kelurahan ini diminta untuk mengawasi aktivitas anak-anak muda setelah jam belajar masyarakat.

2. Penyuluhan Berkala

Penyuluhan berkala akan dilakukan sebagai upaya pembinaan terkait kejahatan jalanan melalui Bhabinkamtibmas. Selain itu, juga akan dilakukan razia tas bawaan pelajar dan penambahan CCTV di tempat rawan kejahatan.

3. Antisipasi Pola Baru Klitih

Meskipun pelaku klitih tak seramai tawuran, kelompok ini diduga punya kelompok yang terorganisir. Oleh karena itu, kejahatan ini bisa ditelisik lebih lanjut melalui pola dari kasus-kasus yang sudah terjadi.

Bagaimana pendapat Mahasiswa psikologi terkait fenomena klitih di Yogyakarta? Apakah hal itu masuk dalam ranah psikologi sosial ? Mengapa ? Apa dampaknya

Beberapa diantaranya mahasiswa psikologi berpendapat bahwa fenomena klitih ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis dan agresivitas seorang remaja itu sendiri. Mengapa demikian? Berikut akan saya paparkan penjelasan mengenai kaitan klitih dengan psikologi sosial pelaku.

Agresivitas adalah salah satu bentuk ekspresi dari emosi. Emosi yang keluar ketika seseorang sedang merasa tidak suka atau marah. Seseorang yang memiliki agresivitas yang tinggi maka ia akan memiliki kecenderungan untuk selalu melukai orang lain atau setidaknya mengganggu orang lain. Di kalangan remaja usia sekolah agresivitas bisa diwujudkan dalam hal-hal yang kecil, misal mencubit, menjitak, mengejek, merusak bahkan sampai memukul. Berkowitz (2006) menjelaskan bahwa agresivitas adalah perilaku yang dilakukan dengan tujuan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun verbal. Sejalan dengan itu Taganing (2008) menjelaskan tentang agresi yang merupkan segala bentuk perilaku yang di maksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental.

Salah satu bentuk perilaku agresif adalah perilaku klitih yaitu perilaku agresivitas yang dilakukan dengan sengaja untuk melukai seseorang. Banyak penelitian yang telah dilakukan guna menggali faktor yang mempengaruhi agresivitas pada remaja secara umum. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Efianingrum (2006) mengatakan bahwa Pelajar mengenal wacana kekerasan melalui media elektronik dan lingkungan pergaulan. Adapun wacana kekerasan yang mereka kenal menyangkut kekerasan melalui bahasa (berupa kata, ucapan, atau komentar bernada umpatan, cacian, atau makian), yang sering digunakan dalam pergaulan dengan teman di sekolah.

Hasil penelitian menunjukan agresivitas remaja terkait dengan faktor lingkungan tempat subjek tumbuh dewasa, yaitu keluarga, kelompok (sebaya) dan lingkungan masyarakat. Bandura (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Individu bertindak agresif merupakan produk dari respon lingkungan sosial.

Wong (dalam Dewi, 2013) menjelaskan Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanakan dan masa dewasa, merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang cepat pada anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan anak perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita dewasa. Masa remaja memiliki permasalahan yang komplek. Oleh karenanya banyak remaja dalam penyelesaian masalahnya kurang siap, maka tidak sedikit keberhasilan penyelesaian masalah yang didapat tidak memuaskan, sehingga kegagalan tersebut bisa berakibat tragis dan menjadi trauma atau dendam.

Annisavitry (2017) menyebutkan bahwa semakin rendah kematangan emosi yang dimiliki oleh remaja, maka akan semakin tinggi perilaku agresivitas, begitu pula sebaliknya, faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku agresif yang dihipotetiskan dalam penelitian ini, meliputi; faktor keluarga/orang tua, rekan sebaya, lingkungan sosial/tetangga media massa dan kondisi internal individu, secara uji statistik dapat diterima. Penelitian Susantyo (2016) menyebutkan bahwa faktor rekan sebaya berpengaruh secara signifikan kepada kondisi internal individu, namun tidak pada munculnya perilaku agresif itu sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa ketiga subjek perilaku dipengaruhi oleh banyak hal dalam melakukan klitih, diantaranya adalah Latar belakang orang tua, Keluarga bermasalah, Hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, dan Karakter Individu.

 

Daftar Pustaka

https://plus.kapanlagi.com/arti-klitih-adalah-aksi-kriminal-jalanan-di-yogyakarta-ketahui-asal-usulnya-b5a402.html

Annisavitry, A dan Budiani. 2017. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Agresivitas pada Remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan. 04 (1). 1-6.

Berkowitz, L. 2006. Emotional Behavior: Mengenali Perilaku dan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekitar Kita (Terjemahan oleh Susiatni). Jakarta: PPM Anggota IKAPI.

Desmita. 2005.Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



0 komentar:

Posting Komentar