2.1.22

WISATA TERASERING LERENG SUMBING

 TUGAS PSIKOLOGI INOVASI

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA.

Imelta Indriyani Alfiah/ 19310410062

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Poster ini menggambarkan tentang keadaan tanah persawahan dan sebagainya yang bertangga-tangga dari atas ke bawah, merupakan konservasi dengan membuat teras-teras yang dilakukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah. Perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian tentunya berbeda antara petani satu dengan petani lainnya. Perbedaan tersebut menyesuaikan dengan kondisi lingkungan topografi tempat petani tinggal. Manusia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan habitatnya. Menurut Sartini (2004) dalam teori penaksiran perilaku menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat serta faktor pendidikan, pekerjaan, luas dan status kepemilikan tanah, pendapatan, budaya, strata sosial dan informasi. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.

Indonesia memiliki berbagai kearifan lokal yang menjadi ciri khas tiap-tiap daerahnya. Salah satunya adalah sistem pertanian di Dusun Nampan, Sukomakmur, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah yang disebut dengan nyabuk gunung. Nyabuk gunung ada disebabkan adaptasi masyarakat terhadap topografi lahan di Jawa Tengah yang kebanyakan tidak rata karena memiliki banyak pegunungan. Nyabuk gunung adalah cara bercocok tanam dengan membuat lahan berundak-undak sesuai dengan kontur gunung. Pada masa sekarang, istilah nyabuk gunung sudah jarang dipakai dan lebih umum dengan sebutan terasering. Masyarakat sudah terpengaruh dengan perkembangan zaman dimana orang di luar Jawa menggunakan sistem yang sama dengan sebutan terasering, sehingga lama kelamaan masyarakat Jawa Tengah mengadaptasi nama tersebut.

Kontur terasering yang berundak serta ada yang sejajajar, diungkapkan sebagai perlambang akan hubungan manusia dengan Tuhan, antar manusia serta lingkungan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan misalnya, tampak dari adanya surau kecil di antara terasering kebun loncang milik petani, menandakan kita sebagai manusia hendaknya tetap berserah diri dan memohonkan segala hal kepada sang pencipta hidup. Kemudian dalam hubungan manusia dengan manusia lain, dalam hal ini hubungan antar petani. Nilai dasar bangsa Indonesia seperti gotong royong dan saling bantu pun masih nyata jadi pegangan. Sebagai sesama manusia tak dapat dipungkiri kita saling membutuhkan dan haruslah saling tolong menolong dan mendorong agar tetap dapat berbuat positif. Lalu hubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam. Bahwa setiap penanaman terasering di kebun loncang dan aktivitas pertanian haruslah bermanfaat bagi lingkungan, mengolah lahan dengan tujuan yang baik pula. Lebih jauh lagi, sistem terasering dan pengairan terasering juga memiliki dampak baik pada lingkungan. Memberi pelajaran kepada kita bahwa dimanapun kita berada hendaknya tetap menjaga kelestarian alam yang ada agar kehidupan tetap berjalan secara seimbang. Keberadaannya pun menjadi simbol akan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam. Sungguh makna dan filosofi indah yang sangat mendalam.

 

REFERENSI

Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di   Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia.    4 (3): 345-355.

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat.                                   37(2):111-120.






0 komentar:

Posting Komentar