Era
disrupsi dan seiringnya model gaya hidup (lifestyle) yang berjejaring serta berkomunikasi
melalui teknologi, cenderung menempatkan remaja sebagai sosok manusia yang individualis.
Meski demikian, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan secara otomatis
bersosialisasi, dan tidak lepas dari melakukan kegiatan sosial. Kemampuan individu
dalam kecakapan sosial, diantaranya didorong oleh internal dan eksternal. Dalam
faktor internal, status sosial ekonomi dan lingkungan keluarga berperan dalam membentuk
perilaku seseorang. Sedangkan pada eksternal, fungsi teman sebaya dan budaya juga
turut berkontribusi dalam pembentukan sikap individu.
Tahap usia yang berpotensi krisis dalam
hal perilaku altruistik ialah ketika seseorang di fase remaja. Remaja merupakan
rentang usia yang tengah mengalami banyak perubahan drastis secara fisik, kognitif,
dan psikososial (Papalia, et al., 2011). Fase ini dimaknai sebagai periode perkembangan
kritis yang secara konvensional dipahami sebagai tahun permulaan menuju dewasa yang
ditandai dengan pubertas dan pembentukan kemandirian sosial. Perilaku sosial remaja,
akan terus berkembang dan diatur oleh kognisi dalam otak manusia. Selama fase remaja,
individu mengalami peningkatan gangguan kejiwaan, banyak diantaranya masalah jiwa
yang ada pada remaja, terkait dengan disfungsi sosial (Lambim, et al., 2017). Psikologi
sosial memandang bahwa manusia saling mempengaruhi, dan antara pikiran, perasaan,
serta perilaku individu sangat dipengaruhi oleh situasi sosial. Perilaku sosial
dengan budaya kolektivisme cenderung ditemukan di negara-negara Asia bagian timur,
Amerika Latin, dan Afrika, dimana negara tersebut memiliki fokus besar tidak hanya
bagi individu melainkan membudayakan perilaku berkelompok (Nisbett, Peng, Choi dan
Norenzayan, 2001). Perilaku sosial seseorang jika dipandang berdasar perspektif
psikologi sosial, disebabkan oleh budaya atau nilai kelompoknya. Kelompok terdekat
seseorang dalam memberikan referensi perilaku sosial diantaranya ialah keluarga.
Perilaku sosial dapat pula disebut sebagai sebab dan akibat dari pengaruh situasional.
Status sosioekonomi ditentukan oleh posisi
pekerjaan, pendidikan, dan besar penghasilan (Adler, Epel, Catellazzo, dan Ickovics,
2000; Oakes dan Rossi, 2003; Knesebeck, L.ushen, Cockerham, dan Siegris, 2003).
Status sosioekonomi umumnya merupakan variabel yang melihat bagaimana posisi individu
atau keluarga sesuai dengan kapasitasnya dalam kepemilikan atau kegiatan konsumsi
barang-barang yang bernilai di masyarakat (Hauser dan Warren, 1997). Penelitian
ini juga menguatkan studi yang dilakukan oleh Lambim, et al. (2017) yang menyatakan
bahwa jaringan sosial individu seperti teman sebaya dan keluarga, akan berpengaruh
terhadap perilaku remaja, di mana lingkungan sosial termasuk keluarga, baik secara
eksternal dan genetis, bagi individu berusia remaja akan mempengaruhi status sosial,
kualitas, serta kuantitas remaja dalam melakukan hubungan timbal balik secara sosial.
Terdapat pengaruh positif dari lingkungan keluarga terhadap perilaku altruistik remaja. Untuk itu, disarankan kepada pihak keluarga untuk membangun kesadaran dan memberikan contoh penerapan perilaku altruistik sejak dini. Membentuk perilaku altruistik dalam diri remaja dapat dilakukan melalui pembiasaan secara kontinu mengenai karakter saling berbagi dalam kebaikan. Selain itu, pemerintah juga perlu melanjutkan dan memperluas jaringan sosialisasi terkait pentingnya keluarga bagi perkembangan remaja. Hadirnya keluarga pada fase pencarian jati diri remaja, akan mentrasfer nilai perilaku prososial yang efektif bagi remaja, dan mampu mencegah perilaku antisosial.
Satria Alfian Rifqi Nugroho
19310410062
0 komentar:
Posting Komentar