Imelta Indriyani Alfiah/
19310410062
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta,
MA.
Dewasa ini, hampir bisa
dipastikan bahwa setiap orang yang memiliki telepon pintar, juga mempunyai akun
media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan
sebagainya. Kondisi ini seperti sebuah kelaziman yang mengubah bagaimana cara
berkomunikasi pada era serba digital seperti sekarang.
Istilah media sosial tersusun
dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media” diartikan sebagai alat
komunikasi (Laughey, 2007; McQuail, 2003). Sedangkan kata “sosial” diartikan
sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada
kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna
bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial (Durkheim dalam Fuchs,
2014).
Salah satu fenomena dalam
kemajuan teknologi internet adalah selfie. Kata ini pun telah resmi
menjadi kata baru yang dicantumkan dalam kamus Oxford English Dictionary pada
tahun 2013 dan secara sederhana berarti ‘foto diri yang disebarluaskan melalui
media sosial’ (Rosalina dalam Nasrullah, 2015). Menurut Jerry Saltz (dalam
Nasrullah, 2015), selfie didefinisikan sebagai potret diri instan, yang
dibuat dengan kamera ponsel cerdas dan dengan segera disebarluaskan atau ditransformasikan
melalui internet sebagai bentuk komunikasi visual instan tentang di mana kita
berada, apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan siapa yang kita
pikir melihat kita.
Realitas ini membawa pada sebuah
kenyataan bahwa pada awalnya, pengguna ingin berbagi momen atau kegiatan mereka
bersama teman-teman lainnya di jejaring media sosial. Kenyataan berikutnya,
foto diri yang ditampilkan di media sosial dalam rangka eksistensi diri dan
upaya mempertontonkan apa yang telah dicapai pengguna di luar jaringan (offline).
Karena itu, sebuah foto diri tidak bisa sekadar dilihat dari aspek wajah,
ekspresi dan gaya. Analisis terhadap foto diri juga harus melibatkan suasana,
momen, bangunan, tempat atau lingkungan yang menjadi latar dari sebuah foto
diri .
Kegiatan tersebut sebagai wujud dari
eksistensi diri. Ber-selfie dan
menyebarkannya di media sosial tidak sekadar terfokus pada penampilan diri si
pengguna. Upaya representasi diri di media sosial, sebuah upaya agar dianggap
‘ada’ atau eksis dalam jaringan. Seseorang yang melakukan selfie juga tengah berusaha mengkonstruksikan identitas sosialnya
dengan cara memaksimalkan atau meminimalkan karakter positif atau negatif dalam
dirinya supaya self-esteem tetap terpelihara (Shaw & Costanzo,
1982).
Dikatakan sukses ditandai dengan
banyaknya pujian, pemberian tanda ‘jempol atau‘like’ maupun tanda ‘hati’. Bila
sudah demikian, maka individu merasa puas dan semakin terdorong untuk kembali
melakukannya dan mengunggahnya di media sosial. Namun, bila kondisinya
terbalik, individu dapat merasa diacuhkan dan tidak dihargai oleh lingkungan
sosialnya. Keadaan tersebut bisa memicu keinginan untuk tidak kembali
mengunggah selfie atau tetap
melakukan selfie, namun dengan evaluasi tertentu.
Selfie merupakan salah satu bentuk
narsisme digital (Nasrullah, 2015). Sebuah selfie
yang diambil menunjukkan bahwa penggunanya tengah merancang dirinya dan hasil
rancangan itu, selain untuk eksistensi diri, juga sebagai bentuk pertunjukkan
di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam
jaringan pertemanan di media sosial (Shaw & Costanzo, 1982).
Banyak foto diri dengan latar
belakang sebuah lokasi tertentu dan ini menunjukkan bahwa si pengguna sedang
berada di tempat tersebut. Di lain kesempatan, berfoto di dalam kendaraan,
seperti pesawat terbang,untuk menunjukkan ia berada dalam perjalanan, menggunakan
pesawat tersebut, dan sebagainya. Pengunggahan menjadi simbol bahwa pengguna
sedang mewujudkan eksistensi dirinya yang tidak sekadar sebagai objek foto,
tetapi ada maksud tertentu didalamnya. Hal ini juga menandakan bahwa pengguna
melakukan keterbukaan diri (self-disclosure) di media sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Fuchs,
C. (2014). Social media a critical introduction. Los Angeles: SAGE
Publication, Ltd.
Laughey,
D. (2007). Themes in media theory. New York: Open University Press.
McQuail,
D. (2003). Teori komunikasi massa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nasrullah, R.
(2015). Media sosial (perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi). Jakarta:
Simbiosa Rekatama Media.
Shaw,
M. E., & Costanzo, P. R. (1982). Theories of social psychology. Tokyo:
Kosaido Printing.
Ak setuju sama apa yg kamu jabarkan disini imelta..good luck...trmksh sudah menambah wawasan 🙏😊
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih kembali Kak
HapusSemoga bermanfaat🤗
Mantap mba imel��
BalasHapusTerima kasih kak. Semoga bermanfaat ya😊🙏
HapusMantappp��
BalasHapus