7.6.20

Masyarakat Indonesia Susah Mengikuti Himbauan dari Pemerintah Saat Pandemi Covid-19, Mengapa?


Beatrice. A. J. C. Randan / 19310410040
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, MA.

Lebih dari sebulan wabah virus corona telah menjangkit sejumlah wilayah di Indonesia sejak 2 Maret 2020. Adapun jumlah kasus terinfeksi virus corona tiap hari pun mengalami kenaikan yang signifikan. Sejak kasus pertama diumumkan, angka kasus positif Covid-19 terus mengalami lonjakan. Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari ini sabtu (6/6) menjadi 30.514 setelah ada penambahan 993 orang. Sedangkan pasien yang dinyatakan sembuh menjadi 9.907. Sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19 Presiden Joko Widodo menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yangg telah ditandatangani Presiden. Sebelum mengumumkan pemberlakuan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB)  Presiden Jokowi telah mengimbau kepada masyarakat untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah dalam upaya pembatasan sosial (social distancing) guna menghentikan penyebaran Covid-19.

Dalam UU dijelaskan PSBB bertujuan untuh mencegah meluasnya penyebaran penyakit Covid-19 antar-orang yang telah ditetapkan berisiko dan menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Pasal 59 ayat 2). Berdasarkan Pasal 59 ayat 3, hal-hal yang meliputi PSBB antara lain aktifitas diluar rumah diberhentikan, yang kemudian diganti menjadi beraktifitas di rumah yang dilakukan sistem online. Seperti sekolah, perkuliahan, kerja, dan kegiatan beribah.



Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan masyarakat untuk mematuhi protokol-protokol pencegahan virus corona, salah satunya dengan karantina mandiri. Namun, seiring berjalannya waktu, adanya protokol ini menjadi tidak lagi ampuh untuk membuat masyarakat menjadi patuh pada aturan kesehatan. Seperti contohnya pemerintah sudah menerapkan belajar online untuk para siswa dan mahasiswa agar memutuskan rantai penyebaran virus dan memberlakukan kerja didalam rumah, namun kondisi ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berlibur. Bahkan, beberapa masyarakat pun sampai mudik ke kampung halaman, meski pemerintah telah menyuarakan agar tidak mudik demi menghentikan rantai penularan virus. Tapi, masih banyak masyarakat yang membandel. Selain itu masih banyak juga masyarakat yang berkumpul dengan orang lain di tengah pandemi covid-19 ini dengan tidak menggunakan masker.  Masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap enteng virus ini, dengan tidak mengindahkan himbauan dari pemerintah. Lalu, mengapa masyarakat Indonesia susah untuk diminta agar tetap berada di rumah selama pandemi virus corona?

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Drajat Tri Kartono menyampaikan, kejadian tersebut terjadi karena kurang eratnya social control yang pemerintah lakukan. Menurutnya, jika government control bergerak sendiri, harus diikuti oleh aparatur yang kuat untuk pengendaliannya. Sebab, jika government control itu hanya berupa nasihat, maka penguatannya dinilai kurang. Tetapi, bila government control dan implikasi-implikasi pada perizinan serta administrasi di beberapa tempat diterapkan secara ketat, dan bagi pelanggar dikenai sanksi, itulah yang efektif bagi social control. Drajat menambahkan, jika telah diterapkan government control dan dilakukan darurat sipil atau darurat militer, maka dipastikan tidak akan ada yang melawan.

Faktor lain yang menjadi penyebab ketidakpatuhan adalah ada keterampasan yang tidak disertai dengan kompensasi. Sehingga, masyarakat mengalami kesulitan secara ekonomi tapi mereka tidak boleh keluar rumah. Dengan tidak bisa keluar rumah, mereka pun tidak bisa mendapatkan penghasilan. Bila tidak ditopang kehidupannya, maka mereka akan sulit bertahan hidup.

Selain itu, penyebab masyarakat menjadi tidak patuh karena mereka melihat di jalanan masih banyak motor dan mobil yang beroperasi, serta mereka aman-aman saja saat pulang. "Ketidakpatuhan ini juga didukung jika mereka tidak mendapatkan dukungan ekonomi," sebut Drajat. Kemudian, penyebab lain dari perilaku masyarakat yang tidak patuh: mereka jenuh dengan pola yang sama dan merasa sudah mengerti. Drajat menjelaskan, ketika hal itu terjadi, alternatifnya menggunakan jarak makna.


Referensi:

Referensi Gambar:

0 komentar:

Posting Komentar