Nama : Sekar Pramesthi Armindariani / 19310410072
Fakultas Psikologi Universitas Prokmasi
45
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA.
Seiring dengan perkembangan zaman, peran
perempuan juga mulai berubah. Dahulu, perempuan berperan dalam ranah domestik
sebagai ibu rumah tangga, saat ini banyak perempuan yang bekerja dan menjadi
perempuan karir. Perubahan perean pada perempuan juga berdampak pada
keberagaman di tempat kerja. Keragaman dalam lingkungn pekerjaan dapat di
bedakan menjadi dua jenis, yaitu : surface-level disversity dan deep-level
diversity. Deep-lever diversity merupakan perbedaan karakter psikis
karyawan seperti keyakinan, kepribadian, nilai-nilai, dan sikap. Sedangkn surface-lever
diversity merupakan perbedaan demografis dan fisiologis manusia yang dapat
diamatin,s seperti ras, etnis, usia, kemampuan fisik, dan gender ( McShane
& Von Glinow, 2010).
Jenis kelamin merupakan hal yang kerap
menjadi isu di tempat kerja khusunya perempuan, perempuan kerap mendaptkan
perlakuan yang kurang menyenangkan di tempat kerja. Banyak kasus dimana buruh
perempuan mengalami keguguran akibat tidak ada pengurangan beban kerja yang menimbulkan penurunan baik kesehatan
fisik atau pun psikis. Hal ini berdampak pada menurunya presatasi kerja yang
mengakibatkan buruknya penilaian kerja terhadap perempuan hamil.
Perusahaan mana yang mau rugi, begitulah argumen yang muncul setiap kali dihadapkan pada kewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja yang hamil, padahal menempatkan keuntungan di atas hak-hak manusia adalah salah. Pada umumnya, setiap perusahaan lebih menyukai karyawan yang kurang cakap dalam bekerja tetapi rajin berangkat ke kantor setiap hari. Daripada karyawan yang sangat cakap dalam bekerja tetapi sering tidak masuk kerja. Hal ini disebut ketergantungan, yaitu perusahaan membutuhkan orang-orang yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Kehadiran rutin dan tepat waktu dapat menunjukkan bahwa karyawan memiliki etika kerja yang baik. Ketepatan waktu bukan hanya tentang tiba di kantor pada waktu yang tepat setiap pagi, namun juga tidak terlambat kembali ke kantor saat jam istirahat. Tapi bagaimana dengan karyawan yang sedang hamil? Apakah mereka tidak bisa mendapatkan hak mereka? Di sisi lain perempuan ‘dituntut’ untuk hamil, namun di sisi lainnya tidak ada atau tidak mau ada kesadaran pemahaman bahwa perempuan hamil memerlukan adaptasi yang berbeda dalam lingkungannya, terutama lingkungan pekerjaan.
Dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap sudah sangat mencukupi, dan
pemberian cuti ini pun, meski sudah diatur dalam undang-undang, tidak dipatuhi
oleh semua perusahaan atau pihak yang mempekerjakan.
Perempuan hamil yang bekerja memiliki banyak tuntutan berupa
tumpukan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya, terkadang adanya suasana
kerjasama yang kurang menyenangkan dari rekan kerja, tingginya tututan atasan
dan berbagai kondisi lainnya sudah menjadi makanan sehari-hari. Berbagai
tuntutan kerja di atas tidak bisa dihindari oleh perempuan hamil yang
memutuskan tetap bekerja. Perempuan hamil yang bekerja harus tetap
menyelesaikan pekerjaan yang ada, sedangkan bayi di dalam kandungan dan dirinya
sendiri perlu di jaga kesehatannya. Semua hal di atas dapat menyebabkan tekanan
psikis atau stressor bagi ibu hamil.
Hal ini menyebabakan adanya peraturan
tidak tertulis ketika wanita melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, dimana
karwayan secara sepihak di phk oleh perusahaan ketika mengambil cuti hamil.
Dikarenakan perusahan tidak ingin merugi dan sesuai dengan perartutan dalam
konvensi ILO K103/195. Oleh karena itu karyawan perempuan yang sedang hamil
cenderung buruk daripada karyawan yang belum menikah ataupu hamil, di karenakan tuntutan pekerjaan yang
berat dan perusahaan tidak ingin merugi.
Referensi:
McShane, S. & Von Glinow, M.A. 2010. Organizational Behavior:
Emerging Knowledge and Practice for the Real World. (5thed.). New York:
McGraw-Hill/Irwin.
Miladiyanto, Sulthon , Ariyanti. (2017) Perlindungan Hukum Terhdap
Hak-Hak Reproduksi Pekerja Wanita ( Perspektif Undang-udang Ketenagakerjaan di
Indonesia). Jurnal Panorama Hukum.2(1) : 252-665
Rahum, R , Muhammad., Muis, Masyitha., Sambara, Irmayani,. (2013). Factors Associated with Work Stress of
Pregnant Mother at Batua Health Center, the City of Makasar.
Saya setuju dengan isi teksnya mbak sekar, sukses selalu mbak 😊
BalasHapusThank you mbak Tika telah membantu saya 🤗
HapusSangat menarik. Seiring kemajuan zaman perempuan dituntut untuk bekerja di luar rumah. Tentu bukan hal mudah membagi waktu antara mengurus keluarga dan bekerja, apalagi jika nanti hamil dan melahirkan. Untuk pekerja kasar, beberepa pabrik menerapkan kebijakan ketat dan minim dispensi untuk ibu hamil sehingga akan menganggu kehamilannya. Kedepannya mungkin diperlukan 'pelatihan pemberdayaan ketrampilan wanita' agar para perempuan tetap bisa mendapat penghasilan tanpa menggangu kewajibannya (bisa bekerja di rumah).
BalasHapusYups,,, masih banyak hak-hak yg tercantum di Uu no 13 the 2013 yng belm terpenuhi untuk pekerja perempuan khususnya yg sedang hamil di sebagian organisasi, seperti contoh yg kasus kemarin terjadi buruh pabrik a**e
Hapus@asma thank you kak asma 😊😊
HapusTulisannya sangat bermanfaat. Memang fenomena tersebut menjadi kesenjangan sosial jika suatu perusahaan seperti itu. Kebijakan perusahaan seharusnya sudah disosialisasikan sejak proses rekrutmen berlangsung. Lanjutkan menulis. Salam. Andi P.
BalasHapus