16.9.19

ORA SRAWUNG, RABIMU SUWUNG

Ora Srawung, Rabimu Suwung
Ahmad Prasetiyo
19310410029
Tugas Psikologi Umum I
Dosen Fx. Wahyu Widiantoro





        
Srawung adalah sebuah istilah Jawa yang mengandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok. Dalam tradisi masyarakat pedesaan istilah ‘’srawung’’ sudah akrab di telinga mereka, karena hal itu merupakan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan.  Mayarakat bisa saling menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya, tidak hanya apa yang ada dalam pikiran, tetapi apa yang ada dalam perasaan mereka pun semua bisa diungkapkan. Srawung juga merupakan pengalaman-pengalaman batin yang kadang sulit dibahasakan, tapi terasa di hati. Maka, dengan adanya srawung inilah banyak permasalahan dalam realitas kehidupan ini bisa di bicarakan, dicarikan solusi secara bersama.

Bersosialisasi dengan sesama adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kehidupan kita. Semasa kecil, kita selalu bermain dengan teman sekitar kita. Tanpa ada rasa malu, membuat hari-hari terlalui dengan bahagia. Bahkan tak ada beban dan saling tertawa bersama.
Azwar (1997) menjelaskan bahwa sikap ini dapat digunakan untuk mendeteksi kecenderungan seseorang bersikap positif atau negatif terhadap obyek tertentu. Seiring perkembangan jaman. Manusia pasti akan mengalami perubahan dalam bersikap. Tentu ini akan berdampak pada pergaulannya. Awalnya ada perasan senang dan tanpa rasa malu, menjadi munculnya rasa malu serta menjadi enggan bergaul dengan masyarakat di sekitarnya.
Sewaktu kita berada dalam lingkungan dan situasi sosial, ketika kita terlibat dalam interaksi sosial, pernahkah kita merasa betul-betul netral dan bereaksi tanpa rasa suka dan tidak suka terhadap mitra interaksi kita? Pernahkah kita dapat melepaskan sama sekali perasaan senang dan tidak senang dari persepsi dan perilaku kita?
       Agaknya hal itu sulit untuk terjadi. Selalu saja ada yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan cenderung akan mempengaruhi perilaku kita dalam berinteraksi. Itulah fenomena sikap. Timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang kita hadapi, tapi juga oleh pengalaman-pengalaman masa lalu, situasi sekarang, dan harapan kita untuk masa depan.
Azwar (1995) menjelaskan bahwa respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.
Tidak hanya faktor dalam diri seseorang saja yang menyebabkan seseorang akan merubah sikap dan perilakunya. Ada faktor lain misalnya pergaulan yang salah, sudah memiliki pacar, iri kepada teman sebayanya, dan masih banyak lagi. Orang yang mampu menerima diri dengan baik akan mampu bergaul dengan baik pula di tengah masyarakat.
Menurut KBBI, nikah diartikan sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat dinantikan oleh semua orang, karena dengan menikah kehidupan kita akan terasa lengkap. Di dalam ajaran agama Islam, Pernikahan merupakan ibadah sakral yang dilakukan oleh pasangan yang sedang di mabuk asmara. Pernikahan seharusnya terlihat bahagia dan penuh suka cita. Bagaimana jika suatu pernikahan membawa kesedihan yang mendalam? Rabimu suwung adalah istilah Jawa yang berarti pernikahanmu sepi. Pernikahan yang sepi merupakan salah satu dampak karena kita enggan srawung atau bersosialisasi di lingkungan sekitar kita.
Apakah kita terlambat untuk memperbaiki diri sobat? Atau masih merasa malu dalam bergaul? Saya rasa tidak. Secepatnya kita harus bisa merubah sikap kita. Meninggalkan pergaulan yang menutup diri kita terhadap masyarakat sekitar kita. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, agar kita bisa berinteraksi, saling tolong menolong, memupuk tali silaturahmi terhadap masyarakat sekitar kita.
 “Ora Srawung, Rabimu Suwung” demikian pepatah jawa yang artinya jika kita tidak mau bersosialisasi dengan tetangga sekitar kita, ketika nanti kita menikah. Besar kemungkinan tidak ada tetangga yang datang. Jangan sampai masyarakat sekitar kita tidak mau dan enggan menerima kita, karena perilaku buruk yang kita miliki.
Marilah kita menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya Indonesia. Selalu memupuk rasa tali silaturahmi, saling tolong menolong, menghargai terhadap sesama, dan masih banyak bentuk perilaku postif lainnya yang dapat kita lakukan. Jangan memandang dari segi agama, budaya, ras , suku, ataupun perbedaan lainnnya. Kita semua adalah Indonesia memiliki semboyan ‘’Bhineka Tunggal Ika’’ yang artinya bebeda-beda tetapi satu jua. Jangan sampai negara kita terpecah belah hanya karena hal sepele. Siap percaya diri dalam bergaul, siapa takut?

Referensi :
-         https://jateng.tribunnews.com/2016/11/05/melestarikan-budaya-srawung ( di akses pada 2 Oktober 2019 )
-         https://docplayer.info/89437371-Bab-i-pendahuluan-latar-belakang.html ( di akses pada  Oktober 2019 )
-         https://kbbi.web.id/nikah (di akses pada Oktober 2019 )




















1 komentar:

  1. Hello mas Ahmad, apa relevansi judul dan isinya ya? Juga daftar pustaka tidak nyambung dengan naskah. Artinya, tulisan tentang Azwar dan Maunah tidak ada di naskah.

    BalasHapus