8.4.19

KESETARAAN GENDER DAN PERAN IBU


Meysella Al Firdha Hanim
18.310.410.1196
(Psikologi Umum II)


                Masyarakat harus mengerti kesetaraan gender yang sebenarnya, karena pada dasarnya pria dan wanita memiliki peranan masing-masing dalam kehidupannya. Peran wanita tidak serta merta menghilangkan peran pria. Wanita juga memiliki hak dan kewajiban dalam tanggung jawabnya, baik itu dalam dunia karir maupun kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Tentunya jasa dari Raden Ajeng Kartini bagi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita. Hal ini dibuktikan dengan adanya peran penting dalam membangun bangsa.
                Demi membangun Indonesia tanpa diskriminasi, kaum wanita juga tidak boleh melupakan hakikatnya. Seharusnya mereka menyadari kodratnya sebagai seorang wanita, yang nantinya menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Sudah sepantasnya juga wanita sebagai sosok yang dihormati serta dilindungi dari berbagai kekerasan dan ancaman. Kita sebagai wanita juga harus saling mengingatkan makna kebebasan dan emansipasi yang sebenarnya terhadap generasi muda. Mengingat emansipsi sudah banyak disalah artikan.
                Namun dalam era modern perubahan-perubahan sosial terjadi sangat cepat, telah mempengaruhi nilai-nilai kehidupan. Peran dan fungsi ibu terpengaruh akibat emansipasi wanita, didorong juga oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat ibu modern turut bersama bapak memasuki lapangan pekerjaan di luar rumah. Keadaan ini membuat ibu tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada pendidikan anak, terutama pendidikan anak usia dini yang menyebabkan pendidikan anak tidak optimal diberikan oleh orang tua.
                Darajat (1995), menjelaskan bahwa dalam fenomena sehari-hari, pendidikan anak di keluarga terjadi secara alamiah tanpa disadari orang tua, padahal pengaruh dan akibat sangat besar.
                Kebebasan wanita terdahulu sangat dibatasi dan dianggap lebih rendah daripada pria, oleh karena itu Raden Ajeng Kartini merasa bahwa dirinya harus membawa kaumnya dari belenggu adat istiadat masyarakat. Kartini mengawali perjuangannya dengan mencoba mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis di kota kelahirannya Jepara. Berbekal tekad dan kemauan keras ia terus berupaya dalam rangka memperbaiki nasib kaum wanita disekitarnya. Atas dasar itulah Kartini terus tergerak hatinya untuk membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi wanita pada saat itu.
                Adhim (2001), menjelaskan juga bahwa masih banyak kaum perempuan yang menjalani peran keibuannya berdasarkan instink dan pola turun temurun semata bukan sebagai sebuah pilihan sadar yang diiringi dan kemauan untuk meningkatkan terus menerus kualitas peran keibuan. Peran ibu dijadikan sebagai urutan kedua setelah berumah tangga, mereka tidak memiliki konsep tentang anak.
               Kebanyakan ibu belum mengerti pentingnya pendidikan anak di rumah, mereka beranggapan anak akan pandai jika di sekolahkan. Kesimpulannya sebagai pendidik peranan ibu sangat besar, karena kehadiran orang tua (khususnya ibu) dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya dalam perhatian, pembinaan, pendidikan, kasih sayang, maka anak tersebut mengalami deprivasi material dan dapat menyebabkan anak terhambat dalam perkembangan inteligensinya, rapuh mentalnya dan lemah fisiknya.
                Hawari (1997), menjelaskan akibat deprivasi material dan deprivasi paternal bahwa anak tersebut beresiko tinggi menderita gangguan perkembangan kepribadian, yaitu perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional dan perkembangan psiko-sosial serta perkembangan spritual. Tidak jarang dari mereka bila kelak telah dewasa akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial bahkan sampai kepada tindak kriminal.
Oleh karena itu, di samping sebagai wanita karir yang memang menuntut bekerja, peran ibu mengurus anak jangan terabaikan. Sesibuk apapu, harus dapat membimbing dan mengasuh anak. Sebab, pendidikan dasar bagi anak adalah pendidikan dalam keluarga, yang akan menjadi dasar untuk pendidikan formal selanjutnya. Emansipasi memang suatu hal yang sangat positif jika digunakan dengan baik. Para ibu akan membuahkan karya dengan berbagai kesempatan yang didapat dalam berkarier. Hal itu juga harus diselaraskan dengan perannya untuk keluarga.

Referensi
Hawari, Dadang (1997). Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Dana Bakti Prima Jasa, Yogyakarta.
Adhim, Fauzil (2001). Bangsa Menjadi Ibu. Ummi, Edisi 8.
Darajat , Zakiah (1995). Pendidikan Islam Keluarga dan Sekolah. Ruhamana, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar