Meysella
Al Firdha Hanim
18.310.410.1196
(Psikologi
Umum II)
Masyarakat
harus mengerti kesetaraan gender yang sebenarnya, karena pada dasarnya pria dan
wanita memiliki peranan masing-masing dalam kehidupannya. Peran wanita tidak
serta merta menghilangkan peran pria. Wanita juga memiliki hak dan kewajiban
dalam tanggung jawabnya, baik itu dalam dunia karir maupun kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Tentunya jasa dari Raden Ajeng Kartini bagi
kehidupan bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peran penting dalam membangun bangsa.
Demi
membangun Indonesia tanpa diskriminasi, kaum wanita juga tidak boleh melupakan
hakikatnya. Seharusnya mereka menyadari kodratnya sebagai seorang wanita, yang
nantinya menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Sudah sepantasnya
juga wanita sebagai sosok yang dihormati serta dilindungi dari berbagai
kekerasan dan ancaman. Kita sebagai wanita juga harus saling mengingatkan makna
kebebasan dan emansipasi yang sebenarnya terhadap generasi muda. Mengingat
emansipsi sudah banyak disalah artikan.
Namun
dalam era modern perubahan-perubahan sosial terjadi sangat cepat, telah
mempengaruhi nilai-nilai kehidupan. Peran dan fungsi ibu terpengaruh akibat
emansipasi wanita, didorong juga oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
membuat ibu modern turut bersama bapak memasuki lapangan pekerjaan di luar
rumah. Keadaan ini membuat ibu tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada
pendidikan anak, terutama pendidikan anak usia dini yang menyebabkan pendidikan
anak tidak optimal diberikan oleh orang tua.
Darajat
(1995), menjelaskan bahwa dalam fenomena sehari-hari, pendidikan anak di
keluarga terjadi secara alamiah tanpa disadari orang tua, padahal pengaruh dan
akibat sangat besar.
Kebebasan
wanita terdahulu sangat dibatasi dan dianggap lebih rendah daripada pria, oleh
karena itu Raden Ajeng Kartini merasa bahwa dirinya harus membawa kaumnya dari
belenggu adat istiadat masyarakat. Kartini mengawali perjuangannya dengan
mencoba mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis di kota kelahirannya Jepara.
Berbekal tekad dan kemauan keras ia terus berupaya dalam rangka memperbaiki
nasib kaum wanita disekitarnya. Atas dasar itulah Kartini terus tergerak
hatinya untuk membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi wanita pada
saat itu.
Adhim
(2001), menjelaskan juga bahwa masih banyak kaum perempuan yang menjalani peran
keibuannya berdasarkan instink dan pola turun temurun semata bukan sebagai
sebuah pilihan sadar yang diiringi dan kemauan untuk meningkatkan terus menerus
kualitas peran keibuan. Peran ibu dijadikan sebagai urutan kedua setelah
berumah tangga, mereka tidak memiliki konsep tentang anak.
Kebanyakan
ibu belum mengerti pentingnya pendidikan anak di rumah, mereka beranggapan anak
akan pandai jika di sekolahkan. Kesimpulannya sebagai pendidik peranan ibu
sangat besar, karena kehadiran orang tua (khususnya ibu) dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak adalah penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya
dalam perhatian, pembinaan, pendidikan, kasih sayang, maka anak tersebut
mengalami deprivasi material dan dapat menyebabkan anak terhambat dalam
perkembangan inteligensinya, rapuh mentalnya dan lemah fisiknya.
Hawari
(1997), menjelaskan akibat deprivasi material dan deprivasi paternal bahwa anak
tersebut beresiko tinggi menderita gangguan perkembangan kepribadian, yaitu
perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional dan perkembangan
psiko-sosial serta perkembangan spritual. Tidak jarang dari mereka bila kelak
telah dewasa akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial
bahkan sampai kepada tindak kriminal.
Oleh karena
itu, di samping sebagai wanita karir yang memang menuntut bekerja, peran ibu
mengurus anak jangan terabaikan. Sesibuk apapu, harus dapat membimbing dan
mengasuh anak. Sebab, pendidikan dasar bagi anak adalah pendidikan dalam
keluarga, yang akan menjadi dasar untuk pendidikan formal selanjutnya.
Emansipasi memang suatu hal yang sangat positif jika digunakan dengan baik.
Para ibu akan membuahkan karya dengan berbagai kesempatan yang didapat dalam
berkarier. Hal itu juga harus diselaraskan dengan perannya untuk keluarga.
Referensi
Hawari, Dadang (1997). Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Dana
Bakti Prima Jasa, Yogyakarta.
Adhim, Fauzil (2001). Bangsa Menjadi Ibu. Ummi, Edisi 8.
Darajat , Zakiah (1995). Pendidikan Islam Keluarga dan Sekolah. Ruhamana,
Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar