Nama : Pipit Rahmania Khajati
NIM :16.310.410.1134
Psikologi lingkungan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian
keuangan negara. Hal ini diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa Gubernur
nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam. "Ini untuk pertama kalinya digunakan
untuk menghitung kerugian negara. Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis
hakim," ujar jaksa Subari Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Kamis (8/3/2018). (Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Dituntut 18
Tahun Penjara) Dalam kasus Nur Alam, jaksa menilai, perbuatan politisi Partai
Amanat Nasional itu telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya
ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT
Anugrah Harisma Barakah. Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian
Bogor (IPB) Basuki Wasis menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7
triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma
Barakah (AHB) di Pulau Kabaena. Dari hasil penelitian, terdapat tiga jenis
perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian
akibat kerusakan ekologis. (Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Juga Dituntut
Bayar Uang Pengganti Rp 2,7 Miliar) Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan dan
yang ketiga menghitung biaya pemulihan lingkungan. Perhitungan itu menggunakan
acuan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup
Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Selain itu, dalam pengamatan
langsung ditemukan kerusakan tanah dan kegiatan pertambangan di luar izin yang
diberikan kepada PT AHB. Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan
hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan,
Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. (Baca juga : Jaksa KPK
Minta Hak Politik Gubernur Sultra Nur Alam Dicabut) Kemudian, Persetujuan
Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah
Harisma Barakah (AHB). Izin dan persetujuan itu dikeluarkan tanpa mengikuti
prosedur. Akibatnya, PT AHB memeroleh keuntungan sebesar Rp 1,5 triliun.
Setelah dikalkulasi dengan keuntungan yang diperoleh pihak korporasi, maka
kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp 4,3 triliun. Jaksa KPK menuntut
Nur Alam pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar. Selain itu,
membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar. Jaksa juga meminta majelis hakim mencabut
hak politik terdakwa lima tahun setelah selesai menjalani hukuman.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan
untuk menilai kerugian keuangan negara.
Hal ini diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa Gubernur nonaktif
Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
"Ini untuk pertama kalinya digunakan untuk menghitung kerugian negara.
Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis hakim," ujar jaksa Subari
Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/3/2018).
(Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Dituntut 18 Tahun Penjara)
Dalam kasus Nur Alam, jaksa menilai, perbuatan politisi Partai Amanat
Nasional itu telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya
ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT
Anugrah Harisma Barakah.
Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki
Wasis menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun akibat
kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah
(AHB) di Pulau Kabaena.
Dari hasil penelitian, terdapat tiga jenis perhitungan kerugian akibat
kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis.
(Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Juga Dituntut Bayar Uang Pengganti
Rp 2,7 Miliar)
Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan dan yang ketiga menghitung biaya
pemulihan lingkungan.
Perhitungan itu menggunakan acuan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014
tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Hidup.
Selain itu, dalam pengamatan langsung ditemukan kerusakan tanah dan
kegiatan pertambangan di luar izin yang diberikan kepada PT AHB.
Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam
memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
(Baca juga : Jaksa KPK Minta Hak Politik Gubernur Sultra Nur Alam
Dicabut)
Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi
Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Izin dan persetujuan itu dikeluarkan tanpa mengikuti prosedur.
Akibatnya, PT AHB memeroleh keuntungan sebesar Rp 1,5 triliun.
Setelah dikalkulasi dengan keuntungan yang diperoleh pihak korporasi,
maka kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp 4,3 triliun.
Jaksa KPK menuntut Nur Alam pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1
miliar. Selain itu, membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.
Jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik terdakwa lima
tahun setelah selesai menjalani hukuman.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan
untuk menilai kerugian keuangan negara.
Hal ini diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa Gubernur nonaktif
Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
"Ini untuk pertama kalinya digunakan untuk menghitung kerugian negara.
Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis hakim," ujar jaksa Subari
Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/3/2018).
(Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Dituntut 18 Tahun Penjara)
Dalam kasus Nur Alam, jaksa menilai, perbuatan politisi Partai Amanat
Nasional itu telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya
ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT
Anugrah Harisma Barakah.
Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki
Wasis menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun akibat
kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah
(AHB) di Pulau Kabaena.
Dari hasil penelitian, terdapat tiga jenis perhitungan kerugian akibat
kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis.
(Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Juga Dituntut Bayar Uang Pengganti
Rp 2,7 Miliar)
Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan dan yang ketiga menghitung biaya
pemulihan lingkungan.
Perhitungan itu menggunakan acuan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014
tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Hidup.
Selain itu, dalam pengamatan langsung ditemukan kerusakan tanah dan
kegiatan pertambangan di luar izin yang diberikan kepada PT AHB.
Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam
memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
(Baca juga : Jaksa KPK Minta Hak Politik Gubernur Sultra Nur Alam
Dicabut)
Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi
Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Izin dan persetujuan itu dikeluarkan tanpa mengikuti prosedur.
Akibatnya, PT AHB memeroleh keuntungan sebesar Rp 1,5 triliun.
Setelah dikalkulasi dengan keuntungan yang diperoleh pihak korporasi,
maka kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp 4,3 triliun.
Jaksa KPK menuntut Nur Alam pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1
miliar. Selain itu, membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.
Jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik terdakwa lima
tahun setelah selesai menjalani hukuman.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara", https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/18391231/pertama-kalinya-kpk-menilai-kerusakan-lingkungan-sebagai-kerugian-negara.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra
0 komentar:
Posting Komentar