17.4.18

MENGENAL BODY DYSMORPHIC DISORDER (BDD)


MENGENAL BODY DYSMORPHIC DISORDER (BDD)

Nama : Nurul Widiastoni
NIM : 163104101152
Mata kuliah : Psikologi Abnormal
Dosen pengampu : F.X Wahyu Widiantoro S. Psi, MA


Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai dysmorphophobia. Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari bahasa Yunani, “dysmorph” yang berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian namanya diresmikan oleh American Psychiatric Classification menjadi Body Dysmorphic Disorder (BDD). Sebenarnya, sejak Freud praktek sudah disinyalir mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan sebagai ‘wolf man’. Karena gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi pada seorang pria bernama Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan kecemasan terhadap bentuk hidungnya.
Istilah Body Dysmorphic Disorder (BDD), secara formal juga tercantum dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor atau bahkan imagine defect. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan lainnya (misalnya, kehidupan keluarga dan perkawinan). Media kadang menyebutnya sebagai ”imagined ugliness syndrome”. Body Dysmorphic Disorder (BDD) dimasukkan ke dalam DSM IV di bawah somatization disorders.
 Menurut Watkins (2006), Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah keasyikan dengan kekurangan fisik yang imajiner pada penampilan atau perhatian yang sangat berlebihan terhadap kekurangan yang sebenarnya tidak begitu berarti.
Body Dysmorphic Disorder (BDD) mencakup pikiran, perasaan, perilaku dan hubungan sosial. Penderita Body Dysmorphic Disorder (BDD) biasanya memfokuskan tidak hanya pada bagian tubuh tertentu, tetapi lebih ke bagian-bagian tubuh yang lain pula. Itulah yang membedakannya dengan eating disorder/bulimia nervosa/anorexia nervosa yang biasanya menyangkut gangguan kecemasan mengenai ukuran dan berat badan. Bagian-bagian tubuh yang sering dikeluhkan dan dicemaskan adalah rambut, hidung, kulit, gigi, alat kelamin, struktur wajah, kaki, pipi, lengan, bibir, dagu, perut, pinggang, pinggul, paha, alis mata, kepala, telinga, dada, bekas luka, dan ukuran tinggi atau berat badan.
Gambaran klinis BDD yang tampak yaitu Pasien dengan BDD merasa terdorong untuk melakukan perilaku untuk mengonfirmasi kekurangan/ kecacatan yang dirasakan secara berulang-ulang (kompulsif).Perilaku tersebut termasuk kompulsif memeriksa cermin, menghindari cermin kompulsif, kompulsif perawatan (misalnya, menyisir rambut, mencabuti rambut, atau menerapkan tata rias), dan berulang-ulang membandingkan cacat dirasakan dengan tubuh orang lain.
Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006; Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut:
a)      Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui cermin atau kamera.
b)      Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.
c)      Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.
d)     Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya.
e)      Menghindari situasi dan hubungan sosial.
f)       Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi idealitas penampilan fisiknya.
g)      Berpikir untuk melakukan operasi plastik.
h)      Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.
i)        Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya.
j)        Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.
k)      Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.

Weinshenker (2001) menyatakan bahwa kecemasan, rasa malu dan juga depresi acapkali merupakan konsekuensi dari gangguan ini.
Faktor Penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD) Sampai saat ini, belum ada penelitian yang memastikan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD) dengan jelas. Riwayat dilecehkan tubuhnya pada masa kanak-kanak, tidak dicintai orang tua, dan mempunyai penyakit yang mempengaruhi penampilan, jerawat misalnya, bisa dikategorikan menjadi penyebab gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD). Jika diklasifikasikan, ada dua aspek yang masih menjadi dugaan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD). Pertama, adanya ketidakseimbangan cairan kimia (hormon serotonin) di dalam otak, yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi. Kedua, kemungkinan faktor-faktor sifat, psikologis, maupun budaya.
Tahap awal untuk mengobati pasien dengan BDD yaitu dengan terapi nonfarmakologis dengan cara menginterfensi psikologi pasien. Terapi yang dikenal dalam menangani pasien tersebut yaitu dengan pendekatan Cognitive-Behavioral Therapy (CBT).Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku (CBT) mungkin berpengaruh untuk BDD.Kebanyakan studi telah meneliti kombinasi komponen kognitif (misalnya, restrukturisasi kognitif yang berfokus pada perubahan asumsi terkait penampilan dan kepercayaan) dengan komponen perilaku, terutama terdiri dari paparan dan pencegahan respon untuk mengurangi penghindaran terhadap sosial dan perilaku kompulsif. Temuan dari penelitian neuropsikologis (seperti diulas di atas) mendukung penggunaan strategi kognitif perilaku untuk membantu pasien mengurangi fokusnya pada detail kecil dari penampilan mereka dan justru membantu pasien agar melihat tubuh mereka lebih "holistik”
Dari berbagai uraian di atas dapat di simpulkan bahwa gangguan dismorfik tubuh adalah sebuah ketidakpuasan yang cukup ekstrem terhadap penampilan bentuk tubuh yang meneyebabkan rasa cemas yang  terus menerus terhadap kekurangan fisiknya. Orang yang terkena gangguan ini bukan saja merasa tertekan psikologisnya tapi bahkan gagal dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, belajar, dan aktivitas sosial lainya.

REFERENSI

Bjornsson AS, Didie ER, Phillips KA. Body Dysmorphic Disorder. Dialogues Clin Neurosci. 2010 [diakses pada 20 April 2016]; 12(2): 221–232. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl es/PMC3181960/
Veale, D. Cognitive-Behavioral Teraphy for Body Dysmorphic Disorder. Advances in Phsyciatric Treatment, vol. 7. 2001; 125-132.

0 komentar:

Posting Komentar