11.4.18

FENOMENA KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA     

             BERSAMA-SAMA ( “Berjamaah” )

             Nama : RR Erlin Setyati
             NIM    : 17.310.410.1173

 
Harapan masyarakat Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 antara lain terciptanya pemerintahan yang demokratis, adil dan bersih bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.  Pemerintahan yang demikian diharapkan akan berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Kenyataannya, sekarang ini justru korupsi makin meningkat dan terbuka mudah diketahui oleh masyarakat, apalagi setelah terbentuknya KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2002. Sejak tahun 2004 sampai akhir 2015, KPK telah menangani
kasus korupsi sebanyak 439. Dari total kasus yang ditangani, penyuapan paling banyak disusul kasus pengadaan barang dan jasa. Yang lebih memprihatinkan adalah saat ini korupsi dilakukan secara “ berjamaah “ atau bersama-sama dan dilakukan secara berulang.
            Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptus yang artinya menyalahgunakan, menyimpang, menghancurkan, mematahkan. Apa yang disalah gunakan? Kewenangan atau kekuasaan. Menyimpang dari apa? Dari aturan hukum dan norma. Apa yang dihancurkan? Kepercayaan. Ini berarti kata korupsi mengandungmakna yang sangat negatif, karena mengacu pada suatu perilaku yang merugikan.
Di Indonesia telah ada rumusan hukum dalam bentuk Undang-Undang ( UU )  yang dapat dijadikan acuan untuk memberi batasan tentang korupsi, yaitu UU 31/1999jo UU No 20 Tahun 2001. Termasuk dalam bentuk pidana korupsi, dapat dikelompokkan menjadi:
1.    Kerugian keuangan negara
2.    Suap menyuap uang
3.    Penggelapan dalam jabatan
4.    Pemerasan
5.    Perbuatan curang
6.    Benturan kepentingan
7.    Gratifikasi
Korupsi saat ini seperti virus yang menyebar ke lembaga–lembaga penyelenggara negara yaitu melibatkan lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Pihak swasta juga saat ini juga terlibat dalam korupsi, biasanya sebagai penyuap. Klitgaard (1998) mendefinisikan korupsi dalam bentuk rumus C = M + D – A. Maksudnya C ( coruption ) terjadi karena adanya M ( monopoly ) dan D ( discretionary power ) atau kewenangan serta minimnya  A ( accountability ). Dengan kata lain, semakin besar monopoli dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang tapi akuntabilitasnya kecil maka semakin besar kemungkinan dia melakukan korupsi. Rumus Klitgaard itu bukan hanya berlaku dalam konteks korupsi yang bersifat individual, tetapi korupsi yang dilakukan secara kolektif dan institusional.
Dahulu, keluarga adalah benteng pertama pencegah perilaku korupsi, tetapi tidak dengan jaman sekarang. Sejumlah pihak menggunakan  keluarga untuk melancarkan praktek korupsi. Keluarga menjadi bagian dari korupsi. Keluarga menjadi bagian dari praktek nepotisme. Dalam pilkada, setelah orang tuanya tidak memungkinkan sebagai peserta pilkada, kemudian istri atau anaknya yang mencalonkan diri. Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan keluarga, makin terlihat dengan ditangkapnya sejumlah pasangan suami istri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengapa korupsi “ berjamaah “ tumbuh subur? Kemungkinan disebabkan karena dengan melibatkan banyak pihak maupun keluarga, korupsi yang dilakukanakan lebih “ menguntungkaan “ karena:
1.Sulit dilacak karena setiap orang atau institusi yang tersangkut tindak korupsi akan saling menutupi dan aliran dananya menyebar kemana-mana sehingga perlu kejelian dan keseriusan pihak penyidik untuk menelusuri aliran dananya.
2.Dengan korupsi dilakukan secara bersama-sama, jumlah dana yang dikorupsi bisa  dalam jumlah sangat besar sehingga pelaku korupsi memiliki dana yang sangat besar untuk membayar pengacara seandainya mereka tertangkap, dan dana yang besar tersebut cukup untuk menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.Tidak ada kekhawatiran keluarganya akan terlantar karena dana atau asetnya disita untuk negara.
3.Penegak hukum saat ini integritasnya masih rendah, sehingga ancaman hukuman bagi para koruptor sangan ringan walaupun jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkannya sangat banyak.
4.Masyarakat Indonesia mudah melupakan kesalahan para koruptor. Dimata masyarakat, koruptor setelah selesai menjalani masa hukumannya, sudah dilupakan kesalahan perilaku koruptifnya, dibuktikan bekas koruptor tetap terpilih menjadi seorang pemimpin daerah.
5.Pelaku korupsi di Indonesia kebanyakan tokoh-tokoh masyarakat, yang memiliki kekuatan keuangan dan pengaruh, sehingga walaupun berperilaku koruptif, tetap tidak kehilangan penghargaan dari masyarakat. Dengan kata lain, kadang opini bisa dibeli dengan sejumlah uang atau pemberian fasilitas.
6.Korupsi yang melibatkan pihak dari “partai politik”, menyebabkan terjadinya tawar menawan untuk tetap diusut atau tidaknya tindakan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama tersebut.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi yang dilakukan secara bersama-sama (“berjamaah”) dengan melibatkan banyak pihak, akar permasalahannya adalah mental memperkaya diri sendiri yang sudah berakar sampai semua lapisan, hingga menjadi hal yang biasa saja. Sikap mental seperti itu harus diberantas, menyesuaikan perkembangan jaman yang lebih maju dan berbudaya untuk cepatnya kemajuan pembangunan fisik dan mental bangsa Indonesia. Selain memperbaiki mental untuk anti korupsi, juga tiap-tiap lembaga negara memperkuat kontrol kelembagaan sehingga akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan maksimal bebas dari korupsi.

Kepustakaan
Zainal Abidin, A. Gimmy Prathama Siswadi, (2015), Psikologi Korupsi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.




0 komentar:

Posting Komentar