BERSAMA-SAMA ( “Berjamaah” )
Nama : RR Erlin Setyati
NIM : 17.310.410.1173
Harapan
masyarakat Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 antara lain
terciptanya pemerintahan yang demokratis, adil dan bersih bebas dari kolusi,
korupsi dan nepotisme. Pemerintahan yang
demikian diharapkan akan berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia yang
lebih baik. Kenyataannya, sekarang ini justru korupsi makin meningkat dan terbuka
mudah diketahui oleh masyarakat, apalagi setelah terbentuknya KPK ( Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2002. Sejak tahun 2004 sampai akhir 2015, KPK
telah menangani
kasus korupsi sebanyak 439. Dari total kasus yang ditangani,
penyuapan paling banyak disusul kasus pengadaan barang dan jasa. Yang lebih
memprihatinkan adalah saat ini korupsi dilakukan secara “ berjamaah “ atau
bersama-sama dan dilakukan secara berulang.
Korupsi berasal dari
Bahasa Latin corruptus yang artinya
menyalahgunakan, menyimpang, menghancurkan, mematahkan. Apa yang disalah
gunakan? Kewenangan atau kekuasaan. Menyimpang dari apa? Dari aturan hukum dan
norma. Apa yang dihancurkan? Kepercayaan. Ini berarti kata korupsi
mengandungmakna yang sangat negatif, karena mengacu pada suatu perilaku yang
merugikan.
Di
Indonesia telah ada rumusan hukum dalam bentuk Undang-Undang ( UU ) yang dapat dijadikan acuan untuk memberi
batasan tentang korupsi, yaitu UU 31/1999jo UU No 20 Tahun 2001. Termasuk dalam
bentuk pidana korupsi, dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap uang
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan
7. Gratifikasi
Korupsi
saat ini seperti virus yang menyebar ke lembaga–lembaga penyelenggara negara
yaitu melibatkan lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Pihak swasta juga
saat ini juga terlibat dalam korupsi, biasanya sebagai penyuap. Klitgaard
(1998) mendefinisikan korupsi dalam bentuk rumus C = M + D – A. Maksudnya C ( coruption ) terjadi karena adanya M ( monopoly ) dan D ( discretionary power ) atau kewenangan serta minimnya A ( accountability
). Dengan kata lain, semakin besar monopoli dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang
tapi akuntabilitasnya kecil maka semakin besar kemungkinan dia melakukan
korupsi. Rumus Klitgaard itu bukan hanya berlaku dalam konteks korupsi yang
bersifat individual, tetapi korupsi yang dilakukan secara kolektif dan
institusional.
Dahulu,
keluarga adalah benteng pertama pencegah perilaku korupsi, tetapi tidak dengan
jaman sekarang. Sejumlah pihak menggunakan
keluarga untuk melancarkan praktek korupsi. Keluarga menjadi bagian dari
korupsi. Keluarga menjadi bagian dari praktek nepotisme. Dalam pilkada, setelah
orang tuanya tidak memungkinkan sebagai peserta pilkada, kemudian istri atau
anaknya yang mencalonkan diri. Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama yang
melibatkan keluarga, makin terlihat dengan ditangkapnya sejumlah pasangan suami
istri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengapa
korupsi “ berjamaah “ tumbuh subur? Kemungkinan disebabkan karena dengan
melibatkan banyak pihak maupun keluarga, korupsi yang dilakukanakan lebih “
menguntungkaan “ karena:
1.Sulit dilacak karena setiap
orang atau institusi yang tersangkut tindak korupsi akan saling menutupi dan
aliran dananya menyebar kemana-mana sehingga perlu kejelian dan keseriusan
pihak penyidik untuk menelusuri aliran dananya.
2.Dengan korupsi dilakukan
secara bersama-sama, jumlah dana yang dikorupsi bisa dalam jumlah sangat besar sehingga pelaku
korupsi memiliki dana yang sangat besar untuk membayar pengacara seandainya
mereka tertangkap, dan dana yang besar tersebut cukup untuk menjamin
kelangsungan kehidupan keluarganya.Tidak ada kekhawatiran keluarganya akan
terlantar karena dana atau asetnya disita untuk negara.
3.Penegak hukum saat ini
integritasnya masih rendah, sehingga ancaman hukuman bagi para koruptor sangan
ringan walaupun jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkannya sangat
banyak.
4.Masyarakat Indonesia mudah
melupakan kesalahan para koruptor. Dimata masyarakat, koruptor setelah selesai
menjalani masa hukumannya, sudah dilupakan kesalahan perilaku koruptifnya,
dibuktikan bekas koruptor tetap terpilih menjadi seorang pemimpin daerah.
5.Pelaku korupsi di Indonesia
kebanyakan tokoh-tokoh masyarakat, yang memiliki kekuatan keuangan dan
pengaruh, sehingga walaupun berperilaku koruptif, tetap tidak kehilangan
penghargaan dari masyarakat. Dengan kata lain, kadang opini bisa dibeli dengan
sejumlah uang atau pemberian fasilitas.
6.Korupsi yang melibatkan
pihak dari “partai politik”, menyebabkan terjadinya tawar menawan untuk tetap
diusut atau tidaknya tindakan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama
tersebut.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi
yang dilakukan secara bersama-sama (“berjamaah”) dengan melibatkan banyak
pihak, akar permasalahannya adalah mental memperkaya diri sendiri yang sudah
berakar sampai semua lapisan, hingga menjadi hal yang biasa saja. Sikap mental
seperti itu harus diberantas, menyesuaikan perkembangan jaman yang lebih maju
dan berbudaya untuk cepatnya kemajuan pembangunan fisik dan mental bangsa
Indonesia. Selain memperbaiki mental untuk anti korupsi, juga tiap-tiap lembaga
negara memperkuat kontrol kelembagaan sehingga akan menjalankan fungsi dan
tugasnya dengan maksimal bebas dari korupsi.
Kepustakaan
Zainal
Abidin, A. Gimmy Prathama Siswadi, (2015), Psikologi
Korupsi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar