TEORI
PERBANDINGAN SOSIAL, JUDGEMENT,
DAN
PERSEOSI SOSIAL
NIM. 16.310.410.1125)
Fakultas
Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
PENDAHULUAN
Psikologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari
tentang perilaku manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Psikologi itu
sendiri mempunyai banyak macam-macamnya. Salah satunya adalah Psikologi sosial.
Dimana psikologi sosial ini membahas perilaku manusia yang berkaitan dengan
masyarakat sosial. Seperti atribusi, konformitas, persepsi sosial dll. Maka
dari itu, di perlukan adanya teori-teori untuk mendasari dan menjadi acuan
dalam tokoh-tokoh psikologi sosial. Dan teori-teori itu selanjutnya akan di
pakai untuk dasar penelitian fenomena sosial yang timbul.
Teori-teori dari psikologi sosial itu banyak
jenisnya, dan di golongkan dalam sebuah pendekatan-pendekatan tertentu. Seperti
gestal dengan teori medan dari lewin. Ada teori yang beriorientasi kognitif
seperti teori P-O-K, A-B-K,
dan lain-lain. Dan ada juga pendekatan transorientasional meliputi
teori perbandingan sosial, penilaian sosial, dll.
Dalam makalah ini akan sedikit menjelaskan
tentang teori persepsi sosial, penilaian sosial dan teori perbandingan sosial
yang merupakan pendekatan Transorientasional. Pendekatan ini adalah pendekatan
yang menggabungkan dari teori-teori pokok
yang lain, atau merupakan teori yang dikembangkan di luar system teori
pokok yang ada.
Tetapi, sebagai mahasiswa yang masih belajar.
Nantinya makalah ini akan jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan di
dalamnya. Maka mohon bimbingan dari ibu dosen
dan memaafkan atas keterbatasan makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Teori
Perbandingan sosial
Teori ini di kemukakan
oleh Festinger (1950, 1954). Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa proses
saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interaksi sosial
ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self evaluation)
dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan memebandingkan diri dengan orang lain.
Teori ini dimulai dari
efek komunikasi social yang selanjutnya diperluas meliputi evaluasi, baik
evaluasi kemampuan (abilities) maupun
evaluasi opini. Teori yang berorientasi kognitif ini mempunyai dasar bahwa
proses pengaruh social berkaitan dengan perilaku kompetitif (competitive behavior) yang tertuju pada
kebutuhan untuk evaluasi diri,dan untuk evaluasi ini, orang mendasarkan diri
pada perbandingan dengan orang lain (comparison
with other persons). Jadi, ada dua hal yang di perbandingkan dalam hubungan
ini. Yaitu :
a. Pendapat
( opinion )
b. Kemampuan
(ability)
Walaupu
proses perbandingan untuk kedua hal tersebut sama yaitu untuk evaluasi oponi
dan evaluasi kemempuan, ada perbedaan yang sangat penting diantara keduanya
yaitu, pertama, adanya dorongan yang sifatnya ke arah yang lebih baik dan
secara satu arah ada kemampuan dan tidak terdapat pada opini atau kemempuan
yang lebih tinggi, contoh Ima hanya mampu mendapat nilai 75 dalam materi
psikologi social sedangkan Kiky mampu mendapatkan nilai 90. Dalam membandingkan
dirinya (pihak ketiga) dengan Ima dan Kiky ia harus meningkatkan kemampuan
belajarnya agar bisa mendekati kemampuan Kiky. Baik pihak ketiga ataupun Kiky
tidak mementingkan dan memikirkan kemungkinan bahwa Kiky menurunkan kemampuannya
untuk mendekati nilai Ima. Tetapi perbandingan yang pertama ini tidak terdapat
pada perbandingan antar pendapat, karena jika pendapat Ima berbeda dengan
pendapat Kiky bisa saja Kiky mengubah pendapatnya agar mendekati pendapatnya
Ima ataupun sebaliknya. Kedua, perubahan
opini relative lebih mudah apabila dibandingkan dengan performansi atau
perubahan pada kemampuan. Seperti contoh di atas Kiky akan sulit menyamakan
nilainya dengan Ima karena dia berkemampuan lebih pandai, tetapi Ia akan mudah
menyatukan pendaptnya dengan Ima apabila dia memiliki pemikiran atau opini yang
sama.
Prinsip
utama proses teori perbandingan social yang dikemukakan oleh Festinger adalah
dalam bentuk hipotesis, akibat wajar (corollaries),
dan derivasi atau asal (derivation).
Pernyataan tersebut berkaitan dengan evaluasi, sumber evaluasi, pemilihan orang
untuk evaluasi, factor-faktor yang menyebabkan perubahan, penghentian
perubahan, dan tekanan ke uniformitas. Dengan rincian sebagai berikut :
1. Dorongan
untuk menilai pendapat dan kemampuan
Asumsi teori
perbandingan sosial adalah adanya dorongan untuk mengavaluasi opini dan kemampuan seseorang.
Festinger mempunyai hipotesis 1 bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive)
untuk menilai pendapat dan kemampuan diri sendiri dengan cara membandingkan
dengan pendapat atau kemampuan orang lain. Evaluasi opini maupun kemampuan
seseorang merupakan determinan yang penting untuk perilakunya. Opini yang benar
dan evaluasi kemampuan yang akurat merupakan petunjuk untuk perilaku yang
menyenangkan atau untuk memperoleh penghargaan, dan sebaliknya, evaluasi opini
dan kemampuan yang tidak tepat merupakan petunjuk untuk konsekuensi yang tidak
menyenangkan. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa
pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemempuan yang dimilikinya.
Akan tetapi Festinger
mengingatkan bahwa dalam menilai kemampuan ada 2 macam situasi. Situasi pertama
adalah dimana kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang objektif,
misalnya kemampuan dalam materi psikologi diatas. Situasi kedua adalah situasi
dimana kemampuan dinilai berdasarkan pendapat, misalnya Zora dan Vira adalah
sama-sama pelukis mana yang lebih bagus lukisannya diantara mereka dinilai
berdasarkan pendapat orng lain tentang lukisan mereka. Jadi yang dinilai bukan
kemampuan melukis, melainkan pendapat tentang kemampuan melukis. Maka, evaluasi
kemampuan adalah opini realitas tentang kemampuan.
2. Sumber-sumber
penilaian
Orang yang akan menggunakan
ukuran-ukuran yang objektif (realitas obyektif) sebagai dasar
penilaian-penilainnya selama ada kemungkinan untuk melakukan hal itu. Tetapi
kalau kemungkinan itu tidak ada maka orang akan mempergunakan pendapat atau
kemampuan orang lain sebagai ukuran. Dari kenyataan ini Festinger
sampai kepada hipotesisnya yang kedua yaitu bahwa jika tidak ada cara-cara yang
nonsosial, maka orang akan mengunakan ukuran-ukuran yang melibatkan orang lain.
Misalnya untuk menegatahui apakah demokrasi merupakan sistem terbaik untuk
suatu Negara tidak ada ukuran yang objektif (non social) sehingga orang harus
menhandalkan penilaian tentang demokrasi pada pendapat orang lain.
Sebagai
konsekuensi dari hipotesis 2, festinger mengajukan hipotesis ikutan (corallary)
2A, sebagai berikut : penilaian seseorang tentang sesuatu pendapat atau
kemampuan tidak mantap (tidak stabil) jika tidak ada perbandingan, baik yang
bersifat social maupun non social.selanjutnya, hipotesis ikutan 2B adalah
penilaian pendapat tidak akan didasarkan pada perbandingan pada pendapat orang
lain, jika ada kemungkinan untuk melakukan penilaian yang objektif.
3. Memilih
orang untuk perbandingan
Apabila basis objektif tidak diperoleh,
seseorang akan mengevaluasi opini dan kemampuannya dengan orang lain. Dalam
membuat perbandingan dengan orang-orang lain, setiap orang mempunyai banyak
pilihan. Tetapi setiap orang cenderung memilih oarng-orang yang sebaya atua
rekan-rekannya sendiri untuk dijadikan perbandingan. Misalnya, seorang
mahasiswa mencari mahasiswa lain untuk pembanding tidak dengan rector, dosen
atau pegawai TU.
Hal
ini dinyatakan festinger dalam hipotesis 3 yaitu “Kecendrungan untuk
membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat dengan
orang lain itu meningkat karena akibat dari adanya ketidakcocokan antara opini
dan kemampuan sendiri”.
·
Corollary 3 A : Kalau ia boleh memilih,
seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat
atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
·
Corollary 3 B : Jika tidak ada
kemungkinan lain keculai membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan
orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian
yang tepat tentang pendapat atau kemajuannya sendiri.
Dengan
menggunakan hipotesis-hipotesis 1,2,3 selanjutnya festinger menarikbeberapa
kesimpulan (derivasi)untuk tujuan peramalan tingkah laku.
·
Derivasi A : penilaian seseorang tentang
dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau
kemampuannyamiripdengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
·
Derivasi B penilaian cenderung akan
berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan
yang jauh berbeda dari kemampuan atau pendapat sendiri.
·
Derivasi C orang akan kurang tertarik
pada situasi-situasi dimana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang
berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada situasi dimana orang
lain yang mempunyai pendapat atau kemampuan yang hamper sama dengan dirinya
sendiri.dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada kelompokyang
member peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
·
Derivasi D: perbedaan besar dalam suatu
kelompokdalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk
mengurangi perbedaan itu.
4. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan
Ada dua faktor utama yang mempengaruhi
perubahan kemampuan apabila dibandingkan
dengan opini. Pertama perubahan
kemampuan yang menaik secara satu arah, yaitu kea rah kemampuan yang lebih
tinggi/baik. Kedua, perubahan opini
relative lebih mudah atau terdapat keleluasaan untuk terjadinya perubahan
kesegala arah.
Atas dasar itu, Festinger
mengajukan hipotesis 4 sebagai berikut : Dalam hal ini perbedaan kemampuan,
terdapat desakan untuk perubahan searah, yaitu perubahann ke atas, yang tidak
terdapat dalam dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesa 4 ini menurut Festinger
setidak-tidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika serikat dimana
prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dalam perkataan lain,di lingkungan
masyarakat lain dimana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang
tinggi,
Hipotesis
berikutnya adalah Hipotesis 5 yaitu Ada faktor-faktor nonsosial yang
menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang
hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat. Jadi, orang yang badannya
lemah bisa saja berpendapat bahwa ia bisa mengangakat barbell 100 kg, tetepi
kenyataanya ia tetap saja tidak dapat mengangkat barbell tersebut. Lain halnya
jika seseorang merasa pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah
pendapatnya tersebut.
Mengacu
pada derivasi D, jelaslah bahwa dengan satu desakan saja, anggota dari suatu
kelompok akan mengubah pendapatnya masing-masing untuk mencapai suatu
keseragaman pendapat dalam kelompok itu. Namun, hal ini tidak terjadi begitu
saja dalam hal pendapat. Karena adanya keharusan untuk perubahan ke satu arah
saja. Yaitu ke atas. Setiap anggota kelompok harus berusaha keras untuk
meningkatkan kemampuannya sehingga mencapai suatu keadaan di mana perbedaan
kemampuan antara satu anggota dengan anggota kelompok yang lain akan sedikit.
Dalam keadaan ini tidak terjadi lagi dorongan untuk berubah.
Derivasi
D1 mengatakan bahwa jika ada perbedaan pada pendapat atau kemampuan dalam
kelompok, akan terjadi kecenderungan pada seseorang untuk mengubah pendapat
atau kemampuannya mendekati kemampuan atau pendapat orang lain.
Derivasi
D2 yaitu mengubah pihak lain dalam kelompok untuk membawa mereka berdekatan
dengan dirinya.
5. Berhentinya
perbandingan
Karena suatu keadaan,
seseorang akan menghentikan (cease)
untuk mengadakan perbandingan dengan pihak lain, pembanding dapat diperoleh dengan
perubahan komposisi dari kelompok pembanding. Deriviasi D3 menyatakan adanya
tendensi bahwa perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang-orang lain dalam
kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecendrungan untuk menghentikan
perbandingan-perbandingan.
Festinger berpendapat
bahwa penghentian untuk membandingan akan berbeda antara opini dan kemampuan.
Hal ini berdasarkan fakta bahwa perbedaan opini seseorang dinyatakan secara
tidak langsung bahwa opini seseorang tidak benar karena adanya pengertian yang
negative, namun tidak demikian dengan perbedaan kemampuan. Hal ini dinyatakan
dalam Hipotesis 6 yaitu sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang
lain menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan, perhatian
perbandingan akan diikuti oleh pearsaan bermusuhan dan kebencian.
Corollary 6A menyatakan
bahwa penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau
kebencian.hanya dalamhal perbedaan pendapat, tidak dalam hal perbedaaan
kemampuan.
6. Desakan
kearah keseragaman
Dalam beberapa
penjelasan di muka, dikemukakan adanya indikasi bahwa dorongan evaluasi
kamampuan dan opini menimbulkan tekanan pada keseragaman. Kekuatan dari tekanan
ini akan di tentukan oleh berbagai macam faktor. Dari hipotesis 1,2,3 festinger
berpendapat bahwa tiap faktor yang menaikkan atau memperkuat dorongan untuk
mengevaluasi opini atau kemampuan juga akan
menaikkan tekanan pada keseragaman dalam hal opini atau kemampuan
(Derivasi E).
Penjelasan tersebut
sama halnya dengan hipotesis 7 yang menyatakan bahwa tiap faktor yang
memperkuat pentingnya kelompok pembanding untuk opini atau kemampuan akan
meningkatkan pula tekanan terhadap keseragaman pada opini atau kemampuan. Yang
di maksud opini di sini adalah bahwa pada opini atau kemampuan orang yang
dipandang kurang penting akan timbul dorongan yang kecil atau bahkan tidak
timbul terhadap evaluasi, dan semakin besar relevansi opini atau kemampuan terhadap
perilaku, semakin besar pula dorongan untuk evaluasi opini atau kemampuan.
Corollary
7 A menyatakan bahwa Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan
tergantung dari daya tarik kelompok itu. Semakin menarik kelompok itu bagi
seseorang , semakin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan semakin kuat
pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri
dengan kelompok. Hal tersebut terdapat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut
:
·
Kecenderungan untuk mengubah pendapat
sendiri
·
Usaha yang semakin meningkat untuk
mengubah pendapat orang lain.
·
Kecenderungan yang meningkat untuk
membuat orang lain krang senang.
Corollary 7 B : Desakan
kearah keseragaman bervariasi, tergantung pada relevansi pendapat atau
kemampuan bagi kelompok.
Hipotesis 8 :
kecendrungan untuk memperkecil kemungkina perbandingan makin besar jika
orang-orang yang pandangan atau kemampuannya berbeda dari diri tersebut,
dianggap juga berbeda dalam sifat-sifat lain. Dengan perkataan lain, dalam
kelompok yang heterogen, orang akan lebih cenderung tidak jauh dari modus
pendapat. Khususnya personal akan membicarakan pendapat daripada dalam kelompok
yang heterogen.
Hipotesis 9 : Jika ada
berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok, menivestasi dari kekuatan kea
rah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum
kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya
yang dekat dengan modus pendapat kelompok mempunyai kekuatan yang lebih besar
untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relative lebih lemah
keccenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan dan sangat lemah
kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika dibandingkan dengan
orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7. Pengaruhnya
terhadap pembentukan kelompok
Dorongan
untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan
kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok.
a. Karena
perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri
orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan
orang lain.
b.
Kelompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat
dengan pendapat sendiri. Oleh karena itu, orang lebih tertarik pada kelompok
yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri. Dan cenderung menjauhi
kelompok-kelompok yang pendapatnya berbeda dari pendapat sendiri.
8. Konsekuensi-konsekuensi
dari perbandingan yang dipaksakan
Jika
perbedaan pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur
dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan
perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.
Festinger
mengatakan bahwa ada dua situasi dimana hal tersebut tidak terjadi, yaitudimana
perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi
tersebut adalah :
a.
Situasai dimana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu
tetapsaja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh
berbeda dari pendapat atau kemampuan kelompok. Dalam situasi ini kekuasaan
kelompok atas individu sangat kuat dan perbedaan pendapat akan segera
diperkecil. Akan tetapi, dalam hal kemampuan individu tidak dengan begitu saja
bisa meningkatkan kemampuannya. Padahal kelompok menuntutnyauntuk meningkatkan
kemampuan kemampuan kelompok sesuai rata-rata kemampuan kelompok. Dalam hal ini
individu dapat merasa tidak mampu dan merasa gagal.
b.
Situasi dimana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak
ada kemungkinan lain, misalnya orang yang di penjara, atau harus bekerja demi
mencari nafkah walaupun ia tidak suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam
hal ini pengaruh kelompok terhadap individu lemah dan keseragaman terhadap
pendapat hanya dapat di capai melalui paksaan atau kekerasan. Sebagai kelompok
mungkin ada kesepakatan umum, tetapi sebagai pribadi, ada individu yang
menentang kelompok.
8. Konsekuensi-konsekuensi
dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan
pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya
sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan
perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.
B . Teori Penilaian Sosial.
Teori penilaian sosial
adalah suatu teori yang memusatkan bagaimana kita membuat penilaian tentang
opini atau pendapat yang kita dengar dengan melibatkan ego dalam pendapat
tersebut.
Teori ini dikemukakan
oleh Sherif dan Hovland (1961) mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi,
sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yang mendasar dari
teorinya ini adalah orang yang membentuk situasi yang penting buat dirinya.
Jadi ia tidak ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun
ekstern (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan factor intern
dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku.
Pasokan-pasokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejauh
mana pengaruhnya terhadap penilaian social dilakukan oleh individu. Kerangka
acuan ini bukan dalam arti yang abstrak (norma, idealism, dan lain-lain) tetapi
dalam arti konkret yang khusus menyangkut prilaku tertentu pada waktu dan
tempat tertentu. Prilaku di sini tidak disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal melainkan prilaku itu akan mengikuti pola-pola tertentu yang
diciptakan oleh faktor-faktor tersebut.
Interaksi antara
faktor-faktor internal dan eksternal sejalan dengan teori kognitif dan teori
lapangan. Jika kondisi stimulus meragukan atau tidak jelas, padahal motivasi
cukup kuat maka faktor internal akan lebih berpengaruh. Sebaliknya, jika faktor
motif kurang kuat, padahal stimulusnya jelas, maka faktor luar akan lebih
berpengaruh
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar.
a. skala penilaian
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar.
a. skala penilaian
Dalam
membuat penilaian individu harus membandingkan stimulus yang diterimanya dengan
“sesuatu”. Sesuatu ini bisa berupa stimulus lain, kerangka acuan, atau suatu
sekala penilaian. Penilaian dilakukan
untuk membedakan satu stimulus dari stimulus-stimulusyang lain atau untuk
menggolongkan stimulus itu dalam suatu kelas dari serangkaian kelas dalam suatu
skala tertentu. Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri
individu, Sherif mengemukakan bahwa dalam percobaannya sebagai berikut, pada
orang percobaan (OP) diberikan sejumlah benda (setiap kali satu benda) dan OP
diminta menyatakan benda-benda mana yang berat dan mana yang ringan. Dalam
keadaan demikian OP biasanya cepat membuat standart subjektif atau skal
penilaiaan yang berpusat pada tengah-tengah jarak antara benda yang teringan
dan yang terberat. Jika OP diminta untuk m,enggolongkan benda-benda itu dalam
lebih dari 2 kategori, maka akan timbul beberapa standar subjektif yang
masing-masing akan merupakan ambang yang memisahkan kategori dengan kategori
lainnya. Disitulah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-patokan
yang akan disusun agar penilaiannya makin mantap. Misalnya orang diberikan
barang/benda yang dapat ditimbang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram.
Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai patokannya, maka
menggolongkan benda yang berat dan yang ringan ini akan sangat stabil (mantap).
sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dan tidak ada patokan
jelas, maka penilaian akan labil (mudah berubah) dan lebih besar kemungkinannya
terbentuk dari pengaruh faktor-faktor internal. Misalnya : jika sebuah titik
api dinyalakan disebuah kamar yang sangat gelap, maka titik api itu akan
terlihat seakan-akan bergerak. Jika titik api itu dinyalakan beberapa kali maka
lama-kelamaan penilaian tentang gerak api itu akan semaki stabil dalam
batas-batas tertentu. Dan jika api itu diperlihatkan kepada sekolompok orang,
maka penilaian orang-orang itu semakin lama akan semakin mendekati sehingga
bertemu dalam suatu standrat tertentu yang disepakati bersama.
b.
Efek asimilsi dan kontras
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang
orang-orang harus menggunakan patokan-patokan diluar batas-batas yang diberikan
oleh stimulus yang ada. Biasanya orang menggunakan stimulus yang terendah
(paling kecil, lemah, ringan, sedikit) dan stimulus tertinggi (paling besar,
berat, banyak ). Akan tetapi, banyak
juga orang-orang menggunakan patokan-patokan yang berada di luar batas-batas
yang diberikan. Efek dari patokan ini
bergantung dari jauh dekatnya patokan dari stimulus. Jika, patokan sedikit
lebih rendah atau sedikit lebih tinggi dari pada stimulus yang terendah atau
stimulus yang tertinggi, maka timbul penilaian terhadap stimulus yang mendekati
patokan. Sebaliknya, kalau Patoka terlalu jauh berada diluar batas-batas yang
diberikan, maka penilaian justru akan menjauhi patokan. Jadi penilaian yang
mendekati patokan disebut asimilasi. Yaitu patokan yang di masukkan kedalam
rangkaian stimulus dalam batas rangkaian stimulus diperbesar, sehingga
mencakupi patokan. Dan penilaian yang menyalahi patokan disebut kontras.
C. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan
Menurut
sherif dan Hovlan(1961) proses penilaian prilaku baik untuk penilaian fisik,
misalnya berat maupun pengukuran sikap. Perbedaannya yakni dalam sikap individu
sudah membawaklasifikasinya sendiri dalam menilai suatu objek dan ini
mempengaruhi penilaian, penerimaan, dan penolakan individu terhadap suatu
konflik. Perbedaan yang lain pada penilaian sosial (sikap) terdapat perbedaan
dari satu individu dengan individu yang lain, padahal dalam penilaian fisik
tidak terdapa variasi yang terlalu besar.
Perbedaan akan variasi antara individu akan
mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang. Garis lintang
penerimaan adalah rangakaian posisi sikap yang dapat diberikan , diterima dan
ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi sikap
yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bisa ditolerir oleh
indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang termasuk dalam
lintang yang pertama. Jadi, individu tidak menerima tapi juga tidak menolak
atau acuh tak acuh. Interaksi garis-garis lintang ini akan menentukan sikap
individu terhadap pernyataan dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh
kepada garis lintang penerimaan, maka individu akan setuju dengan pernyataan
itu. JIka pernyataan itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut
tidak akan menyetujuinya.
D.Pola penerimaan dan penolakan
Jika
seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri maka
ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat
dengan posisinya yang mau diterimanya.
Semakin terlibat seorang individu dalam situasi yang dinilainya sendiri
maka ambang penerimaannya semakin tinggi dan semakin sedikit hal-hal yang mau
diterimanya. Asimilasi menjadi semakin kurang. Sebaliknya, amabang penolakan
semakin rendah sehingga semakin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal
ini semakin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya
sendiri seberapa banyakpun dia anggap perlu.
E. Penilaian social dan perubahan sikap
Komunikasi menurut Sherif dan hovland
bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap orang lain. Tetapi bisa juga
menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut
terhadap individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi
akan semakin memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga
terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan,
maka komunikasi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling
menjauhi. Delam perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam suatu isu maka
posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak
jauh dari posisinya sendiri. Ia akan menilai cukup beralasan dapat dimengerti
dan sebagainya. Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati
posisis lain. Sebaliknya, posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang
wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi,
maka akan terjadi efek boomerang dari komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari
sikap-sikap akan semakin menjauh.
3. Teori Persepsi Sosial
Persepsi
dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami.
Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya alat
untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Artinya, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
penginderaan. Pengindraan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus
oleh individu melalui alat penerimaan yaitu alat indera. Namun proses tersebut
tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh
saraf otak sebagai pusat susunan saraf dan proses itu selanjutnya disebut
sebagai proses persepsi.
Jadi,
persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Atau dengan kata lain persepsi merupakan proses memberikan makna pada
stimuli yang ditangkap oleh inderawi. Dalam hal ini,
stimulus yang mengenai inderawi individu itu kemudian diorganisasikan,
diinterprestasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya
itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima oleh
alat indera, kemudian proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi
sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpestasikan. Selanjutnya,
persepsi juga dianggap sebagai proses yang integrated dari
individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterprestasian
terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan
sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri
individu. Karena merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh
pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam
proses persepsi.
Dengan persepsi, individu dapat menyadari, dapat mengerti
tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya dan juga tentang keadaan diri
individu yang bersangkutan. Dengan demiklan dapat dikemukakan bahwa dalam
persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, tetapi juga dapat
datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi dirinya
sendiri sebagai objek persepsi inilah yang disebut persepsi diri (self
perception). Karena dalam persepsi itu merupakan aktivitas yang integrated,
maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman,
kemampuan berfikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri
individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya
sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara
individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan
gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual.
Faktor-faktor yang
berpengaruh pada Persepsi
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa apa yang ada dalam diri
individu akan mempengaruhi individu dalam mengadakan persepsi, ini merupakan
faktor internal. Disamping itu masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi
dalam proses persepsi, yaitu faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan
dimana persepsi itu berlangsung dan ini merupakan faktor eksternal. Stimulus
dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal
saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi.
Agar stimulus dapat dipersepsi, maka stimulus harus cukup
kuat, stimulus harus melampaui ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang
minimal tetapi dapat menimbulkan kesadaran, sudah dapat dipersepsikan oleh
individu. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Stimulus
yang kurang jelas, akan berpengaruh dalam ketetapan persepsi. Bila stimulus itu
berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada
individu yang mengadakan persepsi. karena benda-benda yang dipersepsi tersebut
tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Hal tersebut akan berbeda
bila yang dipersepsi itu manusia.
Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil
persepsi datang dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi
kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Bila sistim
fisiologinya tergangggu. hal tersebut akan berpengaruh dalam persepsi
seseorang. Sedangkan segi psikologis seperti telah dipaparkan di depan. yaitu
antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan,
motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Sedangkan
lingkungan atau situasi yang melatar-belakangi stimulus juga akan berpengaruh
dalam persepsi, lebih-Iebih bila objek merupakan kebulatan atau kesatuan yang
sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat
menghasilkan persepsi yang berbeda.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
factor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain :
1.
Objek yang
dipersepsi
2.
Alat Indera, termasuk syaraf
dan pusat susunan syaraf.
- Perhatian.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa objek
persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat
berada dalam diri individu yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri
orang akan dapat melihat bagaimana keadaannya dirinya sendiri, orang akan dapat
mengevaluasi tentang dirinya sendiri.
Bila objek persepsi terletak di luar orang yang
mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-macam, yaitu dapat berwujud
benda-benda situasi dan juga berwujud manusia. Bila objek persepsi berwujud
benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut
non-social perception, sedangkan objek persepsi berwujud manusia atau
orang disebut persepsi sosial atau social. perception. Namun disamping
istilah-istilah tersebut, khususnya mengenai social perception masih
terdapat istilah-istilah lain yang digunakan, yaitu persepsi orang atau person
perception.
Dalam individu mempersepsi benda-benda mati bila
dibandingkan dengan mempersepsi manusia, terdapat segi-segi persamaan di samping
terdapat segi-segi perbedaan. Adanya persamaan bila dilihat bahwa manusia atau
orang itu dipandang sebagai benda fisik seperti benda-benda fisik lainnya yang
terikat pada waktu dan tempat, pada dasarnya tidak berbeda. Namun karena
manusia itu semata-mata bukan hanya benda fisik saja, tetapi mempunyai
kemampuan- kemampuan yang tidak dipunyai oleh benda fisik lainnya, maka hal ini
akan membawa perbedaan antara mempersepsi benda-benda dengan mempersepsi
manusia.
Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu
mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, harapan, walaupun kadarnya berbeda
seperti halnya individu yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi dapat berbuat
sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru
sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Orang yang
dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya juga dapat menjadi lawan dari
individu yang mempersepsi. Hal tersebut tidak akan dijumpai bila yang
dipersepsi itu bukan manusia atau orang. Ini berarti orang yang dipersepsi
dapat memberikan pengaruh kepada orang yang mempersepsi.
Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk
mengetahui, menginterprestasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi,
tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri
orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang
dipersepsi. Namun demikian seperti telah dipaparkan diatas, karena yang
dipersepsi itu manusia seperti halnya dengan yang mempersepsi, maka objek
persepsi dapat memberikan pengaruh kepada yang mempersepsi. Dengan demikian
dapat dikemukakan dalam mempersepsi manusia atau orang (person) adanya
dua pihak yang masing-masing mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan-perasaan,
harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang
lain, yang akan dapat berengaruh dalarn mempersepsi manusia atau orang
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka ada beberapa hal
yang dapat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalam mempersepsi manusia yaitu:
1. Keadaan
stimulus, dalam hal ini berwujud manusia yang akan dipersepsi.
2. Situasi
atau keadaan sosial yang melatar-belakangi stimulus.
3. Keadaan
orang yang mempersepsi.
Walaupun stimulus personnya sama, tetapi jika situasi
sosial yang melatar belakangi stimulus person berbeda akan berbeda hasil
persepsinya. Pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman atau
dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam
seseorang mempersepsi orang lain. Hal tersebut disebabkan karena persepsi
merupakan aktivitas yang integrated. Bila orang yang dipersepsi atas
dasar pengalaman merupakan seseorang yang menyenangkan bagi orang yang
mempersepsi akan lain hasil persepsinya bila orang yang dipersepsi itu
memberikan pengalaman yang sebaliknya. Demikian pula dengan aspek-aspek lain
yang terdapat dalam diri orang yang mempersepsi.
Demikian pula situasi sosial yang melatar-belakangi
stimulus person juga akan ikut berperan dalam hal mempersepsi seseorang.
Bila situasi sosial yang melatar belakangi berbeda, hal tersebut akan dapat
membawa perbedaan hasil persepsi seseorang. Orang yang biasa bersikap keras,
tetapi karena situasi sosialnya tidak memungkinkan untuk menunjukkan
kekerasannya, hal tersebut akan mempengaruhi dalam seseorang berperan sebagai
stimulus person. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi orang yang
mempersepsinya. Karena itu situasi sosial yang melatar belakangi stimulus person
mempunyai peran yang penting dalam persepsi, khususnya persepsi social.
Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa individu dapat
mempunyai persepsi social yang sama dan juga ada kemungkinan mempunyai persepsi
social yang berbeda tentang stimulus yang ada dilingkungannya. Hal ini
disebabkan antara lain oleh pengaruh social budaya dari lingkungan individu,
objek yang dipersepsi, motiv individu, dan kepribadian individu. Lebih jauh,
sarwono (2002) menambahkan bahwa persepsi social juga sangat tergantung pada
komunikasi. Artinya, bagaimana komunikasi yang terjadi antara satu individu
dengan individu lainnya akan mempengaruhi persepsi diantara keduanya.
Komunikasi disini menurut Sarwono (2002) bukan hanya sebatas komunikasi verbal
melainkan juga komunikasi non-verbal yang terjadi antara keduanya, seperti
gerak tubuh, ekspresi wajah dan lain sebagainya.
Selanjutnya,
persepsi sosial juga dianggap sebagai bagian dari kognisi social (akan dibahas
selanjtnya), yaitu pembentukan kesan-kesan tentang karakteristik-karakteristik
orang lain. Kesan yang diperoleh tentang orang lain tersebut biasanya
didasarkan pada tiga dimensi persepsi, yaitu:
1. Dimensi evaluasi yaitu penilaian untuk
memutuskan sifat baik buruk, disukai-tidak disukai, positif-negatif pada orang
lain.
2. Dimensi potensi yaitu kualitas dari orang
sebagai stimulus yang diamati (kuat-lemah, sering-jarang, jelas-tidak jelas).
3. Dimensi aktivitas yaitu sifat aktif atau
pasifnya orang sebagai stimulus yang diamati.
Berdasarkan
tiga dimensi tersebut, maka persepsi sosial didasarkan pada dimensi evaluatif, yaitu
untuk menilai orang. Penilaian ini akan menjadi penentu untuk berinteraksi
dengan orang selanjutnya. Artinya, persepsi sosial timbul karena adanya
kebutuhan untuk mengerti dan meramalkan orang lain. Maka dalam persepsi sosial
tercakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu:
1. Aksi orang lain, yaitu tindakan individu yang
berdasarkan pemahaman tentang orang lain yang dinamis, aktif dan independen.
2. Reaksi orang lain, merupakan aksi
individu menghasilkan reaksi dari individu, karena aksi individu dan orang lain
tidak terpisah. Pemahaman individu dan cara pendekatannya terhadap orang lain
mempengaruhi perilaku orang lain itu sehingga timbul reaksi.
3. Interaksi dengan orang lain, yaitu reaksi dari
orang lain mempengaruhi reaksi balik yang akan muncul.
Bias dalam Persepsi Sosial
Ada beberapa bias atau kesesatan dalam
persepsi sosial, antara lain yaitu:
1. Hallo Effect
Merupakan kecenderung untuk mempersepsi
orang secara konsisten. Hallo effect ini secara umum terjadi karena
individu hanya mendasarkan persepsinya hanya pada kesan fisik atau
karakteristik lain yang bisa diamati.
2. Forked Tail Effect (negative
hallo)
Merupakan lawan dari hallo effect,
yaitu melebih-lebihkan kejelekan orang hanya berdasarkan satu keadaan yang
dinilai buruk.
Daftar
Pustaka
Walgito Bimo, 2003. PSIKOLOGI
SOSIAL (suatu pengantar). Edisi Revisi. Penerbit ANDI. YOGYAKARTA
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI (Sarwono, S.W.,
dkk). 2011. Psikologi Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika. 1. 2.
Sarwono, S. W.
2004. Teori-teori Psikologi Sosial,
cetakan-4. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
0 komentar:
Posting Komentar