23.3.18

TEORI PERBANDINGAN SOSIAL, JUDGEMENT, DAN PERSEOSI SOSIAL



TEORI PERBANDINGAN SOSIAL, JUDGEMENT,
DAN PERSEOSI SOSIAL
I R W A N T O
 NIM. 16.310.410.1125)

Fakultas Psikologi
            Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

PENDAHULUAN
                        Psikologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Psikologi itu sendiri mempunyai banyak macam-macamnya. Salah satunya adalah Psikologi sosial. Dimana psikologi sosial ini membahas perilaku manusia yang berkaitan dengan masyarakat sosial. Seperti atribusi, konformitas, persepsi sosial dll. Maka dari itu, di perlukan adanya teori-teori untuk mendasari dan menjadi acuan dalam tokoh-tokoh psikologi sosial. Dan teori-teori itu selanjutnya akan di pakai untuk dasar penelitian fenomena sosial yang timbul.

                        Teori-teori dari psikologi sosial itu banyak jenisnya, dan di golongkan dalam sebuah pendekatan-pendekatan tertentu. Seperti gestal dengan teori medan dari lewin. Ada teori yang beriorientasi kognitif seperti teori P-O-K, A-B-K, dan lain-lain. Dan ada juga pendekatan transorientasional meliputi teori perbandingan sosial, penilaian sosial, dll.
                        Dalam makalah ini akan sedikit menjelaskan tentang teori persepsi sosial, penilaian sosial dan teori perbandingan sosial yang merupakan pendekatan Transorientasional. Pendekatan ini adalah pendekatan yang menggabungkan dari teori-teori pokok  yang lain, atau merupakan teori yang dikembangkan di luar system teori pokok yang ada.
                        Tetapi, sebagai mahasiswa yang masih belajar. Nantinya makalah ini akan jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan di dalamnya. Maka mohon bimbingan dari ibu dosen  dan memaafkan atas keterbatasan makalah ini.

PEMBAHASAN
A.       Teori Perbandingan sosial
Teori ini di kemukakan oleh Festinger (1950, 1954). Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interaksi sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan memebandingkan diri dengan orang lain.
Teori ini dimulai dari efek komunikasi social yang selanjutnya diperluas meliputi evaluasi, baik evaluasi kemampuan (abilities) maupun evaluasi opini. Teori yang berorientasi kognitif ini mempunyai dasar bahwa proses pengaruh social berkaitan dengan perilaku kompetitif (competitive behavior) yang tertuju pada kebutuhan untuk evaluasi diri,dan untuk evaluasi ini, orang mendasarkan diri pada perbandingan dengan orang lain (comparison with other persons). Jadi, ada dua hal yang di perbandingkan dalam hubungan ini. Yaitu :
a.       Pendapat ( opinion )
b.      Kemampuan (ability)
            Walaupu proses perbandingan untuk kedua hal tersebut sama yaitu untuk evaluasi oponi dan evaluasi kemempuan, ada perbedaan yang sangat penting diantara keduanya yaitu, pertama, adanya dorongan yang sifatnya ke arah yang lebih baik dan secara satu arah ada kemampuan dan tidak terdapat pada opini atau kemempuan yang lebih tinggi, contoh Ima hanya mampu mendapat nilai 75 dalam materi psikologi social sedangkan Kiky mampu mendapatkan nilai 90. Dalam membandingkan dirinya (pihak ketiga) dengan Ima dan Kiky ia harus meningkatkan kemampuan belajarnya agar bisa mendekati kemampuan Kiky. Baik pihak ketiga ataupun Kiky tidak mementingkan dan memikirkan kemungkinan bahwa Kiky menurunkan kemampuannya untuk mendekati nilai Ima. Tetapi perbandingan yang pertama ini tidak terdapat pada perbandingan antar pendapat, karena jika pendapat Ima berbeda dengan pendapat Kiky bisa saja Kiky mengubah pendapatnya agar mendekati pendapatnya Ima ataupun sebaliknya.  Kedua, perubahan opini relative lebih mudah apabila dibandingkan dengan performansi atau perubahan pada kemampuan. Seperti contoh di atas Kiky akan sulit menyamakan nilainya dengan Ima karena dia berkemampuan lebih pandai, tetapi Ia akan mudah menyatukan pendaptnya dengan Ima apabila dia memiliki pemikiran atau opini yang sama.
            Prinsip utama proses teori perbandingan social yang dikemukakan oleh Festinger adalah dalam bentuk hipotesis, akibat wajar (corollaries), dan derivasi atau asal (derivation). Pernyataan tersebut berkaitan dengan evaluasi, sumber evaluasi, pemilihan orang untuk evaluasi, factor-faktor yang menyebabkan perubahan, penghentian perubahan, dan tekanan ke uniformitas. Dengan rincian sebagai berikut :
1.      Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
Asumsi teori perbandingan sosial adalah adanya dorongan untuk  mengavaluasi opini dan kemampuan seseorang. Festinger mempunyai hipotesis 1 bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuan diri sendiri dengan cara membandingkan dengan pendapat atau kemampuan orang lain. Evaluasi opini maupun kemampuan seseorang merupakan determinan yang penting untuk perilakunya. Opini yang benar dan evaluasi kemampuan yang akurat merupakan petunjuk untuk perilaku yang menyenangkan atau untuk memperoleh penghargaan, dan sebaliknya, evaluasi opini dan kemampuan yang tidak tepat merupakan petunjuk untuk konsekuensi yang tidak menyenangkan.   Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemempuan yang dimilikinya.
Akan tetapi Festinger mengingatkan bahwa dalam menilai kemampuan ada 2 macam situasi. Situasi pertama adalah dimana kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang objektif, misalnya kemampuan dalam materi psikologi diatas. Situasi kedua adalah situasi dimana kemampuan dinilai berdasarkan pendapat, misalnya Zora dan Vira adalah sama-sama pelukis mana yang lebih bagus lukisannya diantara mereka dinilai berdasarkan pendapat orng lain tentang lukisan mereka. Jadi yang dinilai bukan kemampuan melukis, melainkan pendapat tentang kemampuan melukis. Maka, evaluasi kemampuan adalah opini realitas tentang kemampuan.
2.         Sumber-sumber penilaian
             Orang yang akan menggunakan ukuran-ukuran yang objektif (realitas obyektif) sebagai dasar penilaian-penilainnya selama ada kemungkinan untuk melakukan hal itu. Tetapi kalau kemungkinan itu tidak ada maka orang akan mempergunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai ukuran.  Dari kenyataan ini Festinger sampai kepada hipotesisnya yang kedua yaitu bahwa jika tidak ada cara-cara yang nonsosial, maka orang akan mengunakan ukuran-ukuran yang melibatkan orang lain. Misalnya untuk menegatahui apakah demokrasi merupakan sistem terbaik untuk suatu Negara tidak ada ukuran yang objektif (non social) sehingga orang harus menhandalkan penilaian tentang demokrasi pada pendapat orang lain.
            Sebagai konsekuensi dari hipotesis 2, festinger mengajukan hipotesis ikutan (corallary) 2A, sebagai berikut : penilaian seseorang tentang sesuatu pendapat atau kemampuan tidak mantap (tidak stabil) jika tidak ada perbandingan, baik yang bersifat social maupun non social.selanjutnya, hipotesis ikutan 2B adalah penilaian pendapat tidak akan didasarkan pada perbandingan pada pendapat orang lain, jika ada kemungkinan untuk melakukan penilaian yang objektif.
3.         Memilih orang untuk perbandingan
              Apabila basis objektif tidak diperoleh, seseorang akan mengevaluasi opini dan kemampuannya dengan orang lain. Dalam membuat perbandingan dengan orang-orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Tetapi setiap orang cenderung memilih oarng-orang yang sebaya atua rekan-rekannya sendiri untuk dijadikan perbandingan. Misalnya, seorang mahasiswa mencari mahasiswa lain untuk pembanding tidak dengan rector, dosen atau pegawai TU.
              Hal ini dinyatakan festinger dalam hipotesis 3 yaitu “Kecendrungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat dengan orang lain itu meningkat karena akibat dari adanya ketidakcocokan antara opini dan kemampuan sendiri”.
·         Corollary 3 A : Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
·         Corollary 3 B : Jika tidak ada kemungkinan lain keculai membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemajuannya sendiri.
            Dengan menggunakan hipotesis-hipotesis 1,2,3 selanjutnya festinger menarikbeberapa kesimpulan (derivasi)untuk tujuan peramalan tingkah laku.
·         Derivasi A : penilaian seseorang tentang dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannyamiripdengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
·         Derivasi B penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda dari kemampuan atau pendapat sendiri.
·         Derivasi C orang akan kurang tertarik pada situasi-situasi dimana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada situasi dimana orang lain yang mempunyai pendapat atau kemampuan yang hamper sama dengan dirinya sendiri.dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada kelompokyang member peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
·         Derivasi D: perbedaan besar dalam suatu kelompokdalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu.

4.         Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
            Ada dua faktor utama yang mempengaruhi perubahan kemampuan apabila dibandingkan  dengan opini. Pertama perubahan kemampuan yang menaik secara satu arah, yaitu kea rah kemampuan yang lebih tinggi/baik. Kedua, perubahan opini relative lebih mudah atau terdapat keleluasaan untuk terjadinya perubahan kesegala arah.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis 4 sebagai berikut : Dalam hal ini perbedaan kemampuan, terdapat desakan untuk perubahan searah, yaitu perubahann ke atas, yang tidak terdapat dalam dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesa 4 ini menurut Festinger setidak-tidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika serikat dimana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dalam perkataan lain,di lingkungan masyarakat lain dimana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi,
             Hipotesis berikutnya adalah Hipotesis 5 yaitu Ada faktor-faktor nonsosial yang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat. Jadi, orang yang badannya lemah bisa saja berpendapat bahwa ia bisa mengangakat barbell 100 kg, tetepi kenyataanya ia tetap saja tidak dapat mengangkat barbell tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.
            Mengacu pada derivasi D, jelaslah bahwa dengan satu desakan saja, anggota dari suatu kelompok akan mengubah pendapatnya masing-masing untuk mencapai suatu keseragaman pendapat dalam kelompok itu. Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja dalam hal pendapat. Karena adanya keharusan untuk perubahan ke satu arah saja. Yaitu ke atas. Setiap anggota kelompok harus berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya sehingga mencapai suatu keadaan di mana perbedaan kemampuan antara satu anggota dengan anggota kelompok yang lain akan sedikit. Dalam keadaan ini tidak terjadi lagi dorongan untuk berubah.
            Derivasi D1 mengatakan bahwa jika ada perbedaan pada pendapat atau kemampuan dalam kelompok, akan terjadi kecenderungan pada seseorang untuk mengubah pendapat atau kemampuannya mendekati kemampuan atau pendapat orang lain.
            Derivasi D2 yaitu mengubah pihak lain dalam kelompok untuk membawa mereka berdekatan dengan dirinya.  
5.         Berhentinya perbandingan
Karena suatu keadaan, seseorang akan menghentikan (cease) untuk mengadakan perbandingan dengan pihak lain, pembanding dapat diperoleh dengan perubahan komposisi dari kelompok pembanding. Deriviasi D3 menyatakan adanya tendensi bahwa perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang-orang lain dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecendrungan untuk menghentikan perbandingan-perbandingan.
Festinger berpendapat bahwa penghentian untuk membandingan akan berbeda antara opini dan kemampuan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa perbedaan opini seseorang dinyatakan secara tidak langsung bahwa opini seseorang tidak benar karena adanya pengertian yang negative, namun tidak demikian dengan perbedaan kemampuan. Hal ini dinyatakan dalam Hipotesis 6 yaitu sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan, perhatian perbandingan akan diikuti oleh pearsaan bermusuhan dan kebencian.
Corollary 6A menyatakan bahwa penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau kebencian.hanya dalamhal perbedaan pendapat, tidak dalam hal perbedaaan kemampuan.
6.         Desakan kearah keseragaman
Dalam beberapa penjelasan di muka, dikemukakan adanya indikasi bahwa dorongan evaluasi kamampuan dan opini menimbulkan tekanan pada keseragaman. Kekuatan dari tekanan ini akan di tentukan oleh berbagai macam faktor. Dari hipotesis 1,2,3 festinger berpendapat bahwa tiap faktor yang menaikkan atau memperkuat dorongan untuk mengevaluasi opini atau kemampuan juga akan  menaikkan tekanan pada keseragaman dalam hal opini atau kemampuan (Derivasi E).
Penjelasan tersebut sama halnya dengan hipotesis 7 yang menyatakan bahwa tiap faktor yang memperkuat pentingnya kelompok pembanding untuk opini atau kemampuan akan meningkatkan pula tekanan terhadap keseragaman pada opini atau kemampuan. Yang di maksud opini di sini adalah bahwa pada opini atau kemampuan orang yang dipandang kurang penting akan timbul dorongan yang kecil atau bahkan tidak timbul terhadap evaluasi, dan semakin besar relevansi opini atau kemampuan terhadap perilaku, semakin besar pula dorongan untuk evaluasi opini atau kemampuan.
  Corollary 7 A menyatakan bahwa Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu. Semakin menarik kelompok itu bagi seseorang , semakin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan semakin kuat pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri dengan kelompok. Hal tersebut terdapat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut :
·         Kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
·         Usaha yang semakin meningkat untuk mengubah pendapat orang lain.
·         Kecenderungan yang meningkat untuk membuat orang lain krang senang.
Corollary 7 B : Desakan kearah keseragaman bervariasi, tergantung pada relevansi pendapat atau kemampuan bagi kelompok.
Hipotesis 8 : kecendrungan untuk memperkecil kemungkina perbandingan makin besar jika orang-orang yang pandangan atau kemampuannya berbeda dari diri tersebut, dianggap juga berbeda dalam sifat-sifat lain. Dengan perkataan lain, dalam kelompok yang heterogen, orang akan lebih cenderung tidak jauh dari modus pendapat. Khususnya personal akan membicarakan pendapat daripada dalam kelompok yang heterogen.
Hipotesis 9 : Jika ada berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok, menivestasi dari kekuatan kea rah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya yang dekat dengan modus pendapat kelompok mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relative lebih lemah keccenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan dan sangat lemah kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika dibandingkan dengan orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7.         Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok
            Dorongan untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok.
       a.  Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain.
       b.  Kelompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri. Oleh karena itu, orang lebih tertarik pada kelompok yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri. Dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok yang pendapatnya berbeda dari pendapat sendiri.
  8.         Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan 
            Jika perbedaan pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.
            Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi dimana hal tersebut tidak terjadi, yaitudimana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah :
            a. Situasai dimana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu tetapsaja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh berbeda dari pendapat atau kemampuan kelompok. Dalam situasi ini kekuasaan kelompok atas individu sangat kuat dan perbedaan pendapat akan segera diperkecil. Akan tetapi, dalam hal kemampuan individu tidak dengan begitu saja bisa meningkatkan kemampuannya. Padahal kelompok menuntutnyauntuk meningkatkan kemampuan kemampuan kelompok sesuai rata-rata kemampuan kelompok. Dalam hal ini individu dapat merasa tidak mampu dan merasa gagal.
            b. Situasi dimana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak ada kemungkinan lain, misalnya orang yang di penjara, atau harus bekerja demi mencari nafkah walaupun ia tidak suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok terhadap individu lemah dan keseragaman terhadap pendapat hanya dapat di capai melalui paksaan atau kekerasan. Sebagai kelompok mungkin ada kesepakatan umum, tetapi sebagai pribadi, ada individu yang menentang kelompok.

8.         Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan 
 Jika perbedaan pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.

B . Teori Penilaian Sosial.
Teori penilaian sosial adalah suatu teori yang memusatkan bagaimana kita membuat penilaian tentang opini atau pendapat yang kita dengar dengan melibatkan ego dalam pendapat tersebut.  
Teori ini dikemukakan oleh Sherif dan Hovland (1961) mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi, sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yang mendasar dari teorinya ini adalah orang yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia tidak ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan factor intern dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-pasokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejauh mana pengaruhnya terhadap penilaian social dilakukan oleh individu. Kerangka acuan ini bukan dalam arti yang abstrak (norma, idealism, dan lain-lain) tetapi dalam arti konkret yang khusus menyangkut prilaku tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Prilaku di sini tidak disebabkan oleh faktor internal dan eksternal melainkan prilaku itu akan mengikuti pola-pola tertentu yang diciptakan oleh faktor-faktor tersebut.
Interaksi antara faktor-faktor internal dan eksternal sejalan dengan teori kognitif dan teori lapangan. Jika kondisi stimulus meragukan atau tidak jelas, padahal motivasi cukup kuat maka faktor internal akan lebih berpengaruh. Sebaliknya, jika faktor motif kurang kuat, padahal stimulusnya jelas, maka faktor luar akan lebih berpengaruh
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar.
      a. skala penilaian
            Dalam membuat penilaian individu harus membandingkan stimulus yang diterimanya dengan “sesuatu”. Sesuatu ini bisa berupa stimulus lain, kerangka acuan, atau suatu sekala penilaian.  Penilaian dilakukan untuk membedakan satu stimulus dari stimulus-stimulusyang lain atau untuk menggolongkan stimulus itu dalam suatu kelas dari serangkaian kelas dalam suatu skala tertentu. Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherif mengemukakan bahwa dalam percobaannya sebagai berikut, pada orang percobaan (OP) diberikan sejumlah benda (setiap kali satu benda) dan OP diminta menyatakan benda-benda mana yang berat dan mana yang ringan. Dalam keadaan demikian OP biasanya cepat membuat standart subjektif atau skal penilaiaan yang berpusat pada tengah-tengah jarak antara benda yang teringan dan yang terberat. Jika OP diminta untuk m,enggolongkan benda-benda itu dalam lebih dari 2 kategori, maka akan timbul beberapa standar subjektif yang masing-masing akan merupakan ambang yang memisahkan kategori dengan kategori lainnya. Disitulah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiannya makin mantap. Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimbang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai patokannya, maka menggolongkan benda yang berat dan yang ringan ini akan sangat stabil (mantap). sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dan tidak ada patokan jelas, maka penilaian akan labil (mudah berubah) dan lebih besar kemungkinannya terbentuk dari pengaruh faktor-faktor internal. Misalnya : jika sebuah titik api dinyalakan disebuah kamar yang sangat gelap, maka titik api itu akan terlihat seakan-akan bergerak. Jika titik api itu dinyalakan beberapa kali maka lama-kelamaan penilaian tentang gerak api itu akan semaki stabil dalam batas-batas tertentu. Dan jika api itu diperlihatkan kepada sekolompok orang, maka penilaian orang-orang itu semakin lama akan semakin mendekati sehingga bertemu dalam suatu standrat tertentu yang disepakati bersama.
b.  Efek asimilsi dan kontras
            Dalam kehidupan sehari-hari, kadang orang-orang harus menggunakan patokan-patokan diluar batas-batas yang diberikan oleh stimulus yang ada. Biasanya orang menggunakan stimulus yang terendah (paling kecil, lemah, ringan, sedikit) dan stimulus tertinggi (paling besar, berat, banyak ).  Akan tetapi, banyak juga orang-orang menggunakan patokan-patokan yang berada di luar batas-batas yang diberikan.  Efek dari patokan ini bergantung dari jauh dekatnya patokan dari stimulus. Jika, patokan sedikit lebih rendah atau sedikit lebih tinggi dari pada stimulus yang terendah atau stimulus yang tertinggi, maka timbul penilaian terhadap stimulus yang mendekati patokan. Sebaliknya, kalau Patoka terlalu jauh berada diluar batas-batas yang diberikan, maka penilaian justru akan menjauhi patokan. Jadi penilaian yang mendekati patokan disebut asimilasi. Yaitu patokan yang di masukkan kedalam rangkaian stimulus dalam batas rangkaian stimulus diperbesar, sehingga mencakupi patokan. Dan penilaian yang menyalahi patokan disebut kontras.

C. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan
           Menurut sherif dan Hovlan(1961) proses penilaian prilaku baik untuk penilaian fisik, misalnya berat maupun pengukuran sikap. Perbedaannya yakni dalam sikap individu sudah membawaklasifikasinya sendiri dalam menilai suatu objek dan ini mempengaruhi penilaian, penerimaan, dan penolakan individu terhadap suatu konflik. Perbedaan yang lain pada penilaian sosial (sikap) terdapat perbedaan dari satu individu dengan individu yang lain, padahal dalam penilaian fisik tidak terdapa variasi yang terlalu besar.
 Perbedaan akan variasi antara individu akan mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang. Garis lintang penerimaan adalah rangakaian posisi sikap yang dapat diberikan , diterima dan ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi sikap yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bisa ditolerir oleh indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang termasuk dalam lintang yang pertama. Jadi, individu tidak menerima tapi juga tidak menolak atau acuh tak acuh. Interaksi garis-garis lintang ini akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh kepada garis lintang penerimaan, maka individu akan setuju dengan pernyataan itu. JIka pernyataan itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut tidak akan menyetujuinya.

D.Pola  penerimaan dan penolakan
         Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya yang mau diterimanya.  Semakin terlibat seorang individu dalam situasi yang dinilainya sendiri maka ambang penerimaannya semakin tinggi dan semakin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi menjadi semakin kurang. Sebaliknya, amabang penolakan semakin rendah sehingga semakin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini semakin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyakpun dia anggap perlu.

E. Penilaian social dan perubahan sikap
Komunikasi menurut Sherif dan hovland bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap orang lain. Tetapi bisa juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komunikasi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjauhi. Delam perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam suatu isu maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri. Ia akan menilai cukup beralasan dapat dimengerti dan sebagainya. Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati posisis lain. Sebaliknya, posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek boomerang dari komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap akan semakin menjauh.

3.  Teori Persepsi Sosial
            Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Artinya, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Pengindraan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan yaitu alat indera. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh saraf otak sebagai pusat susunan saraf dan proses itu selanjutnya disebut sebagai proses persepsi. 
            Jadi, persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Atau dengan kata lain persepsi merupakan proses memberikan makna pada stimuli yang ditangkap oleh inderawi. Dalam hal ini, stimulus yang mengenai inderawi individu itu kemudian diorganisasikan, diinterprestasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima oleh alat indera, kemudian proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpestasikan. Selanjutnya, persepsi juga dianggap sebagai  proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam proses persepsi. 
            Dengan persepsi, individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Dengan demiklan dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi dirinya sendiri sebagai objek persepsi inilah yang disebut persepsi diri (self perception). Karena dalam persepsi itu merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada Persepsi
            Sebelumnya telah dijelaskan bahwa apa yang ada dalam diri individu akan mempengaruhi individu dalam mengadakan persepsi, ini merupakan faktor internal. Disamping itu masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi dalam proses persepsi, yaitu faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung dan ini merupakan faktor eksternal. Stimulus dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi. 
            Agar stimulus dapat dipersepsi, maka stimulus harus cukup kuat, stimulus harus melampaui ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi dapat menimbulkan kesadaran, sudah dapat dipersepsikan oleh individu. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Stimulus yang kurang jelas, akan berpengaruh dalam ketetapan persepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi. karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Hal tersebut akan berbeda bila yang dipersepsi itu manusia. 
            Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Bila sistim fisiologinya tergangggu. hal tersebut akan berpengaruh dalam persepsi seseorang. Sedangkan segi psikologis seperti telah dipaparkan di depan. yaitu antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Sedangkan lingkungan atau situasi yang melatar-belakangi stimulus juga akan berpengaruh dalam persepsi, lebih-Iebih bila objek merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda.
Jadi dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain :
1.      Objek  yang dipersepsi 
2.      Alat Indera, termasuk syaraf dan pusat susunan syaraf.
  1.  Perhatian.

            Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa objek persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat berada dalam diri individu yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri orang akan dapat melihat bagaimana keadaannya dirinya sendiri, orang akan dapat mengevaluasi tentang dirinya sendiri. 
            Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-macam, yaitu dapat berwujud benda-benda situasi dan juga berwujud manusia. Bila objek persepsi berwujud benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social. perception. Namun disamping istilah-istilah tersebut, khususnya mengenai social perception masih terdapat istilah-istilah lain yang digunakan, yaitu persepsi orang atau person perception. 
            Dalam individu mempersepsi benda-benda mati bila dibandingkan dengan mempersepsi manusia, terdapat segi-segi persamaan di samping terdapat segi-segi perbedaan. Adanya persamaan bila dilihat bahwa manusia atau orang itu dipandang sebagai benda fisik seperti benda-benda fisik lainnya yang terikat pada waktu dan tempat, pada dasarnya tidak berbeda. Namun karena manusia itu semata-mata bukan hanya benda fisik saja, tetapi mempunyai kemampuan- kemampuan yang tidak dipunyai oleh benda fisik lainnya, maka hal ini akan membawa perbedaan antara mempersepsi benda-benda dengan mempersepsi manusia. 
            Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, harapan, walaupun kadarnya berbeda seperti halnya individu yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi dapat berbuat sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Orang yang dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya juga dapat menjadi lawan dari individu yang mempersepsi. Hal tersebut tidak akan dijumpai bila yang dipersepsi itu bukan manusia atau orang. Ini berarti orang yang dipersepsi dapat memberikan pengaruh kepada orang yang mempersepsi. 
            Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterprestasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi. Namun demikian seperti telah dipaparkan diatas, karena yang dipersepsi itu manusia seperti halnya dengan yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat memberikan pengaruh kepada yang mempersepsi. Dengan demikian dapat dikemukakan dalam mempersepsi manusia atau orang (person) adanya dua pihak yang masing-masing mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan-perasaan, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, yang akan dapat berengaruh dalarn mempersepsi manusia atau orang tersebut.
            Berdasarkan uraian diatas maka  ada beberapa hal yang dapat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalam mempersepsi manusia yaitu:
1. Keadaan stimulus, dalam hal ini berwujud manusia yang akan dipersepsi.
2. Situasi atau keadaan sosial yang melatar-belakangi stimulus.
3. Keadaan orang yang mempersepsi.
            Walaupun stimulus personnya sama, tetapi jika situasi sosial yang melatar belakangi stimulus person berbeda akan berbeda hasil persepsinya. Pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain. Hal tersebut disebabkan karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated. Bila orang yang dipersepsi atas dasar pengalaman merupakan seseorang yang menyenangkan bagi orang yang mempersepsi akan lain hasil persepsinya bila orang yang dipersepsi itu memberikan pengalaman yang sebaliknya. Demikian pula dengan aspek-aspek lain yang terdapat dalam diri orang yang mempersepsi.
            Demikian pula situasi sosial yang melatar-belakangi stimulus person juga akan ikut berperan dalam hal mempersepsi seseorang. Bila situasi sosial yang melatar belakangi berbeda, hal tersebut akan dapat membawa perbedaan hasil persepsi seseorang. Orang yang biasa bersikap keras, tetapi karena situasi sosialnya tidak memungkinkan untuk menunjukkan kekerasannya, hal tersebut akan mempengaruhi dalam seseorang berperan sebagai stimulus person. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi orang yang mempersepsinya. Karena itu situasi sosial yang melatar belakangi stimulus person mempunyai peran yang penting dalam persepsi, khususnya persepsi social.

            Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa individu dapat mempunyai persepsi social yang sama dan juga ada kemungkinan mempunyai persepsi social yang berbeda tentang stimulus yang ada dilingkungannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh social budaya dari lingkungan individu, objek yang dipersepsi, motiv individu, dan kepribadian individu. Lebih jauh, sarwono (2002) menambahkan bahwa persepsi social juga sangat tergantung pada komunikasi. Artinya, bagaimana komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya akan mempengaruhi persepsi diantara keduanya. Komunikasi disini menurut Sarwono (2002) bukan hanya sebatas komunikasi verbal melainkan juga komunikasi non-verbal yang terjadi antara keduanya, seperti gerak tubuh, ekspresi wajah dan lain sebagainya.
            Selanjutnya, persepsi sosial juga dianggap sebagai bagian dari kognisi social (akan dibahas selanjtnya), yaitu pembentukan kesan-kesan tentang karakteristik-karakteristik orang lain. Kesan yang diperoleh tentang orang lain tersebut biasanya didasarkan pada tiga dimensi persepsi, yaitu:
      1.  Dimensi evaluasi yaitu penilaian untuk memutuskan sifat baik buruk, disukai-tidak disukai, positif-negatif pada orang lain.
      2.  Dimensi potensi yaitu kualitas dari orang sebagai stimulus yang diamati (kuat-lemah, sering-jarang, jelas-tidak jelas).
      3.  Dimensi aktivitas yaitu sifat aktif atau pasifnya orang sebagai stimulus yang diamati.
            Berdasarkan tiga dimensi tersebut, maka persepsi sosial didasarkan pada dimensi evaluatif, yaitu untuk menilai orang. Penilaian ini akan menjadi penentu untuk berinteraksi dengan orang selanjutnya. Artinya, persepsi sosial timbul karena adanya kebutuhan untuk mengerti dan meramalkan orang lain. Maka dalam persepsi sosial tercakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu:
      1.  Aksi orang lain, yaitu tindakan individu yang berdasarkan pemahaman tentang orang lain yang dinamis, aktif dan independen.
      2.   Reaksi orang lain,  merupakan aksi individu menghasilkan reaksi dari individu, karena aksi individu dan orang lain tidak terpisah. Pemahaman individu dan cara pendekatannya terhadap orang lain mempengaruhi perilaku orang lain itu sehingga timbul reaksi.
      3.  Interaksi dengan orang lain, yaitu reaksi dari orang lain mempengaruhi reaksi balik yang akan muncul.
Bias dalam Persepsi Sosial
Ada beberapa bias atau kesesatan dalam persepsi sosial, antara lain yaitu:
      1.   Hallo Effect
Merupakan kecenderung untuk mempersepsi orang secara konsisten. Hallo effect ini secara umum terjadi karena individu hanya mendasarkan persepsinya hanya pada kesan fisik atau karakteristik lain yang bisa diamati.
      2.   Forked Tail Effect (negative hallo)
Merupakan lawan dari hallo effect, yaitu melebih-lebihkan kejelekan orang hanya berdasarkan satu keadaan yang dinilai buruk.

Daftar Pustaka
Walgito Bimo, 2003. PSIKOLOGI SOSIAL (suatu pengantar). Edisi Revisi. Penerbit ANDI. YOGYAKARTA
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI (Sarwono, S.W., dkk). 2011. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 1. 2.
Sarwono, S. W. 2004. Teori-teori Psikologi Sosial, cetakan-4. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

                       


0 komentar:

Posting Komentar