ANALISIS JOURNAL
Identitas Sosial Gender, Seksisme Modern, dan Persepsi
Terdiskriminasi pada Pekerja Perempuan
I R W A N T O
NIM. 16.310.410.1125)
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Pandapotan,
Astrid Novianti, Sarlito W sarwono
Universitas
Indonesia, Jakarta
Dalam
Undang-Undang no. 7 pasal 11 tahun 1984 diaturlah undang-undang mengenai kesetaraan
gender. Di mana harus ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
tidak boleh di kedepankan melebihi perempuan dalam hal apapun sehingga terkesan
mendominasi. Perempuan mempunyai hak untuk berkiprah dan berkarier sesuai
dengan bakat dan talenta yang di miliki tanpa harus ada persepsi-persepsi
terdiskriminasi. Tetapi dalam realita di lapangan atau dalam kehidupan masyarakat
itu sendiri, hal ini belum sepenuhnya terwujud. Badan pusat statistic tahun
2000 telah membuat hipotesis bahwa perempuan yang bekerja hanya mendapatkan
gaji 60-70 % di banding laki-laki. Selain itu, banyak di temukan kasus dimana
banyak perusahaan yang memberhentikan para pekerja perempuannya (dengan alasan
yang tidak masuk akal) para karyawatinya yang hamil. Adapula perusahan yang
membuat kontrak kerjja bagi karyawatinya agar tidak merencanakan kehamilan.
Tidak hanya terjadi sampai ditingkat itu,
perlakuan diskriminatif berbasis gender dapat terjadi pada hubungan
interpersonal, khususnya apabila dalam sebuah organisasi ada ketimpangan antara
proporsi laki-laki dan perempuan. Dengan sebuah sebab adanya stereotip bahwa
perempuan itu inkompeten dan cenderung emosional.
Dan yang di bicarakan di sini adalah
apakah memang ada diskriminasi terhadap perempuan menurut perempuan itu
sendiri? Ataukah memang seorang perempuan yang bekerja di perusahaan yang di
dominasi oleh pria merasa bahwa dirinya terdiskriminasi baik ditingkat kelompok
atau pribadi? Berapa besarkah peran faktor identitas sosial dan seksisme modern
dalam menentukan persepsi terdiskriminasi di tataran kelompok maupun individu
tersebut.
TINJAUAN PERMASALAHAN
Banyak sekali fakta-fakta sejarah juga fakta-fakta
penelitian yang mengatakan bahwa persepsi terdiskriminasi terhadap perempuan
karena banyaknya terjadi pembedaan antara pria dan perempuan (sexisme). Cameron
dalam journalnya Sosial Identity, Modern
Sexisme, and perceptions of Personal and group discrimination by women and men.
Mengatakan bahwa persepsi terdiskriminasi dapat diprediksi oleh 2 variabel
bebas sebagai system belief (stereotip) gender yakni identitas sosial gender
dan modern seksime (2001).ia juga menambahkan bahwa diskriminasi adalah hal
yang sensitif yang dapat mennurunkan harga diri ( self-esteem) maka akan
terjadi penyangkalan, untuk itu diperlukan adanya pembedaan antara persepsi
terdiskriminasi sosial dan kelompok dengan maksud untuk mengetahui apakah ada
deskrepansi personal dan kelompok. Jika memang signifikan adanya, maka dapat
digeneralisasikan bahwa perempuan menganggap diskriminasi pada konteks kerja
kelompok perempuan masih ada akan tetapi hal itu disangkal demi mempertahankan
harga diri (self-esteem).
Kodrat manusia sebagai makhluk sosial
banyak mengaitkan identitas seseorang dengan trait-trait kelompok yang yang di
ikutinya di dalam masyarakat, seperti ras, suku, agama dan lainnya. Hal semacam
ini memberikan sumbangan psikologis pada individu berupa harga diri (self – esteem)
yang muncul karena adanya evaluasi yang berbeda-beda. Untuk itu persepsi
terdiskriminasi dalam kelompok akan lebih besar dari pada sebagai personal.
Identitas sosial gender merupakan
kesadaran sebagai gender tertentu dan rasa ketertarikan pada gender tersebut
(Gurin & Markus, 1989). Untuk itu konsekwensi dari kesadaran pada identitas
sosial gender tergantung dimana perempuan memposisikan dirinya pada stuktur
sosial/ peran gender.
Dalam hal seksisme modern prasangka
seksisme lama/tradisional di picu oleh stereotip negative. Hal ini dikemukakan
oleh Swim dkk bahwa seksisme modern adalah “……
denial of discrimination against women, a hostility toward equality for momen.
And nonsupport of programs and legislation designed to help women.” Di
lihat dari definisi ini terlihat jelas bahwa ada perbedaan definisi sekksisme
dari yang dulu dengan masa sekarang. Seperti halnya penyangkalan diskriminasi
perempuan dan tidak adanya dukungan bagi progam-progam untuk perempuan. Maka,
semakin keras individu mendefinisan dirinya pada kelompok sosial tertentu maka
semakin peka juga ia menilai permasalahan antar kelompok sosial.
Aspek lain yang dapat mendiskriminasi
perempuan adalah modern sexism yang dipahami sebagai suatu belief akan
perempuan. Hal ini terkait dengan prasangka. Prasangka merupakan sikap atau
belief yang di dasarkan pada informasi yang tidak lengkap pada suatu hal.
Termasuk gender. Belief yang di munculkan pun cenderung negative yang hal ini
di sebut stereotip. Seksisme modern berbeda dengan dulu, sekarang tidak lagi
terbuka dan berintensi tetapi lebih tertutup dan lebih halus. Seorang individu
yang berperasangka masih memegang stereotip negative maupun positif ( seperti
mendukung kesetaraan). Seperti halnya anggapan bahwa laki-laki da perempuan
harus diperlakukan sama, termasuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
kondisi fisik dan mentalnya (Swim dkk, 1995).
Seksisme modern berghuna untuk melihat
belief pada perempuan sendiri. Perempuan yang menolak belief peraya bahwa
perempuan tidak seharusnya dinilai secara stereotip melainkan diperlakukan
setara meskipun tidak harus sama. Sedangkan perempuan yang mendukung belief
adalah yang setuju dengan keadaan gender saat ini dan masih memegang stereotip
lama. Perempuan yang beliefnya rendah mengidentifikasikan adanya kesetaraan
gender. Sedangkan yang beliefnya tinggi memiliki orientasi tradisional.
Berbeda dengan Cameron, Tougas dkk, tidak
mengatakan dengan istilah modern sexism
tetapi dengan istilah neosexism di
lihat dari definisi “manifestation of a
conflict between egalitarian values and residual negative feeling toward women
(1995 ) ´ seseorang yang dikatakan sexism
adalah individu yang masih mempunyai perasaan negative pada perempuan walaupun
sudah ada nilai egaliter tetapi hanya penyangkalan belaka.
Dua konsep seksisme kontemporer ini
adalah sama, dua-duanya berusaha melihat seksisme saat ini yang lebih halus dan
tertutup. Hanya saja neosexism lrbih kepenilaian dalam dunia kerja. Sedangkan
modern sexism lebih luas lagi. Untuk itu diskriminasi ini dapat di golongkan
menjadi 2, yaitu :
1. Persepsi terdiskriminasi personal
Individu
mempersepsi dirinya karena terkait dengan kelompok tertentu
2. Persepsi tersiskriminasi kelompok
Individu mempersepsi dirinya pada
kelompok sosial dimana ia menjadi anggota.
Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa
terjadi penyangkalan akan diskriminasi pada tingkat individu karna berhubungan
dengan self-esteem.
Dalam konteks pekerjaan dan gender, kelompok
sosial yang paling relevan adalah perusahaan. Menurut teori proporsi kelompok
ada jenis-jenis perusahaan berdasarkan tingkat keseragaman kelompok pada
kelompok lain (Kanter, 1977 dalam Hewstone dkk 2002,) yaitu :
1. Uniform groups (100:0) : berisikan satu jenis kelompok
2. Skewed
groups (85:15) : berisikan
satu tipe dominan
3. Tilted groups (65:35) : ukuran perbandingan
kelompok lebih kecil
4.
Balanced
groups(60:40-50:50: dua kelompok yang jumlahnya sama/hamper sama.
Metode penelitian :
·
Teori
yang digunakan adalah teori proporsi perusahaan (kenter) dengan tipe Tilted
groups.
·
Subjek
adalah perusahaan perakitan alat berat Bandung (3000 karyawan )
·
Focus
penelitian pada karyawan administrasi (800 karyawan : 100 karyawan perempuan )
·
Teknik
sampling : accidental ( menggunakan koesioner yang di adaptasi dari penelitian
sebelumnya)
·
Instrument
:
1.
Bagian
alat ukur identitas sosial gender.
2.
Bagian
gabungan dari alat ukur sexism modern dan persepsi terdikriminasi.
3.
Data
control
·
Proses
pengadaptasian :
Di mulai dari penerjemahan dari bahasa
inggris ke bahasa Indonesia ndan back translation oleh ahli. Lalu dilakukan
face validity pada pembimbing. Lalu diadakan uji coba dengan persyaratan
psikometri berdasarkan internal consisten yang memakai rumus Cronbach –Alpha.
·
Alat
ukur identitas sosial gender ( diadaptasi dari Cameron, 2000) yang terbagi :
1.
Ingroup
ties (kesamaan dan keterikatan dengan kelompok sosial)
2.
Centrality
( kesadaran sebagai kelompok sosial )
3.
Ingroup
effect (perasaan menjadi bagian dari kelompok sosial )
►Di peroleh a : , 73 (realibitas )
·
Modern
sexism di ukur dengan neosexism : 10 item dengan a
: 4
·
Persepsi
terdiskriminnasi (personal & kelompok ) di ukur dengan alat yang diadaptasi
dari Cameron (2000) yang masing-masing ada 3 item
► di peroleh :
personal a:,69 dan kelompok a:,85
·
Percobaan
ini dilaksanakan pada tanggal 2 agustus 2004 dengan menyebar 61 koisioner dan
kembali setelah satu minggu sebanyak 48 respons.
·
Analisis
:
Mencari gambaran
derajat tiap variable dengan T-Scale lalu sumbangannya di simpulkan berdasarkan
R square dan signifikansinya di uji dengan F-Test.
·
Hasil
1.
Mean
dan derajat tiap variable
|
Mean
|
Rendah
(%)
|
Sedang
(%)
|
Tinggi
(%)
|
Identitas Sosial gender
|
4,94
|
33.3
|
52.1
|
14.6
|
Seksime modern
|
3.08
|
18.8
|
79.2
|
2.1
|
Persepsi terdiskriminasi personal
|
2,38
|
18,8
|
60,4
|
20,8
|
Persepsi terdiskriminasi kgelompok
|
3,48
|
18,8
|
64,6
|
16,7
|
2.
Korelasi
(pearson’s product moment) variable bebas dengan variable berikat
|
Persepsi
diskriminasi personal
|
Persepsi
diskriminasi kelompok
|
Identitas
sosial
|
-.290*
|
-.186
|
Seksisme
modern
|
.456**
|
.099
|
*. Signifikan pada p<.05
**. Signifikan pada p < .01
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil data pengolahan sempel tersebut dapat di
generalisasikan bahwa:
1. Pekerja perempuan mempunyai kesadaran, keterikatan,
dan perasaan sebagai anggota kelompok sosial cenderung pada tingkat yang lemah.
2. Sudah ada keyakinan kecenderungan bahwa
pria dan perempuan sudah seharusnya di sejajarkan.
3. Persepsi terdiskriminasi di kalangan
pekerja perempuan cenderung lebih tinggi
pada tingkat kelompok dari pada di tingkat personal.
4. Korelasi yang negative namun signifikan
antara identitas sebagai kelompok dengan persepsi terdiskriminasi sebagai
personal.
5. Seksisme modern memberi sumbangan
signifikan terhadap persepsi terdiskriminasi personal. Walaupun secara bersama
–sama juga memberikan sumbangan pada persepsi terdiskriminasi kelompok.
6. Di dapatkan diskrepansi antara persepsi
terdiskriminasi para pekerja perempuan secara personal dan persepsi
terdiskriminasi secara kelompok.
ANALISIS JOURNAL :
Gender adalah jenis kelamin (Echols dan
Shadily, 1988). Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin dan perempuan yang
masing-masing mempunyai alat-alat dan ciri-ciri tertentu seperti halnya penis
pada laki-laki dan vagina para perempuan (paling umum).
Dalam perkembangannya, pengertian gender
itu berubah, tidak dalam arti jenis kelamin secara fisiologis-biologis, tetapi
dalam arti peran yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang di bentuk oleh
aspek sosial dan cultural. Adalah aspek psikologis, Broverman, dkk 1972 (dalam
Michener dan DeLamater, 1999) menemukan bahwa perempuan dan laki-laki kgeduanya
mempunyai stereotip gender. Pada laki-laki sifatnya lebih independen, agresif,
ambisius, kuat dan kasar sedangkan pada perempuan lebih pasif, emosional, mudah
di pengaruhi, aktif bicara, dan bijaksana. Pada umumnya laki-laki di
persepsikan kuat dan lebih percaya diri daripada perempuan yang lebih lemah dan
lebih ekspresif.[1]
Dan stereotip ini kemudian akan berlangsung sangat blama sekali sehingga
mempengaruhi berbagai faktor sosial cultural seperti halnya pekerjaan
Kalau orang mengadakan observasi dan mau
menengok kebelakang pada beberapa waktu yang lalu, dan pada waktu ini juga
masih berlangsung. Di masyarakat akan tampak bahwa laki-laki pada umumnya
bekerja di luar rumah, sedangkan para perempuan pada umumnya ada di rumah
sebagai ibu rumah tangga. Hal ini terjadi karena masalah sosial budaya “tifdak
baik kalau perempuan bekerja di luar rumah “kata orang. Keadaan ii menunjukkan
ketidaksetaraan gender, yang sering di bicarakan olheh masyarakat.
Peran gender ini tidak akan jadi masalah
apabila ada kesetaraan gender. Namun kenyataannya dalam masyarakat peran
perempuan dan laki-laki masih berbeda.
Karena itu kesetaraan gender belom tercapai. Tetapi dalam perkembangannya
banyak perempuan yang mulai bekerja di luar rumah. Di kantor, institusi
pendidikan, pabrik atau di tempat-tempat lainnya. Dengan keadaan yang demikian
ini, perempuan mempunyai peran ganda. Yaitu sebagai ibu rumah tangga dengan
tugas mengurus anak, suami dan juga sebagai pekerja bdi luar rumah yang terikat
dengan aturan-aturan tempatnya bekerja. Alasan mengapa mereka bisa bekerja di
luar rumah dapat bermacam-macam, misalnya masalah ekonomi, mencari kesibukan,
atau untuk mengaktualisasikan diri.
Ada beberapa faktor yang dapat memberikan
sumbangan kepada perempuan tentang persepsi terdiskriminasi pada tingkat
kelompok maupun personal.
1.
Faktor budaya.
Telah di sebutkan dalam
diskusi (journal) halaman 212 paragraf kedua bahwa pengkondisian karakter pria
dalam bekerja membuat identitas sosial perempuan tidak begitu melekat. Hal ini
benar adanya, bahwa gender tradisional masih melekat pada persepsi-persepsi
masyarakat. Terutama Negara kita Indonesia yang mempunyai banyak kultur budaya.
Hanya sedikit perempuan Indonesia yang mempunyai pandangan luas tentang
kesetaraan gender. Terutama dalam hal hak-hak perempuan dalam pekerjaan yaitu
laki-laki dalam perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan basic dan
bakat yang dimiliki. Tetapi banyak juga masyarakat yang pandangannya masih
sangat tradisional yang memandang bahwa seorang perempuan yang baik adalah
perempuan yang mengurus rumah tangga, pekerjaan rumah, mengurus anak dan
menyenangkan suami. Dan adapun laki-laki dalam hal ini seorang suami bertugas
untuk mencari nafkah demi kelancaran ekonomi keluarga, sehingga seorang istri
harus sepenuhnya mendukung suami dan
menurut perkataan suami sehingga ia tidak melancangkan diri untuk berkarier di
luar rumah. Apalagi untuk berkarier melebishi suaminya.
Prasangka nampaknya juga berkaitan dengan stereotip tentang
seksisme. Penelitian tentang jenis kelamin menunjukkan bahwa laki – laki maupun
perempuan memiliki belief bahwa laki-laki itu competent dan mandiri sedangkat
perempuan itu hangat dan ekspresif. [2]
Untuk itulah juga dikatakan bahwa stereotip gender dan perilaku terdiskriminasi
pada perempuan itu terjadi karena rasa atau nilai yang ada pada kultur budaya
dalam suatu daerah.mempengaruhi perasaan terdiskriminasi perempuan pada tingkat
personal maupun kelompok.
Dalam teori dominasi sosial
di sebutkan bahwa semakin jauh seseorang menolak dan menerima ideology sosial
atau mitos sosial melegitimasi hierarki dan diskriminasi atau yang melegitimasi
equality keadilan. Maka, akan semakin terbawa dalam mitos atau ideology
tersebut. [3]seperti
halnya seksisme tradisional yang cenderung sudah dianggap ideology yang mau tak
mau akan melegitimasi persepsi pekerja perempuan untuk merasa terdiskriminasi
dalam hal pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki.
2.
Faktor
kesadaran
Dalam topic gender, terutama
di dunia timur. Kesadaran seorang perempuan sendiri sebagai kelompok gender masih lemah. Mereka
memang cenderung percaya pada gender tradisional yang cenderung turun terumun
di dapatkan oleh nenek moyang. Berbeda sekali dengan perempuan eropa dan
amerika juga Negara-negara barat lainnya. Disana, perempuan telah mempunyai
tingkat kgesadaran tinggitentang kesataraan gender (dalam hal karier dan
pekerjaan) sehingga, di sana sedikit perempuan yang mempunyai persepsi
terdiskriminasi apabila ia bekerja dalam sebuah instuti yang di dalamnya
merupakan dominasi pekerja laki-laki. Bahkan, antara laik-laki dan perempuan
sudah saling berebut posisi yang lebih tinggi dan membuktikan basic serta etos
kerja masing-masing. Sehingga gender tradisional cenderung di tinggalkan.
Dalam hal kesadaran, ternyata
perempuan juga tidak mempunyai keberuntungan di bandingkan laki-laki dalam
hubungannya dengan gaji dan promosi. Salah satu alasannya adalah bahwa
perempuan sering kali yakin bahwa ia pantas memperoleh gaji yang lebih kecil.
Dalam hubungannya dengan tugas eksperimental, perenpuan (dibandingkan dengan
laki-laki) menyatakan gaji yang lebih rendah untuk dirinya sendiri. Perempuan
cenderung mendasarkan perkiraan mereka akan gaji seberapa baik mereka melakukan
sebuah pekerjaan dan laki-laki mendasarkan perkiraan gajinya pada self-esteem mereka, bukan pada performa.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak menuntut di bayar kurang tetapi
laki-laki menuntut di bayar lebih.
Jadi, secara keseluruhan, ada
sejarah panjang dari penerusan stereotip gender dengan inferior perempuan juga
superior laki-laki. Dan mungkin, konsep ini akan terus berlanjut dalam
mempengaruhi tingkah lakudan harapan bagi perempuan dan laki-laki. [4]
KESIMPULAN
Journal
penelitian di atas memang ada benarnya, bahwa ada beberapa aspek psikologis
pada pekerja perempuan di perusahaan yang di dominasi oleh laki-laki yang
akhirnya juga menimbulkan peresepsi dan perasaan terdiskriminasi baik dalam
tingkat personal dan kelompok. Yang mencakup juga tentang seksisme modern dan
identitan sosial gender.
Tetapi ada
hal – hal dalam pengaplikasian journal tersebut yang kurang pas dan kurang
sesuai apbila di terapkan di masyarakat indosesia. Dalam penelitian tersebut alat-alat
ukur di adopsi oleh penelitian ahli-ahli psikologi dari barat yang notabenenya
berbeda dengan Indosia. Terutapa dalam kutur/budaya dan tingkat kesadaraan
masyarakatnya. Dan juga alat yang digunakan belum sepenuhnya di adopsi dan di
sesuaikan dengan kebutuhan idiologi masyarakat Indonesia. Di tambah lagi
penelitian yang hanya dhi lakukan disatu perusahaan saja. Hal itu sangat jauh
sekali untuk dapat di generalisasikan sebagai sebuah hipotesis yang benar.
Semisal itu
adalah penelitian yang ada di bandung, yang notabenenya sudah ada kesadaran
yang sama antara pekerja perempuan dan laki-laki dan kesadaran mereka yang
relative baik dalam masalah identitas gender. Lain lagi jika penelitian di
lakukan di Jakarta maka, akan lain pula hipotesisnya. Mungkin korelasinya akan
cenderung signifikan. Karena di sana memang telah maju dan gender tradisonal
pun sudah di tinggalkan. Tetapi sebaliknya, apabila penelitian itu di lakukan
di daerah Aceh misalnya dengan adanya kultur tradisional dan nilai-nilai agama
yang kuat. Pasti hasilnya juga akan berbeda pula. Mungkin akan jauh dari
kesadaran dalam identitas gender dan seksisme modern. Hasilnya mungkin di bawah sedang. Dengan
kurang signifikannya hipotesis yang di hasilkan. Bahwa persepsi terdiskriminasi
pada perempuan akan cenderung lebih tajam dan kesadaran identitas gender juga
seksisme modern yang rendah.
Tetapi sebagai kajian ilmiah, perlu
di berikan applous karna hal semacam itu juga turut di soroti dalam segi
psikisnya. Bahwa hal-hal seperti itu yang mengharuskan para ahli pada Psikologi
sosial untuk lebih banyak mengadakan penelitian-penelitian dan hipotesis
penting demi majunya bidang Psikologi di Indonesia yang memang benar-benar
sesuai dengan budaya, kultur, nilai dan norma yang sesuai dengan masyarakatnya.
[1]
Walgito, Bimo (2011), Teori-Teori
Psikologi Sosial. Yogyakarta. Penerbit ANDI OFFSET. Hal 122-123
[2]
Sarlito W. Sarwono (2009). PsikologiSosial.
Jakarta. Penerbit Salemba Humanika halaman
230.
[3]
Sarlito W. Sarwono (2009). PsikologiSosial.
Jakarta. Penerbit Salemba Humanika halaman
237
[4]
Robert A. Baron, Donn Byrne. (2004) Psikologi
Sosial/edisi kesepuluh/jilid I. Jakarta. Penerbit ERLANGGA. Hal.189
0 komentar:
Posting Komentar