28.1.18

HARUSKAH HASIL TAMBANG SEGERA DIHABISKAN?



RESENSI ARTIKEL: ADAT MENJAGA, TAK SILAU OLEH EMAS

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Bila menghadapi hasil tambang yang berlimpah-ruah, maka kita (penduudk setempat) seperti lupa diri. Kita tentu akan segera menghabiskan hasil tambang itu. Kita tidak bisa membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan. Kita menjadi super kreatif untuk menciptakan berbagai keinginan, dan merasionalisasinya, sehingga keinginan berubah menjadi kebutuhan yang memang harus dipenuhi dengan segera. Ini adalah fenomena klasik seperti halnya kita berada di suatu toko yang menawarkan diskon untuk semua barang sampai dengan 75%. Sialnya, diskon itu hanya berlaku selama 5 menit saja. Bisa ditebak, orang-orang tentu akan segera mengambil barang yang ada di kanan kirinya, meskipun barang itu tidak dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Persoalan yang berhubungan dengan pengelolaan tambang di Indonesia, kita menjadi sering terjebak. Bagaimana cara memanfaatkan hasil tambang yang ada di depan kita secara bijak? Ada beberapa cara yang bisa ditempuh yaitu:

Ø  Kita meminta tolong investor / pihak asing untuk ikut mengelola tambang tersebut. Sistemnya adalah bagi hasil. Jadi pihak asing yang mempunyai tekonologi maju dan SDM handal, akan mendapatkan sekian persen. Indonesia sebagai pemilik hasil tambang itu akan mendapatkan sekian persen. Dalam perjanjian disebutkan antara lain adanya kewajiban bagi investor untuk alih teknologi. Tujuannya adalah bangsa Indonesia magang pada perusahaan tambang itu. Belajar sambil bekerja. Setelah kemampuan SDM dirasa cukup, maka perjanjian itu dihentikan, dan tambang dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri. Prosedur semacam ini nampaknya mudah dan sederhana, namun pada pelaksanaannya banyak penyimpangan yang terjadi. Begitu banyaknya penyimpangan, sampai muncul kredo bahwa hasil tambang yang melimpah-ruah adalah kutukan. Meskipun demikian, alternatif ini banyak digunakan bangsa Indonesia sampai sekarang.

Ø  Kita menunggu saja sampai SDM kita semuanya pandai mengolah hasil tmabang itu. Ketika proses menunggu itu, maka hasil tambang itu didiamkan saja (tidak diolah sama sekali). Bila alternatif ini dipilih maka mungkin saja timbul dilema yaitu bila kita membutuhkan dana banyak dalam situasi yang sangat mendesak dan kita tidak mempunyai uang sama sekali. Situasi seperti ini adalah suatu ironi, seperti tikus mati di lumbung padi.


Apakah ada pengelolaan hasil tambang yang bijaksana selain dua alternatif di atas? Adalah masyarakat di Dusun Baru, Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi, yang daerahnya bermandikan hasil tambang emas. Emas di daerah tersebut sangat melimpah-ruah. Dalam artikel tersebut ditulis bahwa jangankan di tepi sungai, emas pun melimpah di pekarangan, sawah, juga di tepi jalan.

Eloknya, penduduk di Dusun Baru tersebut tidak tergoda untuk segera menambang emas itu. Apakah mereka tidak membuuthkan uang? Apakah emas itu tidak digunakan sama sekali? Ternyata mereka mempunyai kearifan lokal yang sangat menarik. Penduduk mempunyai hukum yang mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat termasuk sanksi bila mendulang emas sembarangan. Mendulang emas dalam bahasa di Dusun Baru disebut ngerai.

Ngerai hanya boleh dilakukan bersama-sama seluruh warga dusun, dan dalam jangka waktu tertentu yaitu biasanya pada masa padi belum berbuah. Penentuan masa ngerai itu ditetapkan oleh adat. Malam hari sebelum ngerai, warga menggelar doa dan makan bersama. Tujuan makan bersama adalah ngerai tidak menimbulkan mala petaka. Ngerai juga tidak boleh dilakukan sepanjang sungai sekitar dusun, agar air sungai tetap jernih.

Hal yang menarik adalah proses ngerai yang pro-lingkungan hidup ini sudah berjalan sejak abad ke-15 sampai dengan sekarang. Penduduk sangat mentaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan adat. Mereka sangat takut dengan sanksi yang ada. Apa saja peristiwa-perisitwa buruk yang terjadi bila penduduk tidak taat dengan peraturan adat tersebut?

Bila seseorang mendulang tanpa seizin pemangku adat, maka akan terjadi mala petaka. Petaka yang terjadi antara lain rumahnya terbakar tanpa sebab. Butiran-butiran emas yang ditambang tanpa izin pemangku adat, mendadak berubah menjadi pasir hitam. Dari cerita-cerita semacam itulah diyakini bahwa leluhur sedang menegur jika ada pantangan yang dilanggar. Darnis, seorang warga setempat mengatakan ”Kalau sekedar untuk makan, boleh, tetapi kalau ditambang untuk keperluan memperkaya diri, pasti ada saja kualatnya”.

Sampai berapa lama kearifan lokal yang berbasis pada lingkungan hidup ini terjaga? Mendulang emas secara tradisonal ini makin jarang dilakukan. Mungkin, tinggal kearifan ngerai di Dusun Baru saja yang tersisa. Entah sampai kapan hukum adat itu tetap bertahan.

Kemenarikan artikel ini adalah cara menambang emas yang sangat pro-lingkungan hidup. Warga tidak menjadi ’gila’ atau kehilangan akal ketika melihat butiran-butiran emas yang ada di halaman rumahnya sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari warga cukup bertani atau berkebun saja. Pengendalian diri warga sangat terpuji.

Kelemahan artikel adalah penulis tidak mengungkap usaha-usaha pemuka adat untuk melestarikan ngerai ini. Usaha-usaha ini penting terutama untuk generasi muda di Dusun Baru yang mendapatkan pengaruh luar biasa dari media sosial. Masa depan Dusun Baru ada di tangan generasi muda.

Berikut adalah artikel asli dari resensi ini.

Sumber resensi:
Tambunan, I. (2017). Adat menjaga, tak silau oleh emas. Kompas, 9 Desember, halaman 1-15.



0 komentar:

Posting Komentar