RESENSI
ARTIKEL: ADAT MENJAGA, TAK SILAU OLEH EMAS
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Bila menghadapi
hasil tambang yang berlimpah-ruah, maka kita (penduudk setempat) seperti lupa
diri. Kita tentu akan segera menghabiskan hasil tambang itu. Kita tidak bisa
membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan. Kita menjadi super
kreatif untuk menciptakan berbagai keinginan, dan merasionalisasinya, sehingga
keinginan berubah menjadi kebutuhan yang memang harus dipenuhi dengan segera.
Ini adalah fenomena klasik seperti halnya kita berada di suatu toko yang
menawarkan diskon untuk semua barang sampai dengan 75%. Sialnya, diskon itu
hanya berlaku selama 5 menit saja. Bisa ditebak, orang-orang tentu akan segera
mengambil barang yang ada di kanan kirinya, meskipun barang itu tidak
dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Persoalan yang
berhubungan dengan pengelolaan tambang di Indonesia, kita menjadi sering
terjebak. Bagaimana cara memanfaatkan hasil tambang yang ada di depan kita
secara bijak? Ada beberapa cara yang bisa ditempuh yaitu:
Ø Kita meminta tolong investor / pihak asing untuk ikut
mengelola tambang tersebut. Sistemnya adalah bagi hasil. Jadi pihak asing yang
mempunyai tekonologi maju dan SDM handal, akan mendapatkan sekian persen.
Indonesia sebagai pemilik hasil tambang itu akan mendapatkan sekian persen. Dalam
perjanjian disebutkan antara lain adanya kewajiban bagi investor untuk alih
teknologi. Tujuannya adalah bangsa Indonesia magang pada perusahaan tambang
itu. Belajar sambil bekerja. Setelah kemampuan SDM dirasa cukup, maka
perjanjian itu dihentikan, dan tambang dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.
Prosedur semacam ini nampaknya mudah dan sederhana, namun pada pelaksanaannya
banyak penyimpangan yang terjadi. Begitu banyaknya penyimpangan, sampai muncul
kredo bahwa hasil tambang yang melimpah-ruah adalah kutukan. Meskipun demikian,
alternatif ini banyak digunakan bangsa Indonesia sampai sekarang.
Ø Kita menunggu saja sampai SDM kita semuanya pandai mengolah
hasil tmabang itu. Ketika proses menunggu itu, maka hasil tambang itu didiamkan
saja (tidak diolah sama sekali). Bila alternatif ini dipilih maka mungkin saja
timbul dilema yaitu bila kita membutuhkan dana banyak dalam situasi yang sangat
mendesak dan kita tidak mempunyai uang sama sekali. Situasi seperti ini adalah
suatu ironi, seperti tikus mati di lumbung padi.
Apakah ada
pengelolaan hasil tambang yang bijaksana selain dua alternatif di atas? Adalah
masyarakat di Dusun Baru, Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi, yang
daerahnya bermandikan hasil tambang emas. Emas di daerah tersebut sangat
melimpah-ruah. Dalam artikel tersebut ditulis bahwa jangankan di tepi sungai,
emas pun melimpah di pekarangan, sawah, juga di tepi jalan.
Eloknya, penduduk
di Dusun Baru tersebut tidak tergoda untuk segera menambang emas itu. Apakah
mereka tidak membuuthkan uang? Apakah emas itu tidak digunakan sama sekali?
Ternyata mereka mempunyai kearifan lokal yang sangat menarik. Penduduk
mempunyai hukum yang mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat termasuk
sanksi bila mendulang emas sembarangan. Mendulang emas dalam bahasa di Dusun
Baru disebut ngerai.
Ngerai hanya boleh
dilakukan bersama-sama seluruh warga dusun, dan dalam jangka waktu tertentu
yaitu biasanya pada masa padi belum berbuah. Penentuan masa ngerai itu
ditetapkan oleh adat. Malam hari sebelum ngerai, warga menggelar doa dan makan
bersama. Tujuan makan bersama adalah ngerai tidak menimbulkan mala petaka.
Ngerai juga tidak boleh dilakukan sepanjang sungai sekitar dusun, agar air
sungai tetap jernih.
Hal yang menarik
adalah proses ngerai yang pro-lingkungan hidup ini sudah berjalan sejak abad
ke-15 sampai dengan sekarang. Penduduk sangat mentaati peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan adat. Mereka sangat takut dengan sanksi yang ada. Apa saja
peristiwa-perisitwa buruk yang terjadi bila penduduk tidak taat dengan
peraturan adat tersebut?
Bila seseorang
mendulang tanpa seizin pemangku adat, maka akan terjadi mala petaka. Petaka
yang terjadi antara lain rumahnya terbakar tanpa sebab. Butiran-butiran emas
yang ditambang tanpa izin pemangku adat, mendadak berubah menjadi pasir hitam. Dari
cerita-cerita semacam itulah diyakini bahwa leluhur sedang menegur jika ada pantangan
yang dilanggar. Darnis, seorang warga setempat mengatakan ”Kalau sekedar untuk
makan, boleh, tetapi kalau ditambang untuk keperluan memperkaya diri, pasti ada
saja kualatnya”.
Sampai berapa lama
kearifan lokal yang berbasis pada lingkungan hidup ini terjaga? Mendulang emas
secara tradisonal ini makin jarang dilakukan. Mungkin, tinggal kearifan ngerai
di Dusun Baru saja yang tersisa. Entah sampai kapan hukum adat itu tetap
bertahan.
Kemenarikan artikel
ini adalah cara menambang emas yang sangat pro-lingkungan hidup. Warga tidak
menjadi ’gila’ atau kehilangan akal ketika melihat butiran-butiran emas yang
ada di halaman rumahnya sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari warga
cukup bertani atau berkebun saja. Pengendalian diri warga sangat terpuji.
Kelemahan artikel
adalah penulis tidak mengungkap usaha-usaha pemuka adat untuk melestarikan
ngerai ini. Usaha-usaha ini penting terutama untuk generasi muda di Dusun Baru
yang mendapatkan pengaruh luar biasa dari media sosial. Masa depan Dusun Baru
ada di tangan generasi muda.
Berikut adalah
artikel asli dari resensi ini.
Sumber resensi:
Tambunan, I. (2017). Adat menjaga, tak silau oleh emas. Kompas, 9 Desember, halaman 1-15.
0 komentar:
Posting Komentar