8.12.17

TEORI RASIONALISME DAN EMPIRISME



 TEORI RASIONALISME DAN EMPIRISME

 I R W A N T O
NIM. 163104101125

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA


PENDAHULUAN
            Tahapan sejarah pemikiran filsafat abad modern menurut versi barat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Ancient atau zaman kuno; suatu zaman ketika manusia memiliki keerdasan yang murni. Meskipun diawali oleh berbagai mitos, pada zaman in filsafat dilahirkan dengan penuh kemurnian batin para filosof yang kemudian sebagai fondasi perkembangan filsfat pada abad-abad selanjutnya. Pada zaman inilah kemajuan berpikir manusia mulai menampakan diri, bahkan kemerdekaan berpikir tidak lagi terkekang, tidak ada kekuatan dengan atas nama siapapun yang mampu melumpuhkan pencaharian kebenaran filosofis pada zaman ini.
2.      Mediaval atau perteangahan, yakni zaman ketika alam pikian dikungkung dan didominasi oleh kekuatan dan kekuasaan gereja. Pada zaman ini, kebebasan filsafat benar-benar diabatasi, yang mengakibatkan ilmu pengetahuan terkebiri dan filsafat pun jatuh bangun dari hasrat radikalisasi pemikirannya.
3.      Zaman modern, yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang yang berbeda jauh dengan zaman-zaman sebelumnya. Kebebasan berpikir bukan hanya menjadi hak setiap orang, bahkan menjadi ideologi kaum intelektual. Objek pemikiran telah melintasi batas kemujudan intelektual sebagai akibat kekuatan dan kekuasaan gereja. Agama yang “suci” pada zaman ini hanyalah objek pemikiran filsafat yang kebenarannya tidak henti-hentinya diperdebatkan.
Zaman modern sebagai zaman yang datang setelah sekian lama dinantikan semua manusia yang memiliki peradaban yang tinggi.Setelah beberapa ilmuwan dan filosof terkekang oleh kekuatan politik yang bergerak dengan mengatasnamakan agama, Tuhan, atau para dewa.Pada zaman ini, perbudakan diluluh lantahkan oleh kesadaran manusia terhadap jati dirinya.Harga diri manusia bangkit dengan menjulangnya komunikasi global dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak terdeteksi sebelumnya.Dunia telah benar-benar “sebesar dau kelor”.Zaman modern sebagai zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala pemikirannya. (Saebani, 2016, p. 245)
Di zaman moder tersebut lahir diantaranya pemikiran Rasionlisme dan Empirisme.Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperolehpengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Sedangkan empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan megecilkan peranan akal. Dalam perkembanganya keduaa aliran tersebut melahirkan tokoh-tokoh dari Rasionalisme dan Empirisme yang memiliki pertentangan satu sama lain.

PEMBAHASAN

A.    Tokoh-TokohRasionalisme
1.      Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal di sana pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Sejak muda, ia bercita-cita ingin menjadi pejabat Negara. Akan tetapi perkembangan politik pada masanya tidak memberi  kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkan itu. Nama asalnya adalah Aristokles, guru senamnya kemudian memberi nama Plato. Ia memperoleh nama baru itu karena bahunya yang lebar. Tubuh plato benar-benar ideal, iapun tergolong pemuda yang cerdas.Sejak berumur 20 tahun, Plato mengikuti pelajaran Socrates.Socrates digambarkan sebagai juru bahasa isi hati rakyat di Athena yang tertindas karena kekuasaan yang silih berganti. Kekuasaan demokrasi meluap menjadi anarki dan sewenang-wenang digantikan oleh kekuasaan seorang tiran dan oligarki, yang akhirnya membawa Athena lenyap kebawah kekuasaan asing. (Saebani, 2016, pp. 190-191)
Pemikiran Rasionalisme menurut Plato secara tajam membedakan dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan indrawi dan pengetahuan kejiwaan (ideal). Bagi plato pengetahuan indrawi tidak dapat disebut pengetahuan sejati karena indra menangkap kesan sementara yang terus berubah, dan alam indrawi merupakan alam semu, bayangan semata dari dunia ide. (filsafat ilmu lanjutan). Plato percaya bahwa dunia fana ini merupakan bayangan dari apa yang terdapat di dalam alam ide yang abadi. Oleh karena merupakan bayangan, maka dunia fana yang kemudian diamati melalui indra selalu berubah. Oleh karena itu pengetahuan yang dihasilkan oleh indra bersifat dangkal. Untuk menembus kenyataan dan sampai pada kebenaran, manusia harus melepaskan diri dari tangkapan indra, melampauinya dankedalam ide yang bersifat umum dan merupakan kebenaran melalui akalnya. (Listyansari, 2013, p. 168)
Ide-ide hanya dapat dikenal rasio: (misalnya ide segitiga, manusia). Ide segi tiga hanya ada satu, sedangkan dengan indra saya bisa melihat hal dengan bentuk segi tiga. Ide segi tiga serta semua ide yang lain adalah sempurna dan kekal/tak berubah.Dunia ide merupakan objek bagi rasio kita. Lebih-lebih dunia jasmani yang dengan cara tak sempurna meniru saja dunia ide yang sempurna sama sekali. Sebab itu filsuf sedapat mungkin melepaskan diri dari dunia jasmani agar sanggup memandang dunia ideal yang sempurna. (Salam, 2000, p. 43)
2.      Descrates
Descrates yang diberi gelar Bapak Filsafat Modern pada mulanya ingin mencari titik tolak yang pasti bagi kebenaran.Pada masa hidupnya titik tolak kebenaran adalah iman. Descrates ingin mencari titik tolak yang lebih pasti bagi kebenaran, maka ia memperkenalkan  suatu metode yang kemudian dikenal sebagai ‘metode keraguan’. (Listyansari, 2013, p. 168)Descartes adalah salah seorang rasionalis terkemuka dan pendiri renaisans (kebangkitan kembali) filsafat di Eropa.Dia memulai filsafatnya dengan keraguan yang menyapu dan membadai.Dia beralasan bahwa karena gagasan-gagasan yang bertentangan, maka gagasan itu rentan terhadap kesalahan. Persepsi indra juga sering menipu; karena itu ia pun harus diabaikan, dengan dua pertimbangan ini, gelombang keraguan pun mengamuk, menumbangkan dunia material dan spiritual sekaligus, karena jalan kea rah kedua dunia ini adalah melalui gagasan dan persepsi indra. (Ash-Shadr, 2014, p. 137)
Keraguan descrates tidaklah bermaksud membiarkan orang terus berada dalam keraguan, tetapi lebih tepat dikatakan lewat keraguan sebagai metode, saya sampai pada kebenaran.Selanjutnya, Descrates berkeyakinan bahwa segenap ilmu harus di dasarkan atas kepastian yang tidak dapat lagi diragukan kebenaranya yang secara langsung dilihat oleh akal.(Listyansari, 2013, p. 169). Prinsip Descrates “Aku berpikir maka aku ada” membuat pikiran lebih pasti dari pada materi, dan pikiran saya lebih pasti dari pada pikiran-pikiran orang lain. Semua filsafat yang diturunkan dari Descartes cenderung pada subjektivitisme dan cenderung untuk menganggap materi sebagai sesuatu hanya bisa diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari apa yang diketahui pikiran. (Russel, 2016, p. 740)
Setelah menerima sisi subjektif, dia lalu membuktikan realitas objektif. Jadi dia menyusun pemikiran manusia dalam tiga kelompok:
a.       Gagasan-gagasan intingtif atau alami. Ini adalah gagasan-gagasan manusia alami yang muncul dengan banyak bukti dan sangat jelas, seperti gagasan tentang tuhan, gerak peluasan dan jiwa.
b.      Gagasan-gagasan samar yang terjadi dalam pikiran tentang peristiwa gerakan-gerakan yang datang pada indra dari ketiadaan.
c.       Berbagai gagasan yang dikontruksikan dan disusun manusia dari gagasan-gagasan mereka yang lain (Ash-Shadr, 2014, p. 138)
Metode pebuktidan Descartes dikritik Al-Syaikh Al-Ra’is, ibnu sina karena tidak layak bagi eksistensi pemikir manusia itu sendiri.Manusia tidak dapat membuktikan eksistensinya melalui pemikirannya. Karena, jika dengan mengatakan “aku berpikir, maka aku ada”, dia hendak membuktikan eksistensinya dengan cara pemikiran spesifiknya saja, maka sejak dini dia telah membuktikan eksistensi spesifik dirinya dan mengakui eksistensinya dalam frase paling pertama. Jika dia hendak membuat pemikiran absolut sebagai bukti eksistensinya dia salah, karena pemikiran absolut menegaskan eksistensi pemikir absolut bukan pemikir spesifik. (Ash-Shadr, 2014)
3.      De Spinoza
Sppinoza dilahirkan pada tahun1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza.Ia hidup dipinggiran kota Amsterdam. Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa subtansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yakni dengan pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakan definisi, aksioma, proposisi kemudian barulah membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi.(Saebani, 2016, p. 259)
De Spinoza memiliki cara berpikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tumbuh, yang eksistensinya berbarengan. (Saebani, 2016, p. 259). Perbedaan Descartes dengan De Spinoza terletak pada pemahaman subtansi, menurut De Spinoza bahwa subtansi itu merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri atau sesuatu yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk dirinya menjadi ada. Jadi subtansi itu berdiri sendiri dan membentuk dirinya sendiri.Oleh karena itu dalam tatanan ada, subtansi itu disebut sebagai yang pertama dan asali.Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza, hanya ada subtansi, dan subtansi itu adalah “Dia yang Tak Terhingga” atau “Allah”. (Murtiningsih, 2014, p. 98)
4.      Leibniz
Seorang filosof jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi Negara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Metafisikanya adalah ide tentang subtansi yang dikembangkan dalam konsep monad.(Saebani, 2016, p. 259)
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada subtansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab sementara subtansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”, Bahkan, Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptikan-Nya. Kita lihat bahwa hanya ada satu substansi, sedangkan Leibniz berpendapapat bahwa substansi itu banyak.Ia menyebut subtansi-subtansi itu monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. (Saebani, 2016, p. 260).

B.     Tokoh-Tokoh Empirisme
1.      Aristoteles
Aristoteles diahirkan dikota Stagira, Macedonia pada tahun 348 SM. Ayahnya adalah seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun, ia pergi ke Athena dan belajar di Akademi Plato. (Murtiningsih, 2014, p. 55). Ia belajar di Akademi selama hampir dua puluh tahun, hingga wafatnya plato tahun 384-7  SM. Sebagai filsuf dalam banyak hal Aristoteles jauh berbeda dengan pendahulunya. Dialah filsuf pertama yang menulis seperti seorang professor: risalah-risalhnya sistematis, telaahnya dipilah-pilah menjadi sejumlah bagian, ia pun seorang guru professional dan bukan semacam nabi yang menerima ilham. (Russel, 2016, p. 219)
Menurut Aristoteles ilmu didapat dari hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan berubah, kemudian secara bertahap sampai pada kebenaran yang bersifat “universal”. (Listyansari, 2013, p. 170).
2.      John Locke
ia adalah filsfu inggris yang banyak memperlajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika.Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metoda deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman menjadi induksi. Bahkan Locke menolak juga akal.Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi. Menurut Jhon Locke pengetahuan datang dari pengalaman.Ini berarrti tidak ada yang dapat dijadikan ide untuk konsep tentang sesuatu yang berada dibelakang pengalaman, tidak ada ide yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato.Argument yang disampaikahn John Locke tentang innate (bawaan) adalah dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui innate (bawaan) itu tidak ada.Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan.Ia mengatakan bahwa apa yang di anggap subtansi ialah pengertian tentang objek itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indra. (Ihsan, 2010)
John locke membagi pengetahuan dalam beberapa jenis:
a.       Pegetahuan intuitif  (al-ma’rifah al widaniyyah) ini adalah pengetahuan yang dapat diperoleh tanpa perlu mengakui sesuatu yang lain. Contohnya pengetahuan kita bahwa satu adalah setengah dari dua.
b.      Pengetahuan reflektif (al-ma’rifah al-ta’amuliyyah): jenis pengetahuan ini dapat terjadi tanpa bantuan informasi sebelumnya. Contohnya sudut-sudut sebuah segitiga sama dengan dua sudut siku-siku.
c.       Pengetahuan yang berasal dari pengetahuan empiris tentang objek yang diketahui. (Ash-Shadr, 2014).

3.      Francis Bacon
Franscis Bacon adalah seorang filsuf, negarawan dan penulis inggris.Ia juga dikenal sebagai pendukung Revolusi Sains. Ia termasuk tokoh terkemuka dalam filsafat alam dan metodologi ilmiah dalam periode transisi antara era Renaissance degan era awal modern. Sebagai seorang ahli hukum, anggota perlemen sekaligus penasihat ratu, ia menulis banyak pertanyaan dalam bidang hukum, kenegaraan, dan agama sebagai mana dalam politik kontemporer. (Murtiningsih, 2014, p. 77)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan idnrawi dengan dunia fakta.Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati.Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya: Kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan. (Ihsan, 2010, p. 164)
4.      Thomas Hobbes
Ia seorang ahli pikir inggris lahir di Malmesbury. Pada 15 tahun ia pergi ke Oxford untuk ,belajar logika Skolastik dan fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab gurunya beraliran Aristotelian. (Achmadi, 2001). Hobbes hidup saat kondisi negaranya sedang kacau balau karena perang saudara.Ia pernah mengalami masa genting di Inggris yang digelimangi oleh kecemaasan dan ketakutan, serta kepentingan-kepentingan pribadi yang menonjol. Ia sangat menginginkan negaranya stabil dan itulah yang membuatnya tertarik dengan duinia politik. (Murtiningsih, 2014, p. 84)
Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem materialistis yang besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia mengemukakan teori Kontak Sosial.Pendapatnya bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum.Karena filsafar adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang diperoleh dari sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya . (Achmadi, 2001, p. 112)
Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual  tidak lain dari semacam perhitungan, yaitu penggambungan data-data indrawi yang sama dengan cara berlain-lainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut materialistis. (Saebani, 2016, p. 268)
5.      George Barkeley
Barkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi uskup Anglikan di Cloyne (Irlandia).Sebagai penganut empirisme, Barkeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prisnsip empirisme. Jika Locke masih menerima subatansi-subtansi diluar kita, Barkeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada subtansi-subtansi materill, yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja. Sebagaiamana dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih dilihat penonton sebagai benda-benda yang real dan hidup.Ia juga mengakui adanya Allah, sebab Allah-lah yang merupakan asal usul ide-ide yang saya lihat. (Saebani, 2016, p. 273)
Inti dari pandangan filsafat Barkeley  adalah tentang pengenalan. Menurut Barkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati. Pengamatan justru terjadi karena hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang satu dengan pengamatan indra lainya. Contohnya, jika seseorang mengamati meja, hal itu dimungkinkan karena ada hubungan antara indra penglihatan dan peraba. Indra penglihatan hanya mampu menunjukan warna meja, sedangkan bentuk meja dapat diketahui dengan indra peraba.(Murtiningsih, 2014, p. 106)
6.      David Hume
David Hume lahir pada 26 April 1711 di Edinburgh, skotlandia, dengan nama asli David Home. Pada tahun 1734, ia kemudian mengubah namanya menjadi David Hume karena di Inggris kesulitan menyebutkan “Home”. Dalam masalah pendidikan, Hume mendapatan pendidikan yang sangat baik.Dengan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya, Hume mendaftar di Universitas Edinburgh untuk belajar sastra klasik. Akan tetapi, Hume tidak puas dengan pendidikan yang ia terima, sehingga ia lalu memutuskan  untuk keluar dari univeritas dan memilih pergi ke Prancis serta menjadi seorang filsuf besar. (Murtiningsih, 2014, p. 112)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerimaa substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya:putih, licin, berat dan sebagainya). Akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu subtansi tetap (misalnya: sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume tampak lebih konsekuen daripada Barkeley (Saebani, 2016, p. 274).
7.      Herbert Spencer
Herbert Spencer lahi di Derby pada 27 April 1820 dan meninggal di Brington pada 8 Desember 1903.Ia adalah seorang filsuf inggris dan pemikir teori liberal klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karya yang ia tulis berisi tentang teori politik dan dan menekankan kepada keuntungan dan kemurahan hati, ia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer merupakan anak tunggal dari seorang guru sekolah. Karena kesehatannya kurang mengizinkan, ia hanya dididik dirumah. Latar belakang inilah yang membuat semua karyanya bercorak independen. (Murtiningsih, 2014, p. 158)
Empirismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut spanceer , kita hanya dapat mengalami fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolut, tapi yang absolut itu tidak dapa dikenal.Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala.Di belakang gejala-gejala ada sesuatu yang disebut oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknowable).Maka menurut Spencer metafisika menjadi tak mungkin. (Saebani, 2016, p. 274)

PENUTUP
Simpulan
Tokoh Rasionalisme:
·         Menurut Plato pengetahuan indrawi tidak dapat disebut pengetahuan sejati karena indra menangkap kesan sementara yang terus berubah, dan alam indrawi merupakan alam semu, bayangan semata dari dunia ide.
·         Menurt Descrates “Aku berpikir maka aku ada” membuat pikiran lebih pasti dari pada materi, dan pikiran saya lebih pasti dari pada pikiran-pikiran orang lain.
·         Menurur De Spinoza Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tumbuh, yang eksistensinya berbarengan
·         Menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”
Tokoh Empirisme
·         Menurut Aristoteles ilmu didapat dari hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan berubah, kemudian secara bertahap sampai pada kebenaran yang bersifat “universal”
·         Menurut Jhon Locke pengetahuan datang dari pengalaman
·         Menurut Francis Bakon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan idnrawi dengan dunia fakta.
·         Menurut Hobbes bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.
·         Menurut Barkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati
·         Menutur David Hume ia tidak menerimaa substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama
·         Menurut spanceer , kita hanya dapat mengalami fenomena-fenomena atau gejala-gejala

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, A. (2001). Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ash-Shadr, M. B. (2014). Falsafatuna Pandangan terhadaoa Pelbagai Aliran Filsafat Dunia. Bandung: Mizan.
Ihsan, A. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Listyansari, S. A. (2013). Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Murtiningsih, W. (2014). Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD.
Russel, B. (2016). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Saebani, A. A. (2016). Filsafat Umum Dari Metodelogi Sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia.
Salam, B. (2000). Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.




0 komentar:

Posting Komentar