12.8.17

BISAKAH TRAINING / PERKULIAHAN MENGUBAH KUALITAS SDM?



RESENSI ARTIKEL ”BRING IN COMPASSION IN TRAINING
SESSIONS, PLEASE”

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogykarta


Problem utama semua organisasi dari dulu sampai dengan sekarang adalah interaksi sosial manusia (pimpinan, karyawan) selalu tidak harmonis. Perilaku karyawan selalu dianggap tidak sejalan dengan keinginan organisasi / pimpinan atau budaya organisasi. Contoh persoalan:
1)    Mengapa karyawan tidak menunjukkan kepedulian yang tinggi pada organisasi, karyawan kurang mempunyai rasa memiliki organisasi.
2)    Bagaimana menjembatani gap antar unit kerja yang punya kepentingan yang berbeda-beda?
3)    Bagaimana caranya agar semua karyawan termotivasi sehingga target organisasi tercapai? Karyawan dianggap bermotivasi rendah padahal mereka sudah menerima gaji. Ini sungguh tidak adil.

Untuk mengatasi berbagai persolan klasik dalam organisasi tersebut, maka didatangkanlah fasilitator / trainer. Tugas mereka adalah organisasi ingin mengubah perilaku semua karyawan, dengan melalui training. Dalam hal ini fasilitator dianggap sebagai nabi / malaikat yang mempunyai kekuatan supra natural. Benarkah fasilitator / trainer itu begitu saktinya?


Tidak ada yang bisa mengubah jalan pikiran seseorang kecuali sang empu pemilik pikiran itu sendiri atas izin Sang Pencipta sebagai satu-satunya zat yang mampu mebolak-balikkan hati. Tidak ada resep atau tips yang bisa diikuti dengan mudah untuk mengubah pemikiran dan perilaku karyawan, terlebih semua karyawan (baca: manusia). Kalau demikian apakah training SDM (termasuk training yang diselenggarakan oleh sarjana psikologi) itu tidak berguna?

Agar training - apa pun temanya - bermanfaat secara nyata, maka ada tiga pemahaman yang perlu diketahui oleh para penyelenggara dan peserta training.

1)    Training adalah ajang untuk mengkomunikasikan rasa, buka sekedar ilmu. Rasa dalam hal ini adalah perasaan karyawan dan juga pimpinan. Hal ini berarti bahwa karyawan dan pimpinan harus sama-sama berpartisipasi dalam training. Tidak bisa hanya karyawan saja yang mengikuti training berdasarkan alasan:

a)    Bahwa karyawan adalah pihak yang selalu salah dan pihak yang harus diubah perilakunya, sementara pimpinan adalah pihak yang selalu benar. Oleh karena berada pada posisi yang dianggap benar, maka pimpinan tidak perlu mengikuti training. Kalau pun mengikuti training, maka biasanya hanya pada sesi awal saja yaitu pada saat membuka / meresmikan training. Setelah beberapa saat, maka pimpinan akan meminta maaf dan ’melarikan diri’ dari kelas training dengan alasan masih banyak pekerjaan yang menunggu. Itu adalah ciri khas pemimpin kita yang menyedihkan.

b)    Bahwa pimpinan adalah pihak yang menyewa tenaga fasilitator / trainer, sehingga pimpinan adalah pihak yang berkuasa. Sementara itu fasilitator / trainer adalah pihak yang dikuasai. Konsekuensinya adalah pihak yang berkuasa merasa sah untuk tidak mengikuti seluruh rangkaian acara training, sedangkan pihak yang disewa tenaganya tidak boleh melarang orang yang berkuasa tadi. Jadi dalam hal ini uang telah menunjukkan kuasanya. Ini ironi.

2)    Pembelajaran training sesungguhnya TIDAK terjadi pada sesi training tetapi dalam pemikiran setiap orang saat ia memutuskan untuk belajar atau tenggelam dalam pemikiran orang lain. Kehadiran di kelas bukan indikator pembelajaran. Pimpinan organisasi harus bisa menerima fakta bahwa tidak ada satu pun karyawan berada di bawah kendalinya. Tugas organisasi adalah menyiapkan berbagai alasan agar karyawan bisa menikmati momen-momen dalam organisasi secara sadar untuk bekerja, belajar, dan berkarya. Oleh karena itu, perubahan perilaku pada karyawan dapat terjadi bila karyawan itu bersedia untuk mengubahnya, melalui proses belajar dalam training atau proses belajar lainnya. Perubahan perilaku terjadi ketika karyawan mengerjakan tugas di rumah (di luar jam kantor).

3)    Karyawan / orang pada umumnya lebih terdorong untuk menghadiri acara yang asyik, bukan yang penting. Hal-hal yang asyik lebih berharga daripada hal-hal yang penting. Oleh karena itu semua training / acara perkuliahan wajib hukumnya untuk didisain secara menarik dan asyik.

Tulisan ini sangat menarik dan sekaligus menyindir tentang perilaku dosen di kelas. Semua dosen tentu mempersepsikan bahwa perilaku mahasiswanya adalah salah, sehingga mereka perlu diberi doktrin dalam bentuk perkuliahan. Sayangnya, dosen kurang mampu memberikan suri tauladan perilaku. Tulisan ini membuktikan bahwa perkuliahan yang bisa mengubah perilaku mahasiswa harus disampaikan secara menarik, dosen memberikan contoh nyata dan dosen bersama-sama dengan mahasiswa menjalani proses belajar. Pernah bertemu dengan dosen yang selalu memberikan tugas tetapi tidak pernah memberikan contoh nyata? Bijaklah menghadapi fenomena lucu tersebut.

Kekurangan tulisan ini adalah banyaknya istilah bahasa Inggris. Untunglah hal itu diimbangi dengan beberapa frasa bahasa Jawa. Ini adalah artikel ilmiah populer.

Sumber tulisan:

Suhardono, R. (2017). Bring in compassion in training sessions, please. Kompas, 5 Agustus, halaman 32.

1 komentar:

  1. Yes saya setuju dengan ini, tapi kadang tulisan menarik seperti ini terhalang dengan malasnya budaya membaca. Pertanyaan saya tidak berkaitan dengan tulisan ini, adakah metode psikologi atau para dosen kreatif menyampaikan hal seperti ini dengan cara / metode lain ya? Kalau ada saya sangat berterimakasih sekali. Salam Andri

    BalasHapus