29.7.17

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN INTROVERT DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA REMAJA SMA NEGERI 1 YOGYAKARTA



HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN INTROVERT DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA REMAJA  SMA NEGERI 1 YOGYAKARTA

PROPOSAL SKRIPSI
  






Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

TUGAS MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

Dosen: Yeni Rahmawati, S.Pd., M.Pd.




Disusun Oleh:

I R W A N T O
NIM. 163104101125


kepada



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
2017
PERNYATAAN

            Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
            Nama                           : Irwanto
            NIM                            : 163104101125
            Program Studi             : Psikologi
Fakultas                       : Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakata

Menyatakan bahwa karya ilmiah ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, karya ilmiah ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain, kecuali bagian-bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan dengan mengikuti tata cara dengan mengikuti tata cara dan etika penulisan karya ilmiah yang lazim.
            Apabila ternyata terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab saya.


Yogyakarta,   23 Juli 2017
Penulis


Irwanto
NIM. 163104101125









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagian remaja seakan dilahirkan dengan rasa percaya diri yang besar. Sementara sebagian yang lain tidak yakin memiliki rasa percaya diri, sehingga kehidupan mereka serasa penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dan membuat mereka sulit untuk merasa tenteram hidup di dunia ini.
Remaja yang semula menganggap dirinya cukup memiliki rasa percaya diri tinggi, karena terjadi suatu peristiwa di luar kendalinya atau terpaksa berada dalam situasi tertentu, kemudian rasa percaya dirinya tadi menjadi rendah, bahkan hampir tidak ada lagi.
Menurut Kumara (1988), kepercayaan diri adalah kemampuan berpikir secara original, berprestasi, agresif, memecahkan masalah dan lepas dari situasi lingkungan pendukung serta bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil dan mampu menatap fakta dan realita secara objektif berdasarkan kemampuan dan keterampilan.
Remaja yang tidak menyenangi dirinya merasa bahwa, dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan dan kurang percaya diri serta cenderung menghindari situasi komunikasi. Remaja yang takut berkomunikasi, akan cenderung menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi, dan hanya akan berbicara bila terdesak saja. Anthony (dalam Aidawati, 2000) mengatakan bahwa, rasa percaya diri adalah sifat yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian akan kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan.
Dalam hal kepribadian, menurut Jung (dalam Irwanto, 1997), kepribadian manusia dibagi menjadi dua kecenderungan berdasarkan pada reaksi individu terhadap pengalamannya, yaitu introvert dan ekstrovert. Eysenck (1980) mengatakan bahwa, di antara keduanya itu yang paling berpengaruh terhadap kepercayaan diri secara negatif adalah kepribadian introvert. Selanjutnya Eysenck (1980) berpendapat bahwa, secara operasional perilaku introvert dapat didefmisikan sebagai sifat kurang pandai bergaul, pendiam, sukar diselami batinnya, terkadang sering takut pada orang lain dan lebih suka menyendiri.
Jung (dalam Kasijan, 1984) menyatakan bahwa kepribadian introvert merupakan orientasi energi psikis yang mengarah ke dalam dirinya sendiri atau subjektif, ia hanya memikirkan dunia kecilnya saja dan sukar dipengaruhi oleh dunia luar sehingga, pribadi introvert sukar berinteraksi dengan orang lain tapi masih bisa dengan orang tertentu saja, Sifat dan kepribadian introvert biasanya mempunyai kepercayaan diri yang rendah dan mempunyai sifat suka menyembunyikan isi hatinya, jiwanya tertuju ke dalam atau lebih banyak dipengaruhi oleh perasaannya sendiri, pergaulan dengan sesama kurang lancar, enggan bergaul, senang bekerja sendirian dan lebih baik dalam tulisan dari pada berbicara.
Dengan begitu, kepercayaan diri pada remaja yang mempunyai kepribadian introvert lebih terlihat dari kebiasaan kesehariannya yang suka menyendiri, lebih suka mengurung diri di kamar ataupun di tempat sepi yang dianggap bisa mendamaikan hatinya. Kepercayaan diri bukan merupakan sesuatu yang bersifat bawaan tetapi merupakan sesuatu yang terbentuk dari interaksi. Jika seorang remaja mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, dia lebih senang bergaul dan senang berinteraksi dengan sekitarnya, sehingga remaja itu akan lebih mempunyai nilai positif dan akan selalu dibutuhkan di setiap kegiatan.
Menurut pengamatan penulis, remaja yang mempunyai percaya diri rendah biasanya tidak mau mempedulikan lingkungan sekitarnya, merasa terasingkan dengan lingkungannya sendiri, hanya memikirkan dunia kecilnya dan sukar dipengaruhi oleh dunia luar, lebih sering bereaksi negatif dalam menghadapi masalah, misalnya dengan menghindari tanggung jawab atau mengisolasi diri.

Dari uraian di atas penulis berasumsi bahwa ada kaitan antara kepribadian introvert pada remaja dengan kepercayaan diri. Penulis ingin membuktikan apakah ada hubungan antara kepribadian introvert dengan kepercayaan diri pada remaja.

B.     Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris apakah ada hubungan antara kepribadian introvert dengan kepercayaan diri.

C.    Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
  1. Manfaat teoritis
a.       Penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang kepercayaan diri dalam kaitannya dengan kepribadian introvert.
b.      Dapat digunakan untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi kepribadian, psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang terkait dengan hubungan kepribadian introvert dan kepercayaan diri pada remaja.
  1. Manfaat praktis
a.       Bagi Remaja
1)      Dapat mengetahui pentingnya mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
2)      Dapat mengetahui hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan agar mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
3)      Diharapkan remaja mampu menampilkan kepercayaan dirinya, sehingga potensi-potensi yang ada dapat berkembang secara maksimal.
b.      Bagi Orang tua
1)      Dapat mengetahui akibat kurangnya perhatian dari orang tua dan dari lingkungan sekitarnya yang dapat mengakibatkan perkembangan perilaku remaja menjadi pribadi yang introvert.
2)      Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan pendidikan dan perlakuan yang tepat agar remaja dapat mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
c.       Bagi Pendidik (guru)
Lebih memperhatikan dan membimbing atau mengarahkan siswa-siswinya agar mempunyai rasa percaya diri dalam bergaul dan berkreasi, sehingga siswa-siswi yang mempunyai kepribadian introvert perlahan-lahan dapat mengurangi tingkat introvertnya dan meningkatkan kepercayaan dirinya, sedangkan yang tingkat kepercayaan dirinya sudah tinggi tetap dapat mempertahankannya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kepercayaan Diri
1.      Pengertian Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang memegang peranan penting dan sangat dibutuhkan untuk sukses dalam kehidupan sehari-hari. Afiatin dan Handayani (1997) mengemukakan bahwa, kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang berisi keyakinan tentang kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri merasa yakin akan kemampuan dirinya sehingga dapat membantunya dalam mengerjakan atau memutuskan sesuatu tanpa bantuan atau dukungan dari orang lain, serta membuat individu berani menghadapi risiko dan kenyataan yang buruk sekalipun. Sedangkan Purnamaningsih dan Afiatin (1996) mengatakan bahwa, kepercayaan diri merupakan suatu keadaan di mana seseorang memiliki keyakinan tentang kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki sehingga keadaan ini yang mendorong seseorang untuk melakukan dan meraih kesuksesan serta bertanggung jawab atas keputusan yang ditetapkannya.
Bandura (dalam Kumara, 1988) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diinginkan.
Menurut Bandura (dalam Wijaya, 2005), kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Percaya diri dapat ditunjukkan pada keyakinan bahwa seseorang dapat menyebabkan sesuatu terjadi sesuai dengan harapan-harapannya. Waterman (dalam Bunyamin, 2001) mengatakan bahwa, orang yang memiliki kepercayaan diri adalah mereka yang mampu secara efektif, dapat melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya. Lebih lanjut juga dikatakan bahwa hal tersebut merupakan perkembangan dari self identity (identitas diri).
Sementara itu, Rachmahana (1995) mengatakan bahwa, esensi kepercayaan diri terletak pada suatu perasaan atau kepercayaan individu yang menyebabkan terjadinya sesuatu dengan apa yang diharapkannya.
Anthony (dalam Aidawati, 2000) mengatakan bahwa, rasa percaya diri adalah sifat seseorang yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian dan kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Hakim (dalam Susilowati, 2005) mengatakan bahwa, kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya.
Kepercayaan diri diartikan sebagai suatu perasaan atau sikap tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan di dalam hidup ini. Orang yang mempunyai kepercayaan diri tidak memerlukan orang lain sebagai standar sendiri (Brennecke dan Amick, dalam Kumara, 1988). De Angelis (dalam Aidawati, 2000) berpendapat bahwa, kepercayaan diri sebenarnya berasal dan hati nurani, dari ketulusan hati yang merupakan janji kepada diri sendiri bahwa akan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan diharapkan. Tosi dan kawan-kawan (dalam Cahyani, 1995) mengungkapkan bahwa, kepercayaan diri berkembang melalui pemahaman diri dan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk belajar menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.
Dari berbagai pendapat tentang pengertian kepercayaan diri di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian kepercayaan diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang diharapkan, tidak tergantung pada orang lain, mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan serta dapat melihat kenyataan secara objektif.


2.      Aspek-aspek Kepercayaan Diri
Menurut Lauster (dalam Afiatin dan Handayani, 1997) aspek-aspek kepercayaan diri meliputi:
  1. Keyakinan akan kemampuan diri dan bertanggung jawab
Keyakinan akan kemampuan diri adalah perasaan seseorang bahwa dirinya dapat menyebabkan sesuatu terjadi sesuai dengan harapan-harapannya. Artinya, keyakinan akan diri sendiri adalah suatu perasaan di dalam diri seseorang bahwa ia mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya sendiri. Hal ini menjadikan seseorang percaya akan kemampuan yang ada dalam dirinya. Sedangkan tanggung jawab adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan seseorang sehubungan dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
  1. Optimis
Orang yang optimis akan mencoba untuk menghadapi dan memecahkan masalahnya, sedangkan orang yang pesimis akan memakai pendekatan pasif dan fatalistik terhadap masalahnya. Orang yang optimis cenderung percaya bahwa kegagalan adalah suatu hal yang temporer dan hanya terjadi pada kasus tertentu, serta tidak menyalahkan diri sendiri apabila terjadi suatu kesalahan tetapi mereka melihat faktor lain selain dirinya sendiri dalam melihat kesalahan tersebut, sedangkan orang yang pesimis biasanya mudah menyerah, mempunyai pandangan yang sempit dalam melihat dan menghadapi masalah sehingga sering tidak mampu mencari alternatif lain yang masih mungkin ditempuh.
  1. Menerima diri apa adanya
Sebagian orang mempunyai citra diri menyimpang yang disebabkan karena individu mungkin sering membentuk suatu opini yang tidak jujur mengenai dirinya, disebabkan individu tersebut belum mampu untuk menerima keadaan diri apa adanya. Seseorang yang menolak diri akan tidak dapat menyesuaikan diri dan tidak bahagia.


  1. Mempunyai gambaran diri yang positif
Gambaran diri dapat berkembang menjadi konsep diri. Di sinilah letak pentingnya mengapa remaja harus membentuk gambaran diri yang positif. Gambaran diri yang positif sangat dibutuhkan oleh remaja, hal ini disebabkan karena problema yang dihadapi remaja amatlah kompleks.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tentang aspek-aspek kepercayaan diri yaitu:
a.       Mempunyai keyakinan akan kemampuan diri dan tanggung jawab: keyakinan dan kemampuan seseorang bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan dan mampu untuk memutuskan sesuatu tanpa bantuan orang lain serta bisa menghadapi risiko yang diterimanya.
b.      Optimis: orang yang optimis biasanya cenderung percaya bahwa kegagalan adalah suatu hal yang biasa, sehingga tidak akan menyalahkan diri sendiri jika terjadi suatu kesalahan.
c.       Menerima diri apa adanya: jujur terhadap diri sendiri dan terbuka.
d.      Mempunyai gambaran diri yang positif: yakin untuk berkembang menjadi konsep diri.
3.      Ciri-ciri Kepercayaan Diri
a.       Ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi
Lestari dan Sumaryono (1996) mengatakan bahwa, individu yang memiliki kepercayaan diri tinggi mempunyai ciri-ciri: optimis, toleran, mandiri dan yakin akan kemampuan diri sendiri. Hakim (dalam Shinta, 2003) melibat adanya ciri-ciri tertentu dari orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi sebagai berikut:
1)      Selalu bersikap tenang di dalam mengerjakan segala sesuatu.
2)      Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.
3)      Mampu menetralisir ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi.
4)      Mampu berkomunikasi dan menyesuaikan diri di berbagai bidang.
5)      Memiliki kondisi fisik dan mental yang cukup menunjang penampilannya.
6)      Memiliki kecerdasan yang cukup.
7)      Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.
8)      Memiliki kemampuan dan keterampilan yang menunjang kehidupannya, misal keterampilan berbahasa asing.
9)      Memiliki kemampuan bersosialisasi.
10)  Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik.
11)  Memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
12)  Selalu bereaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah: sabar, tenang dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup.
Dari uraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa ciri-ciri orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi adalah optimis, toleran, yakin akan kemampuan diri sendiri, tenang, mampu bersosialisasi, dan berkreasi positif.
b.      Ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri rendah.
Amanah (1993) mengemukakan bahwa, orang yang kepercayaan dirinya rendah memiliki ciri-ciri: merasa tidak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung ragu-ragu dan pemalu jika tampil di depan orang banyak, membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan, memiliki perasaan rendah diri dan pengecut, serta cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalah yang dihadapi.
Azis (dalam Kumara, 1988) mengungkapkan bahwa, ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri rendah yaitu: tidak merasa aman, adanya rasa takut, ragu-ragu, kurang berani, merasa rendah diri, cenderung menyalahkan dunia luar.
Hakim (dalam Shinta, 2003), melihat adanya ciri-ciri tertentu dari remaja yang mempunyai kepercayaan diri rendah sebagai berikut:
1)      Mudah cemas dalam menghadapi persoalan.
2)      Memiliki kelemahan atau kekurangan dari segi mental, fisik, sosial, ekonomi.
3)      Sulit menetralisir timbulnya ketegangan di dalam suatu situasi.
4)      Gugup dan terkadang berbicara gagap.
5)      Memiliki latar belakang keluarga yang kurang baik.
6)      Memiliki perkembangan yang kurang baik sejak masa kecil.
7)      Kurang memiliki kelebihan pada bidang tertentu dan tidak tahu bagaimana cara mengembangkan diri untuk memiliki kelebihan tertentu.
8)      Sering menyendiri dari kelompoknya yang dianggap lebih dari dirinya.
9)      Mudah putus asa.
10)  Cenderung tergantung pada orang lain dalam menghadapi masalah.
11)  Sering bereaksi negatif dalam menghadapi masalah, misalnya dengan menghindari tanggung jawab atau mengisolasi diri, yang menyebabkan kepercayaan dirinya semakin buruk.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri rendah adalah ragu-ragu, kurang berani, cenderung menyalahkan dunia luar, mudah cemas, gugup, sering menyendiri, mudah putus asa, dan sering bereaksi negatif dalam menghadapi masalah.
4.      Pembentukan Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri akan timbul apabila setiap rintangan atau halangan dapat dihadapi dengan sukses. Sukses yang dicapai tersebut akan membawa kegembiraan yang kemudian menimbulkan rasa percaya diri. Selanjutnya rasa percaya diri menyebabkan orang memiliki optimisme dalam hidup, sehingga dalam menganalisa setiap persoalan dapat dilakukan dengan hati tenang.
Menurut Buss (dalam Bunyamin, 2001), berkaitan dengan pengenalan seseorang terhadap penampilan fisik dan lingkungan juga dapat mempengaruhi terbentuknya kepercayaan diri. Pendapat Buss ini senada dengan pendapat yang diutarakan oleh Jersild (dalam Bunyamin, 2001) bahwa, faktor lingkungan ikut berperan dalam pembentukan kepercayaan diri.
Martani dan Adiyanti (1998) menyatakan bahwa landasan dasar terbentuknya rasa percaya diri terletak pada pemahaman individu terhadap konsep dirinya, terutama pengertian mengenai siapa dan bagaimana dirinya. Penilaian dan penerimaan diri yang berkembang dengan baik akan menumbuhkan harga diri yaitu aktivitas individu ketika mengamati diri dalam hubungan dengan orang lain (Bouner, dalam Kumara, 1988). Adanya perkembangan konsep diri dan harga diri yang sehat akan menumbuhkan kepercayaan diri.
Watermon (dalam Handayani, 1996) mengatakan bahwa, pembentukan rasa percaya diri dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang merupakan media dalam proses belajar individu. Selain penuh situasi kompetitif lingkungan yang mampu merangsang terbentuknya rasa percaya diri adalah lingkungan yang penuh penerimaan terhadap pemikiran baru (Jack dan Page, dalam Handayani, 1996). Selain itu, kondisi rumah yang tenteram dan pengalaman masa kecil yang menyenangkan juga menjadi syarat terbentuknya kepercayaan diri (Handayani, 1996).
Buss (dalam Handayani, 1996) mengatakan bahwa, pembentukan rasa percaya diri dimulai dari pengenalan diri secara fisik dan dari penilaian orang lain terhadap dirinya, diterima atau ditolak. Hal ini akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Akibatnya, seseorang yang penampilan dirinya lebih menarik cenderung akan lebih percaya diri dibandingkan seseorang yang penampilan dirinya kurang menarik. Ganger dan Hurlock (dalam Handayani, 1996) mengatakan bahwa, penyesuaian sosial yang baik akan menimbulkan penerimaan sosial dan umpan balik yang positif dari lingkungan akan meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri.
Pola asuh orang tua yang otoriter di mana tidak memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan kemampuan kreativitas dan tanggung jawab, akan sulit mencetak seorang anak yang percaya diri. Gilmer (dalam Kumara, 1988) mengatakan bahwa pengaruh orang tua beserta pola asuhnya, pengaruh teman, kerabat atau lingkungan masyarakat yang cenderung keras dan tidak mendukung pemikiran dan inovasi baru merupakan stimulasi lingkungan yang memperlemah rasa percaya diri. Sebaliknya, bila lingkungan di sekitarnya bersifat kondusif dan banyak memberikan rangsangan untuk berkreasi dan menunjukkan kemampuan seluas-luasnya, maka kepercayaan diri akan mudah terbentuk.
Menurut Kumara (1988), faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yaitu: pola asuh, penampilan fisik, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan prestasi belajar. Sarason dan Sarason (dalam Afiatin dan Handayani, 1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar secara individual maupun sosial. Radford dan Rose (dalam Lestari dan Sumaryono, 1996) berpendapat bahwa, kebutuhan untuk beraktualisasi diri, percaya diri, bukanlah sesuatu hal yang otomatis tetapi perlu dipelajari dan diajarkan.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang mempengaruhi kepercayaan diri bukan berupa sifat bawaan yang terjadi secara otomatis dalam diri individu, melainkan melalui proses belajar baik secara individual maupun sosial. Faktor yang membentuk rasa percaya diri pada seseorang yaitu: pemahaman individu terhadap konsep diri, situasi lingkungan, pengenalan diri secara fisik dan penilaian orang lain, dan stimulasi lingkungan.
Berdasarkan semua uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya memiliki kemampuan, kekuatan dan ketrampilan lebih yang membuatnya optimis dan bertanggung jawab atas segala perilakunya untuk mencapai cita-cita dan kesuksesan. Kepercayaan diri mencakup beberapa aspek yaitu (1) keyakinan akan kemampuan diri dan bertanggung jawab, (2) optimis, (3) menerima diri apa adanya (4) mempunyai gambaran diri yang positif.

B.     Kepribadian Introvert
1.      Pengertian Introvert
Introvert adalah salah satu tipe kepribadian. Menurut Woodworth (dalam Kartono, 1995) kepribadian merupakan keseluruhan tingkah laku yang terwujud dalam kebiasaan berpikir dan berekspresi, dalam sikap dan minat, dalam gaya bertindak dan filsafat hidupnya. Namun sifat-sifat tersebut tidak sama antara individu satu dengan yang lainnya. Menurut Eysenck, tipe kepribadian manusia dibagi menjadi dua faktor dasar yaitu ekstrovert dan introvert (dalam Suryabrata, 1982).
Jung (dalam Masrun, 1977) membedakan kepribadian menjadi dua golongan, yaitu:
a.       Orientasi yang mengarah ke luar. Orientasi ini merupakan energi psikis yang mengarah keluar. Hidup kejiwaan dan tingkah laku serta tindakannya terutama dipengaruhi oleh dunia luar. Biasanya golongan ini hidupnya gembira, optimis, dan ramah dalam bergaul.
b.      Orientasi yang mengarah ke dalam. Orientasi ini merupakan orientasi energi psikis yang mengarah ke dalam dirinya sendiri atau subjektif. Ia hanya memikirkan dunia kecilnya saja dan sukar dipengaruhi oleh dunia luar.
Jung (dalam Kasijan, 1984) membedakan sifat kepribadian menjadi dua, yaitu:
  1. Sifat-sifat orang ekstrovert adalah lancar dalam berbicara, bebas dari rasa takut, tidak mudah bingung, cenderung konservatif, berpegang pada data-data objektif, senang bergaul, suka bekerja sama dengan orang lain.
  2. Sifat-sifat orang introvert adalah suka menyembunyikan isi hatinya, sikap jiwanya tertuju ke dalam, pergaulan dengan sesama kurang lancar, mudah bingung, enggan bergaul, senang bekerja sendiri dan lebih baik dalam tulisan dari pada berbicara.
Tipe kepribadian ekstrovert ditandai dengan mudah melakukan hubungan sosial, gemar berpesta-pesta atau kegiatan sosial lain, mempunyai banyak teman, bersifat gampangan dan tidak dapat dipercaya, gemar bicara, selalu ingin sesuatu yang merangsang, cenderung agresif, optimis, mudah berubah dan perhatiannya selalu ke luar, kurang hati-hati, tidak betah belajar atau membaca sendirian.
Menurut Rubrik Ekonomi Pikiran Rakyat (Kamis, 8 April 2004) introvert dibagi menjadi empat, yaitu:
  1. ISTJ: Introvert, Sensing, Thinking dan Judging. Tipe ini mempunyai sifat serius, tenang, penuh konsentrasi dan logis.
  2. ISFJ: Introvert, Sensing, Feeling dan Judging. Tipe ini mempunyai sifat tenang, ramah, bertanggung jawab, teliti, setia dan baik budi.
  3. ISTP: Introvert, Sensing, Thinking dan Perceiving. Tipe ini mempunyai sifat tenang, pendiam dan analitis.
  4. ISFP: Introvert, Sensing, Feeling dan Perceiving. Tipe ini mempunyai sifat malu, sangat ramah, sensitif dan rendah hati.
Perilaku introvert biasanya menjauhkan diri dan kejadian-kejadian luar, tidak mau terlibat dengan dunia objektif, tidak senang berada di tengah kerumunan orang banyak, merasa kesepian dan kehilangan. Semakin banyak orang, semakin banyak pula daya tolaknya. la tidak antusias mengikuti organisasi dan bukan orang yang cocok untuk menghadiri sebuah pertemuan. la melakukan sesuatu menurut caranya sendiri dan menutup diri terhadap pengaruh dunia luar. Selain itu mereka juga tidak mudah percaya, kadang menderita, mempunyai perasaan rendah diri, dan karena itu ia mudah cemburu dan iri hati. Cara menghadapi dunia luar dengan suatu sistem pertahanan diri yang sistematis dan teliti. Mereka akan tampak sebagai ilmuwan, cermat, berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga (Jung, dalam Naisaban, 2003).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai tipe kepribadian intovert mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam dan privat, di mana realita hadir dalam bentuk basil dari amatan, cenderung suka menyendiri, pendiam atau tidak marah bahkan antisosial. Umumnya orang introvert itu senang introspeksi dan sibuk dengan kehidupan internal mereka sendiri. Tentu saja mereka juga mengamati dunia luar, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan memakai pandangan subjektif mereka sendiri.
2.      Aspek-aspek Kepribadian Introvert
Kepribadian introvert terdiri atas beberapa aspek. Menurut Eysenck (1980), aspek-aspek introvert tersebut adalah:
  1. Pasif (inactivity)
Ciri-cirinya: cenderung tidak aktif secara fisik, lesu dan mudah letih, bergerak dengan langkah yang santai, lebih menyukai hari libur yang tenang dan penuh istirahat.
  1. Kemampuan bergaul rendah (unsociability)
Ciri-cirinya: hanya mempunyai beberapa teman khusus saja, menyenangi kegiatan yang menyendiri seperti membaca, merasa sukar mencari hal-hal yang hendak dibicarakan dengan orang lain, dan cenderung menarik diri dari kontak sosial yang menekan.
  1. Hati-hati (carefulness)
Ciri-cirinya: lebih menyukai keakraban, keamanan dan keselamatan.
  1. Kontrol (control)
Ciri-cirinya: mempertimbangkan berbagai masalah dengan sangat hati-hati sebelum membuat suatu keputusan, mempunyai sifat yang sistematis, teratur, hati-hati dan merencanakan kehidupan mereka lebih dahulu, berpikir sebelum berbicara dan melihat sebelum melangkah.
  1. Tidak menonjolkan diri (inhibition)
Ciri-cirinya: bisa menyembunyikan emosinya, teguh pendiriannya, pada umumnya terkontrol dalam menyatakan pendapat dan perasaan,
  1. Teoritis (reflectiveness)
Ciri-cirinya: cenderung tertarik pada ide-ide abstraksi, masalah-masalah filsafat dan diskusi.
  1. Tanggung jawab tinggi (responsibility)
Ciri-cirinya: cenderung berhati-hati, teliti, dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek yang tercakup dalam kepribadian introvert yaitu lebih menyukai ketenangan, keamanan, keselamatan, cenderung berhati-hati sebelum membuat suatu keputusan, teliti dan lebih menarik diri dari kontak sosial yang menekan.
3.      Ciri-ciri Kepribadian Introvert
Crow and Crow (dalam Linda, 2004) mengemukakan ciri-ciri orang introvert berdasarkan tinggi rendahnya tingkat introvert.
Ciri-ciri orang dengan tingkat introvert rendah adalah sebagai berikut:
  1. Lancar atau lincah dalam berbicara.
  2. Bebas dari kekhawatiran atau kecemasan.
  3. Tidak lekas malu dan tidak canggung.
  4. Umumnya bersifat konservatif.
  5. Mempunyai minat pada atletik.
  6. Dipengaruhi data objektif.
  7. Ramah dan suka berteman.
  8. Suka bekerja sama dengan orang lain.
  9. Kurang memperdulikan penderitaan dan milik sendiri.
  10. Mudah menyesuaikan din atau fleksibel.
Adapun ciri-ciri orang dengan tingkat introvert yang tinggi, yaitu:
  1. Lebih lancar menulis daripada berbicara.
  2. Cenderung atau sering diliputi kekhawatiran.
  3. Lekas malu dan canggung.
  4. Cenderung bersifat radikal.
  5. Suka membaca buku dan majalah.
  6. Lebih dipengaruhi oleh perasaan-perasaan subjektif.
  7. Agak tertutup jiwanya.
  8. Menyukai bekerja sendiri.
  9. Sangat menjaga dan berhati-hati terhadap penderitaan dan barang miliknya.
  10. Sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan.
Sedangkan Jung (dalam Alwisol, 2004) mengemukakan ciri-ciri introvert berdasarkan hal-hal berikut:
  1. Introvert-pikiran
Ciri-cirinya: mempunyai emosi datar, mengambil jarak dengan orang lain, cenderung menyenangi ide-ide abstrak dan benda kongkrit lainnya, mengembara dengan fikirannya sendiri, tidak peduli apakah ide-idenya itu bisa diterima oleh orang lain atau tidak diterima, terkesan keras kepala, kurang perhatian, arogan dan tidak ramah. Kata kuncinya adalah sifat mengambil jarak, intelektual, dan tidak praktis.
  1. Introvert-perasaan
Ciri-cirinya: mengalami perasaan emosional yang kuat tetapi dapat menyembunyikan perasaan itu, menilai segala hal dengan memakai persepsi-subjektif atau fakta objektif, mengabaikan pandangan dan keyakinan tradisional, sederhana, pendiam, tidak dapat diduga, terkesan memiliki rasa percaya diri dan kehidupan jiwa yang harmonis, tetapi perasaannya bisa hancur karena emosinya sendiri. Kata kuncinya adalah sifat pendiam, kekanak-kanakan, tidak acuh.
  1. Introvert-pengindraan
Ciri-cirinya: cenderung terbenam dalam sensasi-sensasi jiwanya sendiri dan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak menarik, tampil kalem, bisa mengontrol diri, tetapi juga membosankan. Introvert-pengindraan yang ekstrim ditandai oleh halusinasi, bicara yang tidak bisa dipahami atau esoteris (hanya bisa dipahami oleh orang tertentu saja). Kata kuncinya adalah sifat pasif, kalem, artistik.
  1. Introvert-intuisi
Ciri-cirinya: tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, cenderung tidak praktis, memahami fakta secara subjektif. Kata kuncinya adalah sifat mistik, pemimpi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut tingkatannya introvert ada dua kelompok yaitu introvert rendah dengan ciri-ciri: senang bergaul, fleksibel, senang bekerja sama dengan orang lain, ramah. Sedangkan introvert tinggi dengan ciri-ciri: jiwanya tertutup, lekas canggung, pendiam, sukar menyesuaikan diri. Berdasarkan jenisnya ada empat jenis kepribadian introvert yaitu introvert-pikiran (cirinya: tidak praktis, mengambil jarak dengan orang lain), introvert-perasaan (cirinya: pendiam, kekanak-kanakan), introvert-pengindraan (cirinya: pasif, kalem), introvert-intuisi (cirinya: pemimpi).
Berdasarkan uraian tentang kepribadian introvert di atas maka dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa kepribadian introvert adalah suatu kepribadian yang sifatnya lebih tertutup, berorientasi ke dalam diri sendiri, cenderung menarik diri dari kontak sosial, pendiam, temannya hanya sedikit, minat dan perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dan pengalamannya, selalu menjaga jarak kecuali kepada teman yang dekat. Kepribadian introvert mencakup tujuh aspek yaitu pasif, kemampuan bergaul rendah, hati-hati, kontrol, tidak menonjolkan did, teoritis dan bertanggung jawab.

C.    Remaja
1.      Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut masa adolesensi (adolescence). Menurut Monks (1989), adolescence berasal dari kata adolescere yang berarti menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Fase-fase remaja, menurut Monks (1989), secara global berlangsung antara umur 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir.
Menurut Ronodikoro (1993), masa remaja adalah masa di mana
individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekunder sampai mencapai kemasakan seksual. Individu yang
mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa, akan mengalami peralihan dari ketergantungan sosial-
ekonomi yang penuh ke arah yang relatif lebih mandiri. Atas dasar tinjauan
dan pertimbangan kondisi di Indonesia, umur yang sesuai bagi mereka ialah
antara umur 11 sampai 24 tahun.
Daradjat (1989) mengatakan bahwa, masa remaja adalah masa peralihan di antara masa anak-anak dan masa dewasa, di mana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang. Mereka bukan anak- anak, baik bentuk badan, sikap, cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Masa ini mulai kira-kira pada umur 13 tahun dan berakhir kira-kira umur 21 tahun.
World Health Organization (WHO) pada tahun 1974 (Sarwono, 1989), mendefinisikan tentang remaja, yaitu remaja adalah:
a.       Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya.
b.      Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c.       Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Csikszentimihalyi dan Larson (dalam Sarwono, 1989) mengatakan bahwa, remaja adalah restrukturisasi kesadaran. Sejalan dengan pendapat banyak ahli yaitu bahwa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya, Csikszentimihalyi dan Larson menyatakan bahwa, puncak perkembangan jiwa ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi entropy ke negentropy. Entropy adalah keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Isi kesadaran masih saling bertentangan, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kapasitas kerjanya dan menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi orang bersangkutan. Kondisi entropy ini, selama masa remaja, sesuai bertambahnya usia secara bertahap disusun, diarahkan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun menjadi kondisi negative entropy (negentropy). Kondisi negentropy adalah keadaan di mana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain dan pengetahuan jelas hubungannya dengan perasaan atau sikap.
Remaja sebagai usia pra dewasa membutuhkan pendidikan atau pengajaran tentang hak dan kewajiban sebagai anak. Pada era globalisasi yang berbarengan dengan liberalisasi sudah tidak ada longgarnya pendidikan ataupun pengasuhan keluarga di rumah karena terlalu sibuknya orang tua dan akibatnya, perhatian terhadap anak jadi terabaikan. Pada hal anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dalam bentuk komunikasi dan bimbingan yang menuntun perilaku mereka dan dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh (Buletinbang@dephan.go.id).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di mana individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan ke arah kematangan baik secara jasmani, mental, emosional maupun sosialnya. Karena masih dalam kondisi transisi maka sering kali kondisi kejiwaannya masih labil sehingga sering lepas kontrol.
2.      Ciri-ciri Remaja
Gunarsa dan Gunarsa (1986) membagi tiga macam ciri remaja:
  1. Keinginan untuk mencoba hal-hal yang belum diketahui
Remaja ingin mengetahui macam-macam hal melalui usaha yang dilakukan dalam berbagai bidang, terutama mereka ingin mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa.
  1. Keinginan menjelajah ke alam sekitar yang lebih luas
Keinginan menjelajah dan menyelidiki, dapat disalurkan dengan baik ke penyelidikan yang bermanfaat.
  1. Mengkhayal dan berfantasi
Khayalan dan fantasi tidak selalu bersifat negatif, karena di pihak lain dianggap sebagai suatu pelarian dari situasi dan suasana yang tidak memuaskan remaja.
Zulkifli (1986) mengungkapkan bahwa ada beberapa ciri remaja, yaitu:
  1. Pertumbuhan fisik
Pertumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat Untuk mengimbangi pertumbuhan yang begitu cepat itu remaja membutuhkan makan dan tidur yang lebih banyak. Perkembangan fisik terlihat jelas pada tungkai dan tangan, tulang kaki, otot.
  1. Perkembangan seksual
Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya sperma sudah mulai reproduksi dan mengalami mimpi basah. Sedangkan anak perempuan rahimnya sudah dapat dibuahi karena ia telah mendapatkan menstruasi yang pertama.
  1. Cara berpikir kausalitas
Remaja mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru dan lingkungan menganggapnya sebagai anak kecil.
  1. Emosi yang meluap
Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat ia sedih sekali, dan di saat yang lain kalau sedang senang mereka mudah lupa diri dan tidak mampu menahan emosi yang meluap-luap. Umumnya yang sering menjadi pertentangan adalah perbedaan pendapat dan pandangan antara remaja dengan orang tua.
  1. Mulai tertarik kepada lawan jenis
Dalam kehidupan remaja, mereka mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti dan kemudian melarangnya, hal ini akan menimbulkan masalah dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang tua.
  1. Menarik perhatian lingkungan
Pada masa ini remaja mencari perhatian dari lingkungannya, berusaha mendapatkan status dan perasaan seperti keinginan remaja di lingkungannya
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri remaja adalah mempunyai keinginan untuk mencoba hal-hal yang belum diketahuinya, mempunyai keinginan untuk menjelajah ke alam sekitarnya dan suka berkhayal dan berfantasi. Sedangkan ciri-ciri lain pada remaja yaitu pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang meluap, mulai tertarik pada lawan jenis dan menarik perhatian lingkungan.
Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa di mana individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan ke arah kematangan jasmani, mental, emosional dan sosial. Pada masa ini terjadi banyak perubahan dalam bidang fisik dan psikis. Masa remaja merupakan masa yang paling sulit karena harus belajar bergaul, selain dengan keluarganya sendiri juga dengan teman lawan jenis. Dalam kenyataannya remaja masih merasa bahwa dirinya belum dewasa dan masih belum mampu mengendalikan emosinya, sehingga dalam bergaul remaja masih kurang percaya diri, merasa malu terhadap orang dewasa di luar lingkungan yang dianggap sebagai kelompok yang lebih tinggi dari dirinya.
Dampak dari rasa malu dan tidak percaya diri pada remaja biasanya remaja lebih senang menyendiri dari kelompoknya dan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu bersosialisasi, sehingga mudah emosional dan perilaku remaja tersebut mirip dengan kepribadian introvert.

D.    Dinamika Psikologis Hubungan antara Kepribadian Introvert dengan Kepercayaan Diri pada Remaja
Remaja merupakan salah satu dari fase perkembangan manusia. Remaja memiliki ciri dan dinamika perkembangan sendiri sehingga banyak perhatian yang dicurahkan pada masa ini, karena pada masa remaja adalah masa yang sulit untuk dihadapi, baik oleh remaja itu sendiri maupun orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Eysenck (1980) mengatakan bahwa secara operasional, perilaku introvert dapat didefinisikan sebagai sifat kurang pandai bergaul, pendiam, sukar diselami batinnya, terkadang sering takut pada orang lain dan lebih suka menyendiri. Sedangkan Jung (dalam Kasijan, 1984) mengatakan bahwa sifat dari introvert biasanya mempunyai kepercayaan diri yang rendah dan mempunyai sifat suka menyembunyikan isi hatinya, jiwanya tertuju ke dalam atau lebih banyak dipengaruhi oleh perasaannya sendiri dan pergaulan dengan sesama kurang lancar.
Menurut Hakim (dalam Shinta, 2003) ciri-ciri orang yang mempunyai kepercayaan diri rendah yaitu mudah putus asa, sering menyendiri dari kelompoknya yang dianggap lebih dari dirinya, sering bereaksi negatif dalam menghadapi masalah, misalnya dengan menghindari tanggung jawab atau mengisolasi diri, yang menyebabkan kepercayaan dirinya semakin memburuk. Remaja yang mempunyai kepribadian introvert lebih cenderung menarik diri dari lingkungan, tidak senang mengikuti organisasi/menyukai bekerja sendiri, sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan, cenderung menyendiri, walaupun di kerumunan orang banyak selalu merasa kesepian.

Berdasarkan uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa remaja yang mempunyai kepribadian introvert biasanya memiliki rasa percaya diri rendah, sering menyendiri dari kelompoknya karena merasa banyak kekurangan yang salah satunya yaitu tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain secara baik, tidak suka berorganisasi dan tidak senang berada di tengah kerumunan orang banyak karena membuatnya tidak nyaman dan mengalami tekanan batin/ketegangan pada dirinya.

E.     Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan negatif antara kepribadian introvert dengan kepercayaan diri”, artinya semakin tinggi tingkat kepribadian introvert, semakin rendah tingkat kepercayaan diri, sebaliknya semakin rendah tingkat kepribadian introvert, semakin tinggi tingkat kepercayaan diri.


BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Identifikasi Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
  1. Kepribadian Introvert sebagai variabel bebas
  2. Kepercayaan Diri sebagai variabel tergantung

B.     Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi Operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Kepribadian Introvert
Kepribadian introvert adalah tipe kepribadian yang mengarah ke pengalaman subjektif, biasanya cenderung menyendiri, pendiam atau tidak ramah, bahkan anti sosial terhadap sekitarnya. Adapun aspeknya adalah: aspek pasif, aspek kemampuan bergaul rendah, aspek hati-hati, aspek kontrol, aspek tidak menonjolkan diri, aspek teoritis dan aspek tanggung jawab. Kepribadian introvert diukur dengan Skala Kepribadian Introvert yang mengungkap tujuh aspek tersebut.
  1. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang diharapkan, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan serta dapat melihat kenyataan secara objektif. Adapun aspeknya adalah: aspek keyakinan akan kemampuan diri dan tanggung jawab, aspek optimis, aspek menerima diri apa adanya, dan aspek mempunyai gambaran diri yang positif. Kepercayaan diri diukur dengan menggunakan Skala Kepercayaan Diri yang mengungkap empat aspek kepercayaan diri tersebut.


C.    Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah sejumlah subjek atau individu yang sedikitnya mempunyai satu sifat yang sama dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Hadi, 1996). Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel yang diteliti. Pada dasarnya, subjek penelitian adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar, 1999).
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi dan memiliki karakteristik yang sama dengan populasi tersebut (Sugiyono, 1999). Karakteristik sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Siswa/siswi kelas I SMA.
  2. Usia antara 15-17 tahun.
Adapun teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Incidental Sampling di mana subjek penelitian adalah orang-orang yang memenuhi kriteria, dapat ditemui peneliti dan bersedia menjadi subjek penelitian (Hadi, 1989).

D.    Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Skala adalah sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya (Arikunto, 1993).
Azwar (2002) mengemukakan keuntungan penggunaan metode skala, yakni:
  1. Data yang diungkap pada skala psikologi berdasarkan konsep psikologi yang menggambarkan aspek kepribadian individu.
  2. Pernyataan sebagai stimulus yang diajukan pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang biasanya tidak disadari oleh subjek.
  3. Pada skala psikologi, sekalipun subjek memahami isi pernyataan biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pernyataan tersebut.
Skala tersebut terdiri atas beberapa pernyataan yang digunakan dan bersifat favorabel dan unfavorabel. Favorabel adalah pernyataan yang bersifat mendukung, memihak atau menunjukkan ciri atribut terhadap objek sikap yang hendak diukur. Sedangkan unfavorabel adalah pernyataan yang bersifat tidak mendukung, tidak memihak atau tidak menunjukkan ciri atribut terhadap objek sikap yang hendak diukur (Azwar, 2002). Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan dua skala yaitu Skala Kepribadian Introvert dan Skala Kepercayaan Diri.
1.      Skala Kepribadian Introvert
Data tentang kepribadian introvert dalam penelitian ini diperoleh melalui Skala Kepribadian Introvert yang disusun oleh peneliti, yang mengacu pada teori Eysenck (1980). Adapun aspek-aspek dalam kepribadian introvert yang akan diungkap adalah:
a.       Pasif (inactivity)
Ciri-cirinya: cenderung tidak aktif secara fisik, lesu dan mudah letih, bergerak dengan langkah yang santai, lebih menyukai hari libur yang tenang dan penuh istirahat.
b.      Kemampuan bergaul rendah (unsociability)
Ciri-cirinya: hanya mempunyai beberapa teman khusus saja, menyenangi kegiatan yang menyendiri seperti membaca, merasa sukar mencari hal-hal yang hendak dibicarakan dengan orang lain, dan cenderung menarik diri dari kontak sosial yang menekan.
c.       Hati-hati (carefulness)
Ciri-cirinya: lebih menyukai keakraban, keamanan dan keselamatan.
d.      Kontrol (control)
Ciri-cirinya: mempertimbangkan berbagai masalah dengan sangat hati-hati sebelum membuat suatu keputusan, mempunyai sifat yang sistematis, teratur, hati-hati dan merencanakan kehidupan mereka lebih dahulu, berpikir sebelum berbicara dan melihat sebelum melangkah.

e.       Tidak menonjolkan diri (inhibition)
Ciri-cirinya: bisa menyembunyikan emosinya, teguh pendiriannya, pada umumnya terkontrol dalam menyatakan pendapat dan perasaan.
f.       Teoritis (reflectiveness)
Ciri-cirinya: cenderung tertarik pada ide-ide abstraksi, masalah-masalah filsafat dan diskusi.
g.      Tanggung jawab tinggi (responsibility)
Ciri-cirinya: cenderung berhati-hati, teliti, dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
Penyusunan Skala Kepribadian Introvert menggunakan skala model Likert yang terdiri atas empat alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Adapun kriteria pemberian skor tergantung pada aitem favorabel dan aitem unfavorabel. Pada aitem favorabel skor untuk jawaban Sangat Sesuai (SS) = 4, Sesuai (S) = 3, Tidak Sesuai (TS) = 2, Sangat Tidak Sesuai (STS) = 1. Sedangkan pada aitem unfavorabel skor untuk jawaban Sangat Sesuai (SS) = 1, Sesuai (S) = 2, Tidak Sesuai (TS) =3, Sangat Tidak Sesuai (STS) = 4. Skala ini mengukur tingkat kepribadian introvert pada remaja. Semakin tinggi kepribadian introvert maka skor total akan semakin tinggi, sebaliknya, semakin rendah kepribadian introvert maka skor total juga akan semakin rendah. Adapun penyebaran item Skala Kepribadian Introvert disajikan dalam label 1 di halaman berikut:
Tabel 1.
Blue Print Skala Kepribadian Introvert
No
Aspek
Nomor Aitem
Jumlah
Favourabel
Unfavourabel
1.
Pasif



2.
Kemampuan bergaul rendah



3.
Hati-hati



4.
Kontrol



5.
Tidak menonjolkan diri



6.
Teoritis



7.
Tanggung jawab




Jumlah



2.      Skala Kepercayaan Diri
Data tentang kepercayaan diri dalam penelitian diperoleh melalui Skala Kepercayaan Diri. Skala Kepercayaan Diri disusun oleh peneliti berdasarkan teori dari Afiatin dan Handayani (1997).
Adapun aspek-aspek dalam kepercayaan diri yang akan diungkap yaitu:
a.       Keyakinan akan kemampuan diri dan tanggung jawab
Rasa sangat percaya akan kemampuan diri untuk mengerjakan dan memutuskan sesuatu tanpa bantuan orang lain serta bersedia menghadapi risiko yang diterima.
b.      Optimis
Tidak mudah menyerah, selalu mencoba untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, cenderung percaya bahwa kegagalan adalah suatu hal yang sementara dan hanya terjadi pada kasus tertentu, dan tidak menyalahkan diri sendiri jika terjadi suatu kesalahan.
c.       Menerima diri apa adanya
Mempunyai citra diri yang benar karena dapat membuat opini yang jujur mengenai dirinya sendiri.
d.      Mempunyai gambaran diri yang positif
Mempunyai kesan yang baik mengenai diri sendiri.
Penyusunan Skala Kepercayaan Diri menggunakan skala model Likert yang terdiri atas empat alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Cara pemberian skor pada aitem favorabel, untuk jawaban Sangat Sesuai (SS) = 4, Sesuai (S) = 3, Tidak Sesuai (TS) = 2, Sangat Tidak Sesuai (STS) = 1. Sedangkan untuk aitem unfavorabel, skor jawaban Sangat Sesuai (SS) = 1, Sesuai (S) = 2, Tidak Sesuai (TS) =3, Sangat Tidak Sesuai (STS) = 4. Skala ini mengukur tingkat kepercayaan diri pada siswa. Semakin tinggi kepercayaan diri maka skor total akan semakin tinggi, sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri maka skor total akan semakin rendah. Adapun penyebaran aitem Skala Kepercayaan Diri disajikan dalam tabel 2 di halaman berikut:
Tabel 2.
Blue Print Skala Kepercayaan Diri
No
Aspek
Nomor Aitem
Jumlah
Favourabel
Unfavourable
1.
Keyakinan akan Kemampuan diri dan tanggung jawab



2.
Optimis



3.
Menerima diri apa adanya



4.
Mempunyai gambaran diri yang positif




Jumlah





E.     Validitas dan Reliabilitas
Untuk menanggulangi kesalahan yang mungkin terjadi, maka sebelum dilakukan pengambilan data perlu dilakukan try out terhadap instrumen penelitian. Hasil try out kemudian akan digunakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang akan dipakai dalam pengambilan data. Setelah diperoleh validitas dan reliabilitas yang memenuhi standar, maka instrumen tersebut dapat digunakan dalam penelitian yang sebenarnya untuk memperoleh data yang diperlukan (Azwar, 2001).
  1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan keakuratan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dalam pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan daya yang tidak relevan dengan validitas pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas yang rendah (Azwar, 1995).
Penggunaan alat ukur bertujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu. Alat ukur yang tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti tentu akan menimbulkan berbagai kesalahan. Kesalahan dapat berupa hasil yang terlalu tinggi atau yang terlalu rendah. Keragaman kesalahan dalam istilah statistik disebut varians kesalahan atau error. Alat ukur yang valid memiliki varians yang kecil, sehingga angka yang dihasilkan dapat dipercaya atau angka yang mendekati keadaan sebenarnya (Azwar, 2001).
Untuk mengukur validitas aitem digunakan teknik korelasi Product Moment dan Karl Pearson dengan mengkorelasikan skor masing-masing aitem dengan skor total. Pengukurannya dibantu dengan menggunakan komputer program SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih (1998).
  1. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability. Reliability berasal dari kata rely yang berarti mempercayakan dan ability yang berarti kemampuan. Pengukuran yang mempunyai reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable). Reliabilitas berhubungan dengan sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar, 1995). Pengertian reliabilitas alat ukur dan reliabilitas hasil ukur biasanya dianggap sama, namun penggunaannya perlu diperhatikan. Konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas alat ukur erat hubungannya dengan masalah kesalahan pengukuran (error of measurement). Untuk mengetahui reliabilitas instrumen alat ukur dalam penelitian ini digunakan analisis variansi dari Hoyt dengan rumus sebagai berikut (Azwar, 1986):

Keterangan:
rxx1       = Reliabilitas atas pengukuran
Mke     = Mean kuadrat antar subjek
Mks     = Mean kuadrat kesalahan
1          = Bilangan konstanta

F.     Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistik. Teknik statistik yang diterapkan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik korelasi product moment dari Karl Pearson. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kepribadian introvert dengan kepercayaan diri. Data dihitung dengan menggunakan program SPS (Seri Program Statistik), program analisis butir edisi Sutrisno Kadi dan Yuni Pamardiningsih (1998). Adapun rumus korelasi Product Moment dari Karl Pearson adalah:
Keterangan:
rxy     =   koefisien korelasi antara kepribadian introvert dengan kepercayaan diri
ZXY =   jumlah hasil perkalian antara skor kepribadian introvert dengan skor kepercayaan diri
∑X     =   jumlah skor kepercayaan diri
∑Y     =   jumlah skor kepribadian introvert
N        =   jumlah subjek yang diteliti


DAFTAR PUSTAKA

Afiatin, T. dan Handayani, B. 1997. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Pengangguran Melalui Kelompok Sosial. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Aidawati, T. 2000. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Perilaku Mempercantik Diri pada Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Amanah, N. 1993. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Efektivitas Komunikasi pada Pramuwisata di Denpasar dan Sekitarnya. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Azwar, S. 1995. Reliabilitas dan Validitas Interprestasi dan Komputasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
——— 1999. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
——— 2001. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
——— 2002. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bunyamin, M. 2001. Hubungan antara Rasa Percaya Diri dengan Perilaku Konsumtif pada Mahasiswa. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Cahyani, B. 1995. Hubungan antara Persepsi Terhadap Merokok dan Kepercayaan Diri dengan Perilaku Merokok pada Siswa STM Muhammadiyah Pakem Sleman Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Daradjat, Z., 1989. Kesehatan Mental. Cetakan ke 12. Jakarta: Gunung Agung.
Eysenck, H.J. dan Wilson, G. 1980. Mengenal Diri Pribadi. Jakarta: Sungguh Bersaudara ANS.
Gunarsa, S. D. 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S. D dan Gunarsa, Y.S.D. 1986. Psikologi Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hadi, S. 1989. Metode Research. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset.
——— 1996. Statistik2. (cetakan XVI). Yogyakarta: Andi Offset.
Handayani, P.K. 1996. Hubungan antara Kepercayaan Diri dan Kecenderungan Neurotis pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Irwanto. 1997. Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kartono, K. 1995. Kepribadian Siapakah Saya? Jakarta: CV. Rajawali.
Kasijan, S. 1984. Psikologi Pendidikan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Kumara, A. 1988. Studi Pendahuluan Tentang Validitas dan Reliabilitas The test of Self Confidence. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Lestari, A. dan Sumaryono. 1996. Pelatihan Berfikir Positif Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Mahasiswa. Laporan Penelitian. Yogyakarta.: Fakultas Psikologi UGM.
Linda, F. 2004. Hubungan antara Tingkat Ekstroversi Introversi dengan Kemampuan Menjalin Hubungan Interpersonal pada Siswa Kelas Satu SMUN 2 Sleman. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Martani, W. dan Adiyanti, M.G. 1998. Kompetensi Sosial dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Masrun. 1977. Aliran-aliran Psikologi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P, dan Haditono, S. R. 1989. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Naisaban, L. 2003. Psikologi Jung: Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses Dalam Hidup. Jakarta: Grasindo.
Purnamaningsih, E. H. dan Afmtin, T. 1996. Validitas Eksternal Skala Kepercayaan Diri. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Rachmahana, R. S. 1995. Hubungan antara Rasa Percaya Diri dengan Sikap Kreatif dan Kemampuan Berfikir pada Mahasiswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Ronodikoro, S., 1993. Tinjauan Psikologis Dampak Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya. Ijin: Biro Bina Sosial Sekretariat Wilayah Daerah Propinsi DIY.
Sarwono, S. W. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.
Shinta, P. 2003. Hubungan antara Depresi dengan Kepercayaan diri pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Sugiyono. 1999. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suryabrata, S. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali.
Susilowati, T. 2005. Hubungan Persepsi mengenai Kecantikan Diri dengan Kepercayaan Diri pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45.
Wahyudi. I. 1986. Pengaruh Perbedaan Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Tipe Kepribadian Introvert terhadap Pemilihan Warna pada Mahasiswi Fakultas Psikologi UGM. Skripsi Sarjana (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Wijaya, S. 2005. Hubungan antara Percaya Diri dengan Keberanian Mengambil Keputusan pada Mahasiswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45.
Zulkifli, L. 1986. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


0 komentar:

Posting Komentar