4.6.17

ADA APA DI BALIK KRIMINALITAS REMAJA INDONESIA?


fahrunisa yeni astari
16.310.410.1156
Fenomena geng remaja akhir-akhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Geng remaja yang ada, banyak melakukan aksi-aksi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Aksi yang mereka lakukan seperti aksi kebut-kebutan di jalan menggunakan motor, pemalakan, pencurian, dll. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah adanya aksi Geng Brasmada di Balikpapan yang menewaskan satu orang siswa SMA yang terjadi pada bulan Februari tahun 2013.
Seorang siswa SMA di Balikpapan dikabarkan tewas setelah dikeroyok oleh anggota geng motor yang disingkat Brasmada (Berani Senggol Mandi Darah). Korban yang bernama Alan Darma Saputra tersebut tewas setelah dikeroyok dan mendapatkan tiga buah luka tikaman sajam menembus tubuhnya di bagian punggung, dada serta pinggang. Korban yang awalnya hanya berniat untuk membeli Salome di sebuah warung tersebut dikeroyok oleh geng Brasmada karena tidak bisa memberikan uang sesuai yang diminta oleh geng tersebut (Rideng, 2013). Geng brasmada tersebut juga diketahui telah menyiapkan senjata tajam berupa sajam atau badik serta parang dalam melakukan aksinya (Ono, 2013). Tidak hanya melakukan kekerasan, para remaja anggota geng motor tersebut juga berani membunuh orang lain.
Berdasarkan latar belakang kasus diatas dapat diketahui bahwa remaja dapat melakukan kenakalan bahkan melakukan tindakan kriminal yang merugikan orang lain bahkan menimbulkan korban jiwa. Mengapa Remaja dapat terlibat dalam kasus kenakalan dan kriminalitas? Karena remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Dalam masa ini, remaja mulai memiliki interaksi secara aktif dan mulai mencerna nilai-nilai yang berasal dari luar lingkungan keluarganya. Dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mendapatkan nilai yang berasal dari lingkungan keluarga dan mulai mendapatkan nilai-nilai baru yang berasal dari lingkungan luar seperti sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosial, maka seseorang tersebut akan mengalami kondisi yang tidak seimbang. Kondisi yang tidak seimbang tersebut mengakibatkan remaja mengalami kebingungan tentang seperti apa perilaku, sikap, nilai, aturan dan aspek lainnya yang seharusnya dilakukan oleh dirinya, atau yang biasa disebut sebagai proses pencarian jati diri. Sehingga masa remaja menjadi masa yang penting dalam perkembangan individu serta melibatkan banyak pihak dalam proses tersebut.
Sebagai makhluk sosial, manusia sangatlah bergantung dengan orang lain. Oleh karena itu kemampuan adaptasi remaja dalam menginternalisasi nilai-nilai yang didapatnya dari lingkungan sosial, dan lingkungan keluarga menjadi sebuah nilai dirinya sendiri sangatlah diperlukan untuk dapat diterima dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, banyak remaja yang justru melakukan kenakalan dan tindak kriminalitas dimana hal tersebut melanggar norma sosial dan norma hukum yang berlaku. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya angka kasus kriminalitas oleh remaja tiap tahunnya menurut data badan pusat statistik Indonesia. Data tersebut menunjukkan peningkatan dari segi kuantitas dari tahun 2007 yang tercatat sekitar 3100 orang remaja yang terlibat dalam kasus kriminalitas, serta pada tahun 2008 dan 2009 yang meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja. (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010). Tidak hanya dari segi kuantitas, laporan badan pusat statistik juga menjelaskan bahwa tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja juga meningkat secara kualitas. Dimana kenakalan yang dilakukan remaja pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau perkelahian antar teman, dan sekarang berkembang sebagai tindak kriminalitas seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan. Kasus-kasus remaja yang sedang marak diberitakan saat ini adalah perilaku remaja dalam geng motor. Menurut data Neta S Pane selaku ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) sepanjang tahun 2014 terdapat 38 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota geng motor, yang mengakibatkan 28 orang tewas dan 24 orang mengalami luka-luka (Harian Terbit, 2014).
Banyaknya perilaku kenakalan dan kriminalitas remaja tersebut tentunya membuat kita semua khawatir, karena bisa jadi pelaku ataupun korban dari tindak kriminal tersebut merupakan orang terdekat, saudara atau bahkan anak-anak kita sendiri. Sedangkan kita semua tahu bahwa masa depan bangsa ada di tangan generasi muda. Sehingga dalam hal ini sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab perilaku kenakalan dan kriminalitas remaja agar dapat dilakukan tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kenakalan dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja. Karena sangat disayangkan apabila generasi muda yang seharusnya meneruskan perjuangan bangsa Indonesia justru melakukan kenakalan dan terlibat dalam tindakan kriminal yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Mengapa Remaja Melakukan Tindakan Kriminal?
Kenakalan remaja sangat erat kaitannya dengan kriminalitas remaja. Menurut Santrock (1995) kenakalan remaja sendiri mengacu pada rentang perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti tindakan berlebihan di sekolah, pelanggaran-pelanggaran seperti melarikan diri dari rumah sampai pada perilaku-perilaku kriminal. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja tidak hanya meliputi tindakan-tindakan kriminal saja, melainkan segala tindakan yang dilakukan oleh remaja yang dianggap melanggar nilai-nilai sosial, sekolah ataupun masyarakat. Sedangkan remaja yang dimaksud disini adalah individu yang berusia 12 hingga 18 tahun (UU Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 ayat 3).
Ketika kita membahas masalah mengenai kenakalan atau bahkan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja, hal terbesar yang perlu diketahui adalah apa yang melatarbelakangi atau faktor yang menyebabkan remaja tersebut melakukan tindakan kriminal. Menurut Jessor (1977) perilaku kenakalan yang dilakukan oleh remaja merupakan akibat dari aspek psikososial (Novita & Rehulina, 2012). Dimana aspek psikososial yang dimaksud disini adalah kondisi psikologis seorang remaja secara umum serta kaitannya dengan kondisi sosial tempat dimana remaja tersebut berinteraksi. Kondisi psikologis seseorang pada saat remaja memiliki karakteristik yang labil, sulit dikendalikan, melawan dan memberontak, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, agresif, mudah terangsang serta memiliki loyalitas yang tinggi (Sarwono, 2006). Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas, bahwa remaja mulai mengenali dan berinteraksi dengan lingkungan selain lingkungan keluarganya. Sehingga, ada kecenderungan bahwa remaja akan membandingkan kondisi di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebayanya atau bahkan lingkungan sosial dimana masing-masing lingkungan tersebut memiliki kondisi yang berbeda-beda. Sehingga remaja akan mengalami kebingungan dan mencari tahu serta berusaha beradaptasi agar diterima oleh masyarakat dengan kondisi psikologis remaja yang masih labil. Hal tersebutlah yang dapat menimbulkan terbentuknya perilaku kenakalan dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja. Hal ini serupa dengan pernyataan Jessor (1977) yang menyebutkan adanya tiga aspek yang mempengaruhi remaja dalam melakukan kenakalan. Aspek yang pertama adalah adanya aspek kepribadian remaja. Aspek kepribadiann remaja ini tidak hanya berupa karakter ciri khas remaja melainkan juga meliputi nilai individual, harapan serta keyakinan yang dianut oleh remaja itu sendiri. Kemudian aspek kedua yang mempengaruhi remaja melakukan kenakalan adalah system lingkungan yang diterima oleh remaja tersebut. Sistem lingkungan yang dimaksud disini adalah, system lingkungan tempat remaja tersebut tinggal atau melakukan interaksi dengan orang lain seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan teman sebaya. Kemudian aspek yang terakhir adalah aspek sistem perilaku. Aspek yang ketiga ini meliputi cara-cara seperti apa yang digunakan atau dipilih oleh remaja untuk berperilaku dalam aktivitas sehari-harinya (Novita & Rehulina, 2012).
Aspek kepribadian remaja menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku kenakalan karena mereka masih berada dalam tahapan perkembangan remaja yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dimana tugas perkembangan dari masa remaja ini adalah pencarian jati diri, tentang seperti apa dan akan menjadi apa mereka nantinya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Kendal ditemukan bahwa yang menjadi faktor penyebab yang dominan dari siswa-siswa melakukan kenakalan adalah faktor sifat dari remaja itu sendiri (Fuadah, 2011). Dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa yang melakukan kenakalan dengan kategori rendah (mencontek), sedang (membolos, merokok, memiliki gambar atau bacaan yang berkonten porno), hingga kategori tinggi (seks bebas, minum alcohol, memukul, merusak atau mengambil barang milik orang lain, berkelahi dan tawuran), karena siswa-siswa tersebut memiliki sifat yang cenderung bersikap berlebihan dan memiliki pengendalian diri yang rendah (Fuadah, 2011). Dalam penelitian lain juga menyebutkan bahwa faktor internal dari dalam diri individu yang melatarbelakangi kenakalan remaja. Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku kenakalan oleh remaja adalah konsep diri yang rendah (Yulianto, 2009), penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah (Setianingsih, Uvun, & Yuwono, 2006). Konsep diri adalah bagaimana individu memandang dirinya sendiri meliputi aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik adalah bagaimana individu memandang kondisi tubuh dan penampilannya sendiri. Sedangkan aspek psikologi adalah bagaimana individu tersebut memandang kemampuan-kemampuan dirinya, harga diri serta rasa percaya diri dari individu tersebut yang dalam hal ini adalah remaja. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa remaja yang melakukan kenakalan adalah remaja yang memiliki konsep diri yang rendah (Yulianto, 2009). Sehingga, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek kepribadian yang menjadi faktor penyebab munculnya perilaku kenakalan merupakan faktor internal dari dalam diri remaja itu sendiri diantaranya konsep diri yang rendah, penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah.
Aspek kedua yang dianggap sebagai penyebebab terbentuknya perilaku kenakalan dan kriminalitas remaja adalah sistem lingkungan seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan teman sebaya. Dalam sebuah penelitian di Surakarta menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara interaksi remaja dengan teman sebayanya, keluarga broken home, serta pola asuh orang tua (Murtiyani, 2011) dengan terbentuknya perilaku kenakalan ata bahkan tindakan kriminal (Sujoko, 2011). Artinya, ketika remaja berinteraksi dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan atau kondisi teman sebaya yang buruk, maka remaja akan cenderung mengembangkan perilaku kenakalan dan tindak kriminal. Kemudian mengapa lingkungan keluarga memiliki pengaruh dan menjadi faktor penyebab dari terbentuknya kenakalan atau tindakan kriminal remaja? Karena perilaku remaja sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh keluarga, terutama orang tua. Keluarga adalah pihak yang memiliki intensitas kebersamaan paling besar dengan anak sejak anak masih bayi. Selain itu, lingkungan keluarga adalah pihak pertama yang memberikan dasar-dasar nilai bagi anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengajaran pertama mengenai nilai-nilai kehidupan yang diterima oleh anak berasal dari keluarga dan mereka meneruskan nilai-nilai tersebut hingga mereka remaja atau bahkan dewasa. Artinya saat terdapat remaja yang melakukan tindakan kriminal, maka remaja tersebut tidak hanya dikatakan sebagai pelaku, melainkan mereka dapat dikatakan sebagai korban karena mereka tidak mampu melakukan perilaku adaptif yang dapat diterima oleh masyarakat.
Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Beberapa penelitian mengenai perkembangan kenakalan dan kriminalitas pada remaja, ditemukan bahwa tindak kriminal disebabkan adanya pengalaman pada pengasuhan yang buruk, mulai dari pengasuhan yang kasar, kedisiplinan yang tidak menentu, perilaku pengasuhan yang sembrono, konflik dalam pengasuhan, serta pengawasan yang teledor pada masa kanak-kanak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wilson pada remaja di Inggris serta penelitian oleh Snyder dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan bahwa remaja pelaku kejahatan dan kekerasan adalah remaja yang berasal dari lingkungan rumah atau keluarga yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang sosio-eknomi rendah, anak-anak dengan akses senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta yang menggunakan atau menyalahgunakan obat-obatan terlarang (Brown & Campbell, 2010). Penelitian serupa juga menunjukkan adanya pengaruh yang siginifikan antara sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang tua berupa kedisiplinan yang keras, kemarahan dan kekerasan yang ditunjukkan orang tua dalam pengasuhan dengan perilaku antisosial remaja (Larsson, Viding, & Rijsdijk, 2008). Sedangkan pengasuhan yang diberikan oleh ibu memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap munculnya perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja (Torrente & Vazsonyi, 2008). Hal tersebut dikarenakan ibu memiliki lebih banyak waktu dalam berinteraksi dengan anaknya, jika dibandingkan dengan ayah. Sehingga ketika ibu tidak memberikan pengasuhan yang tepat, tidak memberikan perhatian yang cukup pada anak seperti tentang kegiatan di sekolah, kegiatannya dengan temannya serta hal yang lainnya dapat memicu terbentuknya perilaku kenakalan dan tindak kriminal pada remaja tersebut karena kurangnya perhatian dan pengawasan oleh orangtua terutama oleh ibu. Tidak hanya itu, kepercayaan atau pandangan orangtua terutama ibu, mengenai perilaku anaknya seperti agresi dan perilaku antisosial juga mempengaruhi pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua seperti otoriter dan permisif (tidak mempedulikan). Dimana kemudian pola pengasuhan orangtua tersebut mempengaruhi munculnya perilaku antisosial pada anak (Evans, Nelson, Porter, & Nelson, 2012). Artinya, lingkungan awal yang menjadi faktor resiko dalam perilaku kenakalan dan tindakan kriminal oleh remaja adalah lingkungan keluarga. Hal tersebut dikarenakan lingkungan keluarga-lah yang menjadi awal terbentuknya nilai yang diterima oleh anak melalui pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua.
Mekanisme Kenakalan Remaja
Bandura pada tahun 1977 telah menjelaskan bahwa anak-anak dapat saja mempelajari perilaku kasar melalui pengalaman langsung atau observasi pada anggota keluarga mereka. (Brown & Campbell, 2010). Kemudian pada saat mereka memasuki sekolah, anak dengan kemampuan sosial yang buruk akan menghadapi penolakan oleh teman sebayanya. Kemudian hal tersebut akan berpengaruh pada kemampuan akademisnya. Kemudian kegagalannya dalam pendidikan akan meningkatkan perilaku membolos, menjadi anggota geng dengan tujuan untuk diterima dalam lingkungan sosial dan meningkatkan harga diri mereka dengan bergabung dalam geng.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa anak-anak belajar dari mengamati apa yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga mereka. Sehingga, ketika orang tua berperilaku kasar terhadap mereka, mengabaikan mereka saat mereka berperilaku kasar dan perilaku-perilaku lain yang mengarah pada tindakan kekerasan, maka anak akan mengamati hal tersebut. Artinya, mereka akan memiliki pemikiran bahwa perilaku yang ditampilkan oleh orang tua ataupun keluarga mereka adalah perilaku yang pantas untuk dicontoh sebagai perilaku yang benar dan wajar. Kemudian ketika mereka tumbuh dan berkembang dan mulai masuk dalam lingkungan sosial atau lingkungan yang berada di luar lingkungan keluarga, mereka akan meneruskan perilaku kasar yang mereka dapatkan di rumah dan mencari teman-teman yang menerima mereka dengan kondisi seperti dan akhirnya membentuk sebuah kelompok atau geng.
Ketika anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, menyia-nyiakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri yang rendah. Tidak hanya itu, anak juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial. Kemudian pada saat anak-anak mulai masuk di lingkungan sekolah, anak dengan harga diri yang rendah akan mendapatkan isolasi dari kelompok sebayanya dan mengalami kesulitan dalam sekolah, membolos, serta mengalami kegagalan dalam kegiatan akademik di sekolah. Anak-anak tersebut kemudian berkembang menjadi remaja yang memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dalam geng, dan kelompok sebaya yang menyimpang, serta pengarahan diri dalam kekerasan, karena menganggap teman sebaya seperti itulah yang dapat menerima kondisi mereka. Tidak sampai disitu saja, saat mereka beranjak dewasa, mereka akan meneruskan perilaku kekerasan, penerimaan dan kekerasan dalam hubungan pribadi, dan berkelanjutan dalam siklus kekerasan ketika mereka menikah dan menerapkan pola asuh yang mengandung unsur kekerasan pada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya akan berkembang menjadi individu yang melakukan kenakalan dan tindakan kriminal. Hal tersebut serupa dengan penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku agresi atau kekerasan memiliki kontribusi secara genetik atau diturunkan oleh orangtua pada anaknya terutama dalam perilaku antisosial. Tidak hanya perilaku agresi saja yang diturunkan, tetapi juga pola hubungan di dalam keluarga antara orangtua dan anak yang buruk juga bersifat genetik atau diturunkan (Narusyte, Andershed, Neiderhiser, & Lichtenstein, 2007)
Mekanisme perkembangan perilaku antisosial di atas, menunjukkan bahwa mekanisme tersebut berbentuk siklus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan kekerasan atau pengasuhan yang tidak tepat oleh orang tua akan membentuk rantai atau siklus perkembangan. Dimana hal tersebut menyebabkan anak tersebut akan melakukan perilaku kekerasan atau bahkan tindakan kriminal. Kemudian tindakan tersebut akan diteruskan hingga mereka dewasa, dan ketika mereka menikah dan menjadi orang tua, perilaku tersebut akan diteruskan pada anak mereka, dan begitu seterusnya menjadi sebuah rantai atau siklus.

0 komentar:

Posting Komentar