Perceraian
Keluarga Dari Sudut Pandang Psikologi
Meissy
Bella Sari
163104101143
Psikologi
Sosial
Perceraian (divorce) merupakan suatu
peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan
untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak
lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi.
Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak
menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah
memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi
anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain, 2003).
Walaupun ajaran agama melarang untuk bercerai, akan
tetapi kenyataan seringkali tak dapat dipungkiri bahwa perceraian selalu
terjadi pada pasanganpasangan yang telah menikah secara resmi. Tidak peduli
apakah sebelumnya mereka menjalin hubungan percintaan cukup lama atau tidak,
romantis atau tidak, dan menikah secara megah atau tidak, perceraian dianggap
menjadi jalan terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak mampu menghadapi
masalah konflik rumah tangga atau konflik perkawinan. Sepanjang sejarah
kehidupan manusia, perceraian tidak dapat dihentikan dan terus terjadi,
sehingga banyak orang merasa trauma, sakit hati, kecewa, depressi dan mungkin
mengalami garigguan jiwa akibat perceraian tersebut.
Perceraian sebagai sebuah cara yang harus ditempuh
oleh pasangan suami-istri ketika ada masalah-masalah daiam huhungan perkawinan
mereka tak dapat diselesaikan dengan baik.
Perceraian
bukanlah tujuan akhir dari suatu perkawinan, akan tetapi sebuah bencana yang
melanda mahligai perkawinan antara pasangan suami-istri. Menurut para ahli,
seperti Nakamura
(1989),
Turner & Helms (1995), Lusiana Sudarto & Henny E. Wirawan (2001), ada beberapa
faktor penyebab perceraian yaitu a) kekerasan verbal, b) masalah atau kekerasan
ekonomi, c) keterlibatan dalam perjudian, d)keterlibatan dalam penyalahgunaan minuman
keras, e) perselingkuhan. Namun demikian, mereka tidak memerinci secara jelas
faktor-faktor penyebab tersebut.
Perceraian secara
psiko-emosional, sebelum bercerai secara resmi, adakalanya masing-masing individu merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya (psycho-emotional
divorce),
walaupun
mungkin mereka masih tinggal dalam satu rumah. Pertemuan secara fisik, tatap
muka, berpapasan atau hidup serumah; bukan. tolok ukur sebagai tanda keutuhan hubungan
suami-istri. Masing-masing mungkin tidak bertegur-sapa, berkomunikasi, acuh tak
acuh, “cuek”,
tidak
saling memperhatikan dan tidak memberi kasih-sayang. Kehidupan mereka terasa
hambar, kaku, tidak nyaman, dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat dikatakan
walaupun secara fisik berdekatan, akan tetapi mereka merasa jauh dan tidak ada
ikatan emosional sebagai pasangan suami-istri.
Perceraian merupakan sebuah fakta yang sering
terjadi di tengah masyarakat kita. Seringkali perceraian tidak dapat dihindari
oleh pasangan, walaupun keduanya telah berupaya secara baik-baik mengatasinya,
namun tetap gagal dan menemui jalan buntu. Keduanya tentu sudah memikirkan
segala resiko yang harus diterima dan ditanggung bila keduanya bercerai.
Mereka
menjadi janda atau duda, anakanak tidak memiliki orangtua yang utuh, hidup
merasa tidak bahagia dan sebagainya.
Daftar
Pustaka
Dariyo, Agoes (2004). Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga. Jurnal Psikolog, 2(2), 94-100.
Sudarto, Lusiana
& Wirawan, Henny E(2001.), Penghayatan makna hidup perempuan bercerai, Jurnal
llmiah Psikologi Arkhe (o), 2, ha1.41-57.
0 komentar:
Posting Komentar