ANAK BUTUH BERMAIN, MAMA
Ana Istiqomah (16.310.410.1126)
Psikologi Umum II
Di era modern ini, persaingan semakin
ketat. Menyadari kehidupan yang semakin keras dan tak mudah ini, orangtua
menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Mereka mengikutkan anak-anak
mereka dalam berbagai les agar tak kalah saing dengan teman-temannya. Bahkan,
saking padatnya jadwal les yang anak ikuti, si anak tak memiliki waktu untuk
sekadar bermain.
Dalam hidup, manusia melewati
tahap-tahap perkembangan. Salah satunya adalah masa anak-anak. Dalam masa ini,
tugas mereka diantaranya adalah bermain, bereksplorasi dengan lingkungan,
bersosialisasi dengan teman dan sebagainya.
Bermain bagi anak tidak selamanya
berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak. Bermain bagi anak adalah suatu
pembebasan diri mereka dari berbagai kewajiban dan aturan dari orangtua. Saat
bermain, anak dapat mengungkapkan keceriaan mereka, bercerita dan menangkap
makna interaksi dengan teman sebayanya. Bermain merupakan proses belajar. Saat
bermain, anak belajar bergaul, mendapatkan pengalaman dari lingkungan, mengolah
rasa, mengolah kreativitas, belajar menyenangkan orang lain, mengerti
nilai-nilai sosial dan lain sebagainya.
Dari beberapa penelitian, bermain bagi
anak dengan terkendali dapat
mendorong perkembangan anak ke arah yang lebih maju. Imam Al Ghazali
berpendapat bahwa bermain bagi anak merupakan sesuatu yang sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Tindakan melarang anak bermain merupakan tindakan
keliru karena dapat mematikan hati anak, mengganggu kecerdasannya dan merusak
irama kehidupannya (Ismail, 2006).
Sedikit memprihatinkan bahwa
kenyataannya sekarang banyak orangtua yang mejadikan anak mereka “robot”
–dengan berbagai program les dan sedikitnya “waktu anak-anak”. Terlebih dengan
kecanggihan teknologi yang semakin menunjang “kerobotan” anak. Orangtua lebih
“perhatian” dengan nilai-nilai bagus ketimbang prestasi lain diluar kemampuan
akademik. Hal ini diperparah dengan standar sekolah elit dan favorit yang
dengan bangganya menulis “nilai-nilai bagus” sebagai kriteria penerimaan siswa
baru. Tentu saja orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, sehingga
mereka mengejar “nilai bagus” agar selalu tercetak di rapor si anak dengan
harapan si anak mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Anak dengan kecerdasan kognitif yang
sangat bagus cenderung tidak kreatif, hal ini karena kemampuan afektif anak
kurang dilatih. Anak yang menghabiskan waktunya untuk belajar, cenderung susah
bersosialisasi, dan memungkinkan anak untuk memiliki sifat egois. Bahkan bisa
menyebabkan anak frustasi, mudah putus asa, dan kesulitan dalam memecahkan
suatu masalah. Sifat-sifat seperti ini akan menumbuhkan generasi yang arogan
dan hanya mengandalkan kecerdasan kognitifnya.
Manusia ditakdirkan oleh Tuhan sebagai
makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia membutuhkan manusia lain dalam
menjalani kehidupannya. Untuk itu, kemampuan bersosialisasi merupakan hal yang
sangat penting. Sesuai dengan teori Freud, bahwa pengalaman-pengalaman di masa
pertumbuhan sangat mempengaruhi karakter dan kepribadian individu. Dan salah
satu dampak bagus dari waktu bermain yang cukup saat anak-anak adalah anak
mendapatkan hal akan sangat berguna bagi kehidupan masa depannya –kemampuan
bersosialisasi, olah rasa, kreativitas, dll. Jadi, tak ada salahnya bukan
memberi anak waktu bermain jika hal itu setimpal dengan keuntungan yang akan
sangat berguna di masa depan.
Daftar pustaka
Boeree. C.
George. (2013). General Psychology:
Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi, & Perilaku. Jogjakarta:
Prismasophie.
Prawira, Purwa
Atmaja. (2013). Psikologi Pendidikan
dalam Perspektif Baru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
0 komentar:
Posting Komentar