ADOLESCENCE
Ana Istiqomah (16.310.410.1126)
Psikologi Umum II
Di koran maupun di televisi, kita sering
menjumpai berita yang mengabarkan tentang tawuran yang terjadi antar-anak SMA
bahkan hingga menyebabkan kematian. Hal itu sering membuat kita tak habis
pikir. Sebenarnya, kenapa sih mereka lebih suka main otot daripada main otak?
Masa SMA masuk dalam kategori masa
remaja. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan
kepada situasi yang membingungkan, disatu sisi ia masih kanak-kanak, namun di
sisi lain ia sudah harus bertindak layaknya orang dewasa.
Secara psikologis, remaja adalah masa
yang cukup “sibuk”. Secara seksual ia sudah dewasa, namun tidak secara psikologis.
Mereka masihlah tetap seorang remaja dengan berbagai tugas perkembangan yang
harus mereka lewati dan selesaikan. Di masa ini terjadi lonjakan pertumbuhan
yang cukup signifikan. Dari tubuh kecil seorang anak-anak, lalu dengan cepat
bertumbuh dan memiliki tubuh layaknya orang dewasa.
Dalam upayanya untuk mencari identitas
diri, tak jarang seorang remaja membantah orangtuanya. Pendapat teman sebaya
lebih mereka pertimbangkan ketimbang pendapat orangtuanya. Hal ini karena
perasaan senasib yang mereka rasakan. Oleh karena itu, masa remaja dikenal
sebagai masa negativistik yang ketiga. Dimasa inilah remaja rentan dengan
permasalahan seperti tawuran, free sex, penyalahgunaan narkoba, dan sejenisnya.
Kenakalan remaja sering terjadi karena
beberapa faktor. Salah satunya dari media massa. Media masa kita cenderung
mengumbar hal-hal berbau kesenangan ketimbang pendidikan. Misalnya, dalam
sebuah sinetron, tokohnya adalah seorang remaja dengan gaya hidup hedonis,
pecinta clubbing, penganut aliran sex
pranikah is allowed, dan semacamnya. Dari sinetron itu sang tokoh terlihat
keren dengan gaya hidupnya itu. Meski masa remaja seharusnya lebih bisa
berpikir sebelum meniru (daripada anak kecil), namun terlihat “keren” merupakan
ide yang cukup bagus untuknya. Sehingga perilaku-perilaku seperti itu mereka
tiru.
Manusia ditakdirkan menjadi makhluk
sosial, yang berarti membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya. Menjadi
anggota suatu kelompok merupakan penerimaan sosial yang mereka butuhkan pula. Kecenderungan
remaja dalam memilih kelompok antara lain karena perasaan senasib, terlebih
bila mereka memiliki latar belakang yang tak jauh berbeda –misal sama-sama dari
keluarga broken home, persamaan hobi,
kesukaan, dan sebagainya. Hal ini cukup riskan bila remaja salah dalam memilih
kelompok.
Kesalahan remaja dalam memilih kelompok
dapat membawa mereka dalam kasus tawuran. Dengan pertumbuhannya yang cukup
signifikan dan menghasilkan tubuh layaknya orang dewasa. Ia merasa sudah besar,
merasa lebih kuat, sensitifitasnya pun tinggi, tanpa berpikir matang, siapapun
yang berani mengusik egonya, ia akan langsung maju tanpa gentar. Bila bukan
dirinya yang terusik, namun temannya, dengan dalih “solidaritas antar-teman”,
akhirnya mereka pun maju juga untuk membantu temannya itu. Ini lah yang sering
menjadi pemicu tawuran antar-remaja.
Dengan berbagai perubahan yang terjadi
pada dirinya, penerimaan sosial adalah hal yang paling penting. Orangtua, di
masa ini, tak perlu menjadi seorang “penceramah” yang baik. Yang diperlukan
oleh remaja adalah orangtua yang mau mendengarkan keluh kesah mereka,
kebingungan mereka, berperan sebagai “teman” mereka.
Pada masa seperti ini, orangtua
hendaknya melakukan pengawasan lebih. Terutama dengan pergaulan si anak. Karena
sekarang eranya ponsel canggih, perlu juga untuk mengontrol apa saja yang
diakses melalui smartphone mereka. Tentunya pendekatan yang dilakukan secara
halus dan tanpa menyinggung ego mereka. Karena di masa ini tingkat sensitifitas
remaja seperti orang pms.
Daftar pustaka
Boeree. C.
George. (2013). General Psychology:
Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi, & Perilaku. Jogjakarta:
Prismasophie.
Sarwono, Sarlito W. (2014). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers
0 komentar:
Posting Komentar