ARTIKEL: TEORI TENTANG HUBUNGAN
SIKAP DAN TINGKAH LAKU DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Nama: Irwanto
NIM. 16.310.410.1125
Mata Kuliah: Psikologi Sosial 1
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Dalam uraian mengenai fungsi sikap, mengetahui bahwa
banyak perilaku yang didasari oleh sikap seseorang terhadap
suatu objek. Sikap A terhadap B mendasari perilaku A terhadap B, tetapi
sikap A terhadap B yang berbeda suku dapat menjadi
sumber perilaku yang berbeda (diskriminasi) terhadap B. Mengapa sikap
dan perilaku tidak selalu sejalan? Atau, dengan kata lain, mengapa sikap kita
terhadap suatu hal bertentangan dengan perilaku yang ditampilkan tampilkan?
Ternyata, sikap tidak selalu dapat meramalkan
perilaku. Hal ini dibuktikan oleh penelitian seorang Sosiolog, La Piere pada
tahun 1934. Selama 2 tahun, ia berkeliling Amerika Serikat bersama sepasang
orang Cina. Mereka mendatangi 184 restoran dan 66 hotel serta hanya satu kali
mereka ditolak untuk dilayani. Kemudian, ia menyurati dan menanyakan para pengelola
tempat-tempat tersebut, “Apakah mau melayani orang Cina?” Dari 128 tempat yang
memberikan jawaban, 92% restoran dan 91% hotel menjawab “tidak”. Banyak
perilaku/perbuatan yang dilakukan, tidak sejalan dengan sikap
kita atau mungkin bertentangan sama sekali. Misalnya, pemilik restoran yang
mempunyai sikap negatif terhadap orang Cina dalam penelitian La Piere, mengapa
mau melayani mereka? Mungkin pertimbangan ekonomis menjadi salah satu
alasannya, sehingga tamu yang datang menjadi sumber pemasukan bagi mereka.
Apalagi, penampilan pasangan orang Cina itu cukup sopan karena mereka datang
bersama dengan orang kulit putih serta tampaknya mereka kaum
terpelajar, dan anggapan-anggapan positif lainnya.
Dari hal tersebut, dapat dipahami
bahwa antara sikap dan perilaku tidak selalu berhubungan secara langsung,
tetapi melalui proses yang cukup rumit. Perilaku yang ditampilkan oleh seseorang
bergantung pada situasi, terutama dalam konteks yang paling relevan dari
sudut pandang orang tersebut. Sikap terdiri dari tiga komponen yang
intensitasnya dapat berbeda-beda pada masing-masing orang. Orang dengan sikap
yang ekstrem, yaitu orang yang melibatkan intensitas perasaan yang sangat
mendalam tentang suatu hal. Salah satu determinan dari ekstremitas adalah
adanya vested interest, yaitu sejauh mana kepedulian orang terhadap
suatu hal, khususnya bila konsekuensi dari hal tersebut menyangkut dirinya
sendiri.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa semakin
besar vested interest seseorang, semakin besar pula pengaruh sikap terhadap
perilakunya. Sebuah penelitian dilakukan pada mahasiswa di suatu universitas
besar di Amerika. Mereka ditanyai melalui telepon, apakah mau ikut demo
menentang perubahan kebijakan hukum yang akan meningkatkan batas usia orang
dewasa yang boleh minum-minuman keras (alkohol) dari usia 8 tahun menjadi 21
tahun. Tentu saja? responden mahasiswa yang berumur 21 tahun ke bawah paling
terkena dampak kebijakan hukum tersebut. Mereka tergolong sebagai responden
yang paling kuat vested interestnya dan diduga akan lebih banyak yang
mau mengikuti demo.
Kelompok responden yang berumur 21 tahun ke atas
mempunyai vested interest yang paling kecil. Hal ini menguatkan dugaan
tersebut bahwa 47% golongan yang vested interestnya kuat menyetujui ikut
demo dan hanya 12% yang vested interest-nya rendah yang setuju ikut
demo. Jadi, sikap ekstrem dengan didasari vested interest yang kuat,
akan lebih mudah berubah wujud menjadi suatu perbuatan atau perilaku,
dibandingkan sikap dengan vested interest yang lemah atau yang tidak mengandung
vested interest sama sekali. Misalnya, teman Anda
menceritakan pengalaman yang menyenangkan dan memuji mobil barunya, kemudian
bandingkan dengan pengalaman pribadi Anda dengan mobil bermerk yang sama dengan
teman Anda. Menurut Anda mobil tersebut boros bensin,
mesinnya suka mogok ketika melewati genangan air di jalan bila musim hujan, dan
beberapa pengalaman pahit lainnya. Sampai di sini, sudah dapat diduga bahwa
perilaku Anda berkenaan dengan mobil bermerk yang dibanggakan teman Anda,
hampir dapat dipastikan mengikuti sikap dari pengalaman pribadi Anda sendiri
daripada pengalaman teman Anda, bukan? Sikap yang terbentuk langsung melalui
pengalaman pribadi lebih kuat atau lebih menetap daripada yang didapat orang
secara tidak langsung melalui pengalaman oranglain.
Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap dapat
memengaruhi perilaku kuat dan lemahnya sikap bergantung pada ekstremitas dan
pengalaman pribadi seseorang. (Petty & Krosnick, 1995). Konsistensi
hubungan sikap dan perilaku dipengaruhi oleh: (1) kuat/lemahnya sikap yang
dimiliki seseorang dan (2) faktor situasional yang dapat menghambat seseorang
untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang dimilikinya.
KESIMPULAN
Keputusan untuk melakukan perilaku tertentu
merupakan hasil dari proses yang rasional. Untuk mengetahui bagaimana hubungan
sikap dan perilaku, sehingga objek sikap yang dimaksud tidak lain adalah
perilaku itu sendiri. Perilaku dalam teori perilaku
beralasan, tidak menjelaskan mengenai perilaku yang tidak sepenuhnya dapat
dikendalikan oleh orang, meski ia mempunyai sikap yang positif terhadap
perilaku yang dimaksud. Dalam teori planned behavior, Ajzen menambahkan
satu lagi determinan perilaku, yang disebut sebagai perceived behavior
control (PBC) atau kendali perilaku yang dipersepsikan.
REFERENSI
Plotnik, R. (2005).
Introduction to Psychology. Seventh
Edition. San Diego: Wadsworth.
Sarwono, S. W. (1991). Teori Psikologi Sosial. Raja Wali
Press, Jakarta.
Wade, C &
Travis, C. (2007). Psikologi. Edisi 9
Jilid 1 Jakarta: Penerbit Erlangga.
0 komentar:
Posting Komentar