11.1.17

Studi Kasus Pengelolaan Emosi Pada Anak Tantrum Di Taman Kanak-Kanak



Studi Kasus Pengelolaan Emosi Pada Anak Tantrum Di Taman Kanak-Kanak




Tri Welas Asih1), Dewi H. Harahap1), Siti Mahmudah2) & Arundati Shinta1)
1) Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, 2) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

triasih12@ymail.com

Abstrak

Tantrum adalah letupan emosi yang meledak-ledak pada anak yang ditampakkan dalam perilaku agresif. Perilaku tantrum ini lazim terjadi pada anak usia 1-3 tahun, dan pada usia 4 tahun biasanya tantrum ini mereda. Tantrum ini adalah tahap anak belajar tentang kontrol diri. Contoh perilaku tantrum antara lain berteriak, menendang, memukul, bahkan menyakiti diri sendiri. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui cara menangani perilaku tantrum pada anak usia taman kanak-kanak. Manfaat dari studi kasus ini agar orangtua dan guru sebagai lingkungan disekitar anak mampu mendeteksi dan menangani perilaku tantrum yang muncul dari anak.
Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif yang konsisten dari orang tua dan guru serta orang lain diluar keluarga inti seperti nenek dan kakek mampu membantu pengelolaan emosi pada anak sehingga dapat menjadi salah satu cara dalam mengatasi tantrum. Pola asuh otoritatif adalah salah satu gaya pengaasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan.
Metode penelitian yang digunakan pada studi kasus ini ialah dengan metode observasi dan wawancara pada subyek tunggal yaitu anak pada usia taman kanak-kanak. Kesimpulan studi kasus ini ialah pola asuh otoritatif yang konsisten dari orang tua serta guru dan keluarga lain yang membantu mengasuh anak, akan membuat anak dapat mengendalikan emosinya sehingga dapat mencegah munculnya perilaku tantrum pada anak.

Kata-kata kunci: Pengelolaan Emosi, Tantrum, Anak.






Pendahuluan

Anak usia dini adalah sosok individu yang unik yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Pada masa ini anak berada di periode keemasan atau golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang (Dariyo, 2004). Anak pada usia sekolah di taman kanak-kanak berada pada rentang usia 4-6 tahun. Pada masa itu anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak  dapat  terpenuhi.  Rasa kecewa,  marah,  sedih  dan  sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbul tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum.
Temper tantrum adalah ledakan emosi yang kuat yang terjadi ketika anak balita merasa lepas kendali. Tantrum adalah demonstrasi praktis dari apa yang dirasakan oleh anak dalam dirinya. Ketika orang-orang membicarakan tantrum, biasanya hanya mengenai satu hal spesifik, yaitu kemarahan yang dilakukan oleh anak kecil. Hampir semua tantrum terjadi ketika anak sedang bersama orang yang paling dicintainya. Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk pada usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih ditemui pada anak usia lima atau enam tahun, namun   hal   tersebut   sangat   tidak   biasa   dan   secara   bertahap akan menghilang. Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Perkembangan anak berlangsung secara berkesinambungan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Setiap membicarakan perkembangan anak pasti tidak lepas dari peran keluarga. Keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak dan sangat mempengaruhi proses perkembangan pada anak tersebut. Pola asuh keluarga terhadap anak juga sangat menentukan perkembangan anak. Melalui keluarga, anak mulai belajar mengenal dirinya sendiri dan orang lain serta belajar mengelola emosinya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak terdiri dari beberapa aspek. Salah satu perkembangan yang penting adalah perkembangan aspek sosial emosional. Salah satu ekspresi emosi dalam kehidupan sosial pada anak adalah tantrum. Studi kasus ini adalah pembahasan tentang anak yang jarang/ tidak pernah tantrum di rumah, namun sering menampakkan tantrum di sekolah taman kanak-kanak. Dalam banyak literatur psikologi perkembangan, tantrum sering ditampakkan anak baik di rumah maupun di sekolah.
Temuan yang diperoleh adalah guru ternyata sudah konsisten dalam mendidik dan sabar dalam menghadapi anak tantrum. Anak hanya tantrum di sekolah saja berarti ia tidak dapat mengelola emosi ketika harus berhadapan dengan teman sebaya. Hasil visitasi guru di rumah, ternyata cara orangtua mendidik anak sudah konsisten. Anak menjadi mampu mengatur emosinya karena ia tahu bahwa orangtuanya konsisten dalam mendidik dan tidak bisa ditawar lagi. Pendidikan yang sudah bagus tersebut menjadi berantakan karena anak sering dititipkan pada neneknya, yang mempunyai pola pendidikan permisif. Anak dititipkan karena kedua orangtuanya bekerja sampai malam. Perbedaan pola asuh ini menyebabkan anak bingung, terutama ketika berhadapan dengan teman sebaya. Teman sebayanya tidak mau diperlakukan seenaknya, sehingga ia frustrasi. Anak tidak mampu mengendalikan emosinya. Cara mengatasi anak tantrum tersebut adalah dengan terus memeluknya sampai emosinya reda. Dalam hal ini memang dibutuhkan guru yang kuat fisiknya. Hal ini dilakukan karena ia cenderung mengganggu anak-anak lainnya. Setelah reda emosinya, anak kemudian diajak berbicara dengan sabar. Anak diminta untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kesempatan itu guru berkesempatan untuk menasehatinya, agar ia lebih toleran pada teman sebayanya. Untuk orangtua, guru hendaknya selalu mengingatkan pentingnya konsistensi perilaku, baik di rumah orangtua maupun nenek. Konsistensi perilaku akan membuat anak lebih bisa mengendalikan emosinya pada masa yang akan datang, sehingga ia tidak menjadi orang yang impulsif.


Landasan Teori
Temper tantrum adalah ekspresi dari kemarahan dan frustasi yang ekstrim, yang tampak seperti kehilangan kendali seperti dicirikan berperilaku menangis, berteriak, mengamuk, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang barang, berguling di lantai , membenturkan kepala, dan menghentakkan kaki ke lantai. Dalam kasus tertentu, ada pula anak yang sampai menendang dan memukul orang yang berada di sekitarnya (Tandry, 2010). Temper tantrum merupakan luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Kejadian ini seringkali muncul pada anak usia 15 bulan sampai  5 tahun.  Tantrum  terjadi  pada  anak  yang  aktif  dengan  energi  yang  melimpah (Hasan, 2011: 185). Selain itu, menurut Hurlock (1998: 115), temper tantrum adalah ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal. Hal ini tampak mencolok pada anak-anak usia 2,5 sampai 3,5 dan 5,5 sampai 6,5 tahun. Ledakan amarah mencapai puncaknya antara usia dua dan empat tahun, setelah itu amarah berlangsung tidak terlampau lama.
Faktor-faktor penyebab terjadinya temper tantrum menurut Hasan (2011: 187); (1) Terhalangnya keinginan untuk mendapatkan sesuatu; (2) Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri; (3) Tidak terpenuhinya kebutuhan; (4) Pola asuh orang tua.; (5) Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit yang dapat menyebabkan anak menjadi rewel; (6) Anak sedang stress dan merasa tidak aman. Sedangkan menurut Setiawani (2000:133), beberapa penyebab temper tantrum adalah; (1) Masalah keluarga, keluarga yang tidak harmonis akan membuat anak kehilangan kehangatan keluarga, yang dapat mengganggu kestabilan jiwa anak; (2) Anak yang dimanja akan membuat anak dapat memanfaatkan orang tuanya; (3) Anak yang kurang tidur, kelelahan, memiliki tubuh dan keadaan fisik yang lemah akan membuatnya cepat marah.; (4) Masalah kesehatan, ketika anak mengalami kurang enak badan, ada masalah kesehatan atau tubuh cacat, semua yang mempengaruhi kekuatan pengendalian dirinya, atau hal yang tidak sesuai dengan  dirinya,  akan  mudah  membuat  anak  marah;  (5)  Masalah  makanan, beberapa makanan dapat membuat anak peka atau alergi yang membuat anak menjadi kehilangan kekuatan untuk mengendalikan diri, seperti   makanan yang mengandung zat pewarna atau pengawet, dan coklat; (6) Kekecewaan, saat anak menyadari keterbatasan kemampuan dirinya dalam menyatakan keinginannya dan tidak dapat melakukan  sesuatu hal, membuat anak mudah marah; (7) Meniru orang dewasa, ketika melihat ada orang dewasa yang tidak dapat menyelesaikan atau menghadapi kesulitan, lalu marah-marah, ditambah di rumah orang tua dan di sekolah guru juga mudah marah, akan membuat anak meniru mereka menjadi anak yang mudah marah.
Menurut Hurlock (2010: 222) situasi yang menimbulkan temper tantrum antara lain; (1) Rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain atau dari ketidakmampuan diri sendiri, (2) Rintangan terhadap aktivitas yang sudah mulain berjalan, (3) Rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang ingin dilakukan anak.
Hal pertama yang menyebabkan terjadinya tantrum adalah keinginan anak yang tidak terpenuhi. Awalnya orang tua dari anak tersebut selalu memberikan apapun yang di minta oleh anaknya bahkan di beri lebih dari satu jumlahnya. Selang beberapa waktu orang tua mulai membatasi memenuhi permintaan anak tersebut karena orang tua tidak ingin anaknya terlalu manja apabila selalu dipenuhi setiap permintaanya. Maka orang tua mulai memberlakukan peraturan terhadap anak tersebut jika ingin mendapatkan barang atau sesuatu yang diinginkannya. Saat di rumah anak mengikuti aturan dari orang tuanya, tetapi ketika di sekolah anak meminta sesuatu kepada guru dan harus dipenuhi kadang teman-teman harus mengikuti aturan anak ini. Apabila tidak dipenuhi maka anak akan mengamuk dan marah-marah.
Faktor lain yang menjadi penyebab anak tantrum adalah ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan. Di sekolah anak ini berusaha untuk bersosialisasi dengan teman-temannya saat bermain maupun saat belajar. Tetapi sering memaksakan keinginannya kepada teman yang lain misal, teman harus menurut apa yang dia kehendaki, harus selalu mendapat yang terbaik. Dia menyamakan perilaku ketika di rumah dia selalu mendapat apa yang dia kehendaki. Akibatnya teman-teman sering menolak untuk bermain bersama dan ini membuat anak tersebut merasa marah. Ketika marah dia tidak mau menceritakan kepada teman atau pun guru apa yang di kehendaki, hanya mengekspresikan dengan mengamuk dan menangis. Faktor lain juga yang menjadi penyebab tantrum pada anak adalah perasaan lelah, lapar, atau sakit. Maka dapat disimpulkan faktor penyebab anak mengalami temper tantrum antara  lain:  (1)  Faktor  fisiologis,  yaitu  lelah,  lapar  atau  sakit;  (2)  Faktor psikologis, antara lain anak mengalami kegagalan, dan orangtua yang terlalu menuntut anak sesuai harapan orangtua; (3) Faktor orangtua, yakni pola asuh; (4) Faktor lingkungan, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan luar rumah.
            Salah satu faktor penyebab tantrum adalah pola asuh orang tua yang berbeda dan tidak konsisten. Aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Studi tentang hubungan orang tua dan anak yang dilakukan oleh Baumrind (Santrock, 2007) bahwa ada tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoritatif, otoriter, dan permisif.
Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan. Anak-anak dengan pola asuh otoritatif cenderung lebih percaya diri, mudah bersosialisasi, dan mampu bergaul baik dengan teman-teman sebayanya. Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah dari orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengemukakan pendapat, cenderung bersikap sewenang-wenang dan tidak demokratis dalam membuat keputusan, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, dan susah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Pengasuhan permisif (permissive parenting) adalah gaya asuh yang mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa, diberi kelonggaran untuk melakukan hal yang dikehendaki (Soetjiningsih, 2012). Anak dengan pola asuh permisif kurang mampu dalam pengendalian diri, karena orang tua yang permisif cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya anak-anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan agar semua kemauannya dituruti. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi temper tantrum adalah melalui pendekatan behavioristik. Perspektif behavioral menekankan pada stimulus diterima oleh individu atau individu kemudian akan muncul respon baik itu positif maupun negatif (Djiwandono, 2006: 129). Temper tantrum merupakan respon yang muncul berupa tingkah laku berdasarkan stimulus secara internal maupun eksternal individu.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada studi kasus ini ialah dengan metode penelitian kualitatif dengan mempergunakan teknik observasi dan wawancara pada subyek tunggal yaitu anak usia 5 tahun, duduk di taman kanak-kanak. Metode obervasi yang dilakukan yaitu observasi partisipan sebagai guru di taman kanak-kanak tersebut. Wawancara dilakukan dengan orang tua dari anak tersebut, yaitu pada ayah dan ibunya. 

Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada studi kasus ini menunjukkan bahwa subjek penelitian mengalami temper tantrum yang disebabkan oleh faktor orang tua, yakni pola asuh. Hal ini dikarenakan anak diasuh tidak hanya oleh keluarga inti yaitu ayah dan ibu, melainkan juga diasuh oleh nenek dan kakeknya, serta gurunya saat disekolah. Peran pengasuhan dalam hal ini dilakukan oleh tiga elemen penting yaitu orang tua, guru serta keluarga lain yaitu nenek dan kakek, dimana ketiga elemen tersebut tidak sinergi atau tidak konsisten dalam mengasuh anak tersebut. Orang tua menerapkan pola asuh otoritatif yaitu salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pola asuh berbeda dilakukan oleh keluarga lain dalam hal ini nenek yang membantu mengasuh anak saat orang tua bekerja.
Nenek cenderung menuruti semua kemauan dan keinginan anak, kebiasaan yang dilakukan oleh nenek ketika di rumah pada anak tersebut salah satunya selalu memenuhi permintaan anak tentang makanan yang berlebihan. Sang anak selalu meminta makanan lebih banyak jumlahnya dan harus dituruti saat itu juga. Saat di sekolah, kebiasaan tersebut di bawa oleh anak dan sang anak menghendaki perlakuan yang sama dari guru di sekolah. Ketika anak tersebut lapar, dia selalu meminta makan atau snack kepada guru dengan jumlah lebih dari satu. Guru di sekolah konsisten tidak memberikan makanan lebih dari satu dan memberi pengertian pada anak tersebut untuk berbagi dengan temannya. Tetapi sang anak tidak mau dan merasa kesal karena keinginannya tidak dipenuhi oleh guru akhirnya dia mengamuk dan tantrum di sekolah. Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif yang konsisten dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar keluarga inti yaitu nenek dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu pengelolaan emosi pada anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi temper tantrum pada anak usia taman kanak-kanak.  

Pembahasan
Hampir setiap anak mengalami temper tantrum dan pada umumnya hal ini terjadi pada hampir seluruh periode awal masa kanak-kanak (Hurlock, 1998: 114). Temper tantrum sering terjadi karena anak merasa frustasi dengan keadaannya, sedangkan ia tidak mampu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yang diinginkannya (Hasan, 2011: 187). Pada kasus ini, anak sering mengalami tantrum di sekolah karena hal-hal sepele yang menjadi pemicunya, misal meminta alat tulis yang bagus dan tidak mau memakai alat tulisnya sendiri karena sudah rusak, mendapat antrian bukan yang pertama juga sering menjadikan anak ini marah dan tantrum. Ketika anak mengalami tantrum dia selalu mengamuk dan membuang serta merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Kadang teman-temannya juga menjadi sasaran lemparan barang tersebut. Apabila temanya sudah pergi menghindar, anak ini mulai memukul-mukul dirinya sendiri bahkan sering lari keluar dari pintu halaman. Dia kadang berusaha lari keluar ke jalan raya dan bilang ingin pulang.
Pola asuh yang berbeda antara orang tua, keluarga dekat dengan sekolah menjadi faktor penyebab tantrum yang ketiga. Anak yang terlalu dimanjakan oleh orang tuanya dan mendapat apa yang diinginkan akan melakukan tantrum ketika suatu saat keinginan anak tersebut tidak terpenuhi. Dalam kasus ini ada hal yang menarik, ketika di rumah, orang tuanya sudah menerapkan peraturan dan kesepakatan dengan anak, perilaku yang konsisten terhadap anak juga sudah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut jarang melakukan tantrum apabila dirumah orang tuanya. Keseharian orang tua anak tersebut adalah bekerja dari pagi sampai sore bahkan sering pulang malam, sehingga intensitas bertemu dengan anak sangat terbatas. Setelah pulang dari sekolah anak tersebut berada di rumah nenek sampai orang tuanya menjemput ketika pulang kerja. Konsistensi perilaku tidak diterapkan oleh nenek terhadap anak tersebut. Karena nenek mempunyai kegiatan lain, anak selalu di beri apa yang diinginkan supaya anak tidak rewel atau mengganggu kegiatan nenek. Dari perbedaan pola asuh ini membuat anak bingung untuk menuruti aturan dari siapa. Sudah bisa dipastikan anak akan menuruti bahkan cenderung memilih nenek karena ketika bersama nenek sang anak merasa senang, semua keinginannya terpenuhi dan bisa melakukan apapun sesuai dengan keinginannya. Saat anak agak lama tinggal bersama nenek, ketika pulang kerumah orang tuanya sikap dan perilakunya sudah berbeda, menjadi kolokan, sering marah apabila permintaannya tidak dipenuhi. Jadi orang tua harus membuat kesepakatan dan aturan dengan anak mulai dari awal lagi.
Hasil kunjungan guru ke rumah anak dalam kasus ini menemukan beberapa hal yang menjadikan anak sering mengalami tantrum hanya di sekolah. Pola asuh dari orang tua yang sudah bagus dan berkomitmen dengan anak berbeda dengan pola asuh yang diberikan oleh nenek yang menerapkan pola asuh permisif kepada anak. Dalam keseharian anak lebih sering tinggal dengan nenek karena orang tua bekerja sampai malam. Anak merasa bingung dengan perilaku yang dia peroleh antara orang tua dan nenek. Ketika di sekolah, anak berfikir akan mendapat perhatian dan perlakuan yang sama dengan yang diberikan oleh sang nenek yaitu pengasuhan permisif yang dirasa anak lebih nyaman bagi dirinya. Tetapi guru di sekolah menerapkan sikap dan perilaku yang konsisten terhadap semua siswa tanpa terkecuali. Anak merasa diabaikan oleh guru ketika keinginannya tidak terpenuhi, dan sering mengamuk untuk melampiaskan kekesalannya. Pola asuh otoritatif merupakan model pola asuh yang paling ideal dalam pendidikan anak. Anak akan semakin termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya kepercayaan diri yang diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung jawab.
Strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantrum yaitu pada anak yaitu, pertama mengurangi stress pada anak dengan mengantisipasi sebelum anak stress. Ketika anak mulai bosan dengan kegiatan dan terlihat capek, maka sebaiknya menghentikan kegiatan tersebut dan istirahat sebentar. Apabila tetap dipaksakan untuk mengajak anak mengerjakan kegiatan ini, anak menolak bahkan memberikan perlawanan dengan membuang alat tulis atau marah-marah. Jadi sebelum anak menunjukkan tanda-tanda tantrum yang diawali dengan marah-marah seharusnya kita bisa lebih peka dengan situasi dan kondisi anak dan membuat suasana yang bisa merubah anak menjadi lebih nyaman. Kita harus bisa lebih peka dan menghargai perasaan anak dan tidak memaksakan kehendak kita kepada sang anak.
Cara yang kedua kita harus tetap tenang saat menghadapi anak yang tantrum. Jangan sampai kita tersulut emosi ketika menghadapi anak tantrum sehingga kita memarahi anak tersebut. Saat kita marah atau berlaku keras terhadap anak yang sedang tantrum maka anak tersebut akan semakin mengamuk. Dalam kasus ini ketika di sekolah anak mengalami tantrum kadang pengajar atau guru tidak sabar menghadapi anak tersebut dan ikut memarahinya sehingga tantrum  anak akan semakin hebat. Saat anak mengamuk cenderung akan mengganggu teman yang ada disekitarnya. Ketika anak tidak reda tantrumnya dan semakin bertambah hebat, maka salah seorang guru langsung memeluk anak tersebut dan mencoba menenangkannya. Awalnya anak semakin meronta karena merasa dibatasi keinginannya oleh pelukan gurunya yang erat, tetapi lama kelamaan anak akan merasa tenang karena selain memeluk anak tersebut guru juga membisikkan kata-kata yang menenangkan anak. Seorang anak akan lebih peka terhadap orang disekitarnya, dan akan merasa lebih tenang saat merasa ada yang tulus terhadap dirinya. Pelukan dan kata-kata yang berasal dari guru dirasakan anak sebagai ketulusan untuk dirinya.
Guru mempunyai cara tersendiri untuk mengalihkan perhatian anak supaya tidak tantrum. Karena anak suka menggambar maka saat anak sudah tenang guru mengajaknya menggambar. Ketika menggambar anak lebih terbuka dan bercerita tentang gambarnya. Dalam kasus ini anak tidak mau bercerita dan terbuka dengan semua guru, hanya dengan guru tertentu yang dia rasa nyaman saja sang anak mau bercerita. Sambil menggambar dengan anak,  guru tersebut bercerita tentang gambar yang dibuat, sang anak pun terpancing untuk bercerita juga karena merasa nyaman dengan guru tersebut. Anak secara tidak sadar menceritakan kenapa dia sampai marah dan mengamuk. Saat seperti inilah guru memberikan nasehat kepada anak untuk lebih bisa mengendalikan emosinya, tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak. Nasehat disampaikan oleh guru tidak hanya sekali tetapi berkali-kali dengan cara yang berbeda. Bahkan guru membuat kesepakatan dengan anak apabila sang anak bisa mengendalikan emosinya atau perilaku mengamuknya, guru akan memberikan reward kepada anak. Anak semakin termotivasi dengan kesepakatan tersebut karena anak juga merasa dihargai oleh guru dan orang disekitarnya. Karena cara ini disampaikan berkali-kali terhadap anak, hasilnya bisa dilihat ketika anak mulai terpancing dengan hal yang menyebabkan tantrum dan melihat guru yang telah membuat kesepakatan tersebut maka anak akan langsung teringat dengan reward atau kesepakatan yang sudah dibuat dan hal ini bisa mengingatkan serta mengendalikan anak untuk tidak marah dan mengamuk.
Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Suzanti, Riyani, Istiqomah, & Ihtiar (2014), menunjukkan bahwa mengambar berupa finger painting, merupakan cara yang efektif dalam menurunkan perilaku temper tantrum pada anak. Melalui finger painting anak dapat mengekspresikan perasaan dengan gambar, melalui sentuhan tangan dapat merangsang hormon endorphin yang dapat memberikan ketenangan dan melalui berbagai warna diharapkan anak dapat lebih rileks.
Temper tantrum merupakan sebuah pola perilaku interaktif bukan sekedar reaktif, sehingga anak-anak ketika melakukan tantrum, hampir sebagian besar terjadi  saat  di  tempat-tempat  keramaian,  atau  setidaknya  anak  membutuhkan orang lain untuk menyaksikan perilaku tantrumnya. Sehingga saat sedang sendiri, walaupun anak  dalam keadaan kesal atau marah, anak  tidak  akan melakukan tantrum. Pola asuh orang tua merupakan kunci pembentukan kepribadian dan emosi anak. Hal tersebut senada dengan ungkapan Kartono (1991: 14) bahwa proses muncul dan terbentuknya temper tantrum biasanya berlangsung di luar kesadaran anak. Temper tantrum sering terjadi pada anak yang terlalu sering diberi hati, dicemaskan dan terlalu dilindungi oleh orang tuanya. Meskipun dalam teori menjelakan bahwasannya antara model pola asuh yang satu dengan model pola asuh yang lain memiliki batasan yang jelas. Pada kenyataannya orang tua kesulitan untuk menggunakan salah satu pola asuh saja misalnya hanya menerapkan pola asuh otoritatif, sebab untuk mendidik anak berkaitan dengan hal hal yang prinsip dan tidak bisa ditawar-tawar lagi seperti penanaman norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, penanaman ajaran-ajaran keagamaan maupun yang lainnya.

Kesimpulan
Kesimpulan studi kasus ini ialah pola asuh otoritatif yang konsisten dari orang tua serta guru dan keluarga lain yang membantu mengasuh anak, akan membuat anak dapat mengendalikan emosinya sehingga dapat mencegah munculnya perilaku tantrum pada anak. Pola asuh antara guru serta orang tua berpengaruh besar terhadap terjadinya tantrum pada anak. Pola asuh dan konsistensi dari orang tua serta guru akan menimbulkan kesadaran pada anak untuk lebih bisa mengendalikan emosi diri anak sendiri. Kesadaran yang timbul dari diri anak akan berpengaruh besar terhadap perilaku yang dimunculkan oleh anak tersebut. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penting bagi orang tua bersikap benar dalam merespon perilaku anak. Pola pengasuhan yang penuh kehangatan dan cinta kasih, tetapi pada saat yang bersamaan pula menciptakan sebuah struktur dan batas yang jelas merupakan hal yang  penting  untuk  mengatasi  anak  yang  berkeinginan  kuat  dan  mengurangi temper tantrum. Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif yang konsisten dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar keluarga inti yaitu nenek dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu pengelolaan emosi pada anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi temper tantrum pada anak usia taman kanak-kanak. 

Daftar Pustaka

Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. (2006).  Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia.

Hasan, Maimunah. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini. Yogjakarta: Diva Press.

Hurlock, E.B. (1998). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
  
Hurlock, E.B. (2010). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Hurlock, E.B. (2010). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Kartono, Kartini. (1991). Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah. Jakarta: CV. Rajawali.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi kesebelas jilid 1. Jakarta : Erlangga

Suzanti, M. W., Riyani, E., Istiqomah, A., & Ihtiar, C. 2014. Efektivitas Finger Painting untuk menurunkan perilaku temper tantrum pada anak KB PK Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Anak , Volume III, Edisi 1, 460-466.

Soetjiningsih, Christiana Hari. (2012). Perkembangan Anak. Jakarta: Prenada Media Group.

Tandry, N. (2010). Bad Behaviour, Tantrums and Tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.



Suggested citation


Asih, T.W.,Harahap, D.H., Shinta, A., & Mahmudah, S. (2016). Studi Kasus Pengelolaan Emosi Pada Anak Tantrum di Taman Kanak-Kanak. Prosiding Seminar Nasional & Call For Paper “ Moral Integrity Based On Family”. 28 Mei 2016. Malang : Press Unmer, Fakultas Psikologi Universitas Merdeka.


0 komentar:

Posting Komentar