Studi Kasus Pengelolaan Emosi Pada Anak Tantrum Di Taman Kanak-Kanak
Tri Welas Asih1), Dewi H. Harahap1), Siti Mahmudah2) & Arundati Shinta1)
1) Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta, 2) Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
triasih12@ymail.com
Abstrak
Tantrum adalah letupan emosi yang meledak-ledak pada
anak yang ditampakkan dalam perilaku agresif. Perilaku tantrum ini lazim
terjadi pada anak usia 1-3 tahun, dan pada usia 4 tahun biasanya tantrum ini
mereda. Tantrum ini adalah tahap anak belajar tentang kontrol diri. Contoh
perilaku tantrum antara lain berteriak, menendang, memukul, bahkan menyakiti
diri sendiri. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui cara menangani
perilaku tantrum pada anak usia taman kanak-kanak. Manfaat dari studi kasus ini
agar orangtua dan guru sebagai lingkungan disekitar anak mampu mendeteksi dan
menangani perilaku tantrum yang muncul dari anak.
Hasil studi kasus
menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif
yang konsisten dari orang tua dan guru serta orang lain diluar keluarga inti
seperti nenek dan kakek mampu membantu pengelolaan emosi pada anak sehingga
dapat menjadi salah satu cara dalam mengatasi tantrum. Pola asuh otoritatif adalah salah satu gaya
pengaasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku
anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati
pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan.
Metode penelitian yang
digunakan pada studi kasus ini ialah dengan metode observasi dan wawancara pada
subyek tunggal yaitu anak pada usia taman kanak-kanak. Kesimpulan studi kasus
ini ialah pola asuh otoritatif yang konsisten dari orang tua serta guru dan
keluarga lain yang membantu mengasuh anak, akan membuat anak dapat mengendalikan
emosinya sehingga dapat mencegah munculnya perilaku tantrum pada anak.
Kata-kata kunci: Pengelolaan Emosi, Tantrum, Anak.
Pendahuluan
Anak
usia dini adalah sosok individu yang unik yang berada pada rentang usia 0-6
tahun. Pada masa ini anak berada di periode keemasan atau golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang (Dariyo, 2004). Anak
pada usia sekolah di taman kanak-kanak berada pada rentang usia 4-6 tahun. Pada
masa itu anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa
kecewa saat apa yang dikehendaki tidak
dapat terpenuhi. Rasa kecewa,
marah, sedih dan
sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun
seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak.
Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara
berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan
anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika
hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbul tumpukan emosi. Tumpukan
emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai
temper tantrum.
Temper tantrum adalah
ledakan emosi yang kuat yang terjadi ketika anak balita merasa lepas kendali.
Tantrum adalah demonstrasi praktis dari apa yang dirasakan oleh anak dalam
dirinya. Ketika orang-orang membicarakan tantrum, biasanya hanya mengenai satu
hal spesifik, yaitu kemarahan yang dilakukan oleh anak kecil. Hampir semua
tantrum terjadi ketika anak sedang bersama orang yang paling dicintainya.
Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk pada usia 18 bulan hingga
tiga tahun, dan kadang masih ditemui pada anak usia lima atau enam tahun, namun hal
tersebut sangat tidak
biasa dan secara
bertahap akan menghilang. Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua
yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada
saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan
salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi
yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana
bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan
orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Perkembangan
anak berlangsung secara berkesinambungan yang dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Setiap membicarakan perkembangan anak pasti tidak lepas dari
peran keluarga. Keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak dan
sangat mempengaruhi proses perkembangan pada anak tersebut. Pola asuh keluarga
terhadap anak juga sangat menentukan perkembangan anak. Melalui keluarga, anak
mulai belajar mengenal dirinya sendiri dan orang lain serta belajar mengelola
emosinya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak terdiri dari beberapa aspek.
Salah satu perkembangan yang penting adalah perkembangan aspek sosial
emosional. Salah satu ekspresi emosi dalam kehidupan sosial pada anak adalah
tantrum. Studi kasus ini adalah pembahasan tentang anak yang jarang/ tidak pernah
tantrum di rumah, namun sering menampakkan tantrum di sekolah taman
kanak-kanak. Dalam banyak literatur psikologi perkembangan, tantrum sering
ditampakkan anak baik di rumah maupun di sekolah.
Temuan yang diperoleh adalah guru ternyata sudah
konsisten dalam mendidik dan sabar dalam menghadapi anak tantrum. Anak hanya
tantrum di sekolah saja berarti ia tidak dapat mengelola emosi ketika harus
berhadapan dengan teman sebaya. Hasil visitasi guru di rumah, ternyata cara
orangtua mendidik anak sudah konsisten. Anak menjadi mampu mengatur emosinya
karena ia tahu bahwa orangtuanya konsisten dalam mendidik dan tidak bisa
ditawar lagi. Pendidikan yang sudah bagus tersebut menjadi berantakan karena
anak sering dititipkan pada neneknya, yang mempunyai pola pendidikan permisif.
Anak dititipkan karena kedua orangtuanya bekerja sampai malam. Perbedaan pola
asuh ini menyebabkan anak bingung, terutama ketika berhadapan dengan teman sebaya.
Teman sebayanya tidak mau diperlakukan seenaknya, sehingga ia frustrasi. Anak
tidak mampu mengendalikan emosinya. Cara mengatasi anak tantrum tersebut adalah
dengan terus memeluknya sampai emosinya reda. Dalam hal ini memang dibutuhkan
guru yang kuat fisiknya. Hal ini dilakukan karena ia cenderung mengganggu
anak-anak lainnya. Setelah reda emosinya, anak kemudian diajak berbicara dengan
sabar. Anak diminta untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kesempatan itu guru
berkesempatan untuk menasehatinya, agar ia lebih toleran pada teman sebayanya.
Untuk orangtua, guru hendaknya selalu mengingatkan pentingnya konsistensi
perilaku, baik di rumah orangtua maupun nenek. Konsistensi perilaku akan
membuat anak lebih bisa mengendalikan emosinya pada masa yang akan datang,
sehingga ia tidak menjadi orang yang impulsif.
Landasan Teori
Temper
tantrum adalah ekspresi dari kemarahan dan frustasi yang ekstrim, yang tampak
seperti kehilangan kendali seperti dicirikan berperilaku menangis, berteriak,
mengamuk, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang barang,
berguling di lantai , membenturkan kepala, dan menghentakkan kaki ke lantai.
Dalam kasus tertentu, ada pula anak yang sampai menendang dan memukul orang
yang berada di sekitarnya (Tandry, 2010). Temper
tantrum merupakan luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol.
Kejadian ini seringkali muncul pada anak usia 15 bulan sampai 5 tahun.
Tantrum terjadi pada
anak yang aktif
dengan energi yang
melimpah (Hasan, 2011: 185). Selain itu, menurut Hurlock (1998: 115), temper
tantrum adalah ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat dan iri hati yang
tidak masuk akal. Hal ini tampak mencolok pada anak-anak usia 2,5 sampai 3,5
dan 5,5 sampai 6,5 tahun. Ledakan amarah mencapai puncaknya antara usia dua dan
empat tahun, setelah itu amarah berlangsung tidak terlampau lama.
Faktor-faktor penyebab
terjadinya temper tantrum menurut Hasan (2011: 187); (1) Terhalangnya keinginan
untuk mendapatkan sesuatu; (2) Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri; (3)
Tidak terpenuhinya kebutuhan; (4) Pola asuh orang tua.; (5) Anak merasa lelah,
lapar atau dalam keadaan sakit yang dapat menyebabkan anak menjadi rewel; (6)
Anak sedang stress dan merasa tidak aman. Sedangkan menurut Setiawani
(2000:133), beberapa penyebab temper tantrum adalah; (1) Masalah keluarga,
keluarga yang tidak harmonis akan membuat anak kehilangan kehangatan keluarga,
yang dapat mengganggu kestabilan jiwa anak; (2) Anak yang dimanja akan membuat
anak dapat memanfaatkan orang tuanya; (3) Anak yang kurang tidur, kelelahan,
memiliki tubuh dan keadaan fisik yang lemah akan membuatnya cepat marah.; (4)
Masalah kesehatan, ketika anak mengalami kurang enak badan, ada masalah
kesehatan atau tubuh cacat, semua yang mempengaruhi kekuatan pengendalian dirinya,
atau hal yang tidak sesuai dengan
dirinya, akan mudah
membuat anak marah;
(5) Masalah makanan, beberapa makanan dapat membuat anak
peka atau alergi yang membuat anak menjadi kehilangan kekuatan untuk
mengendalikan diri, seperti makanan
yang mengandung zat pewarna atau pengawet, dan coklat; (6) Kekecewaan, saat
anak menyadari keterbatasan kemampuan dirinya dalam menyatakan keinginannya dan
tidak dapat melakukan sesuatu hal,
membuat anak mudah marah; (7) Meniru orang dewasa, ketika melihat ada orang
dewasa yang tidak dapat menyelesaikan atau menghadapi kesulitan, lalu
marah-marah, ditambah di rumah orang tua dan di sekolah guru juga mudah marah,
akan membuat anak meniru mereka menjadi anak yang mudah marah.
Menurut Hurlock (2010:
222) situasi yang menimbulkan temper tantrum antara lain; (1) Rintangan
terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain
atau dari ketidakmampuan diri sendiri, (2) Rintangan terhadap aktivitas yang
sudah mulain berjalan, (3) Rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang
ingin dilakukan anak.
Hal pertama
yang menyebabkan terjadinya tantrum adalah keinginan anak yang tidak terpenuhi.
Awalnya orang tua dari anak tersebut selalu memberikan apapun yang di minta
oleh anaknya bahkan di beri lebih dari satu jumlahnya. Selang beberapa waktu
orang tua mulai membatasi memenuhi permintaan anak tersebut karena orang tua
tidak ingin anaknya terlalu manja apabila selalu dipenuhi setiap permintaanya.
Maka orang tua mulai memberlakukan peraturan terhadap anak tersebut jika ingin
mendapatkan barang atau sesuatu yang diinginkannya. Saat di rumah anak
mengikuti aturan dari orang tuanya, tetapi ketika di sekolah anak meminta
sesuatu kepada guru dan harus dipenuhi kadang teman-teman harus mengikuti aturan
anak ini. Apabila tidak dipenuhi maka anak akan mengamuk dan marah-marah.
Faktor
lain yang menjadi penyebab anak tantrum adalah ketidakmampuan anak untuk
mengungkapkan perasaan. Di sekolah anak ini berusaha untuk bersosialisasi
dengan teman-temannya saat bermain maupun saat belajar. Tetapi sering
memaksakan keinginannya kepada teman yang lain misal, teman harus menurut apa
yang dia kehendaki, harus selalu mendapat yang terbaik. Dia menyamakan perilaku
ketika di rumah dia selalu mendapat apa yang dia kehendaki. Akibatnya
teman-teman sering menolak untuk bermain bersama dan ini membuat anak tersebut
merasa marah. Ketika marah dia tidak mau menceritakan kepada teman atau pun
guru apa yang di kehendaki, hanya mengekspresikan dengan mengamuk dan menangis.
Faktor lain juga yang menjadi penyebab tantrum pada anak adalah perasaan lelah,
lapar, atau sakit. Maka dapat disimpulkan faktor penyebab
anak mengalami temper tantrum antara
lain: (1) Faktor
fisiologis, yaitu lelah,
lapar atau sakit;
(2) Faktor psikologis, antara
lain anak mengalami kegagalan, dan orangtua yang terlalu menuntut anak sesuai
harapan orangtua; (3) Faktor orangtua, yakni pola asuh; (4) Faktor lingkungan,
yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan luar rumah.
Salah
satu faktor penyebab tantrum adalah pola asuh orang tua yang berbeda dan tidak
konsisten. Aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya
pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Studi tentang hubungan orang tua dan
anak yang dilakukan oleh Baumrind (Santrock, 2007) bahwa ada tiga tipe
pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial
anak, yaitu otoritatif, otoriter, dan permisif.
Pengasuhan
otoritatif (authoritative parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang
memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi
orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran,
perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan. Anak-anak
dengan pola asuh otoritatif cenderung lebih percaya diri, mudah bersosialisasi,
dan mampu bergaul baik dengan teman-teman sebayanya. Pengasuhan otoriter
(authoritarian parenting) adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan
menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah dari orang tua. Orang tua yang otoriter
menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi
anak-anak untuk mengemukakan pendapat, cenderung bersikap sewenang-wenang dan
tidak demokratis dalam membuat keputusan, serta kurang menghargai pemikiran dan
perasaan anak. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada
orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung
berhubungan dengan teman sebaya, dan susah menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru. Pengasuhan permisif (permissive parenting) adalah gaya asuh yang
mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa, diberi
kelonggaran untuk melakukan hal yang dikehendaki (Soetjiningsih, 2012). Anak dengan pola asuh permisif kurang mampu
dalam pengendalian diri, karena orang tua yang permisif cenderung membiarkan
anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya
anak-anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu
mengharapkan agar semua kemauannya dituruti. Beberapa langkah yang dapat
dilakukan untuk mengatasi temper tantrum adalah melalui pendekatan
behavioristik. Perspektif behavioral menekankan pada stimulus diterima oleh
individu atau individu kemudian akan muncul respon baik itu positif maupun
negatif (Djiwandono, 2006: 129). Temper tantrum merupakan respon yang muncul
berupa tingkah laku berdasarkan stimulus secara internal maupun eksternal
individu.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan pada studi kasus ini ialah dengan metode penelitian
kualitatif dengan mempergunakan teknik observasi dan wawancara pada subyek
tunggal yaitu anak usia 5 tahun, duduk di taman kanak-kanak. Metode obervasi
yang dilakukan yaitu observasi partisipan sebagai guru di taman kanak-kanak
tersebut. Wawancara dilakukan dengan orang tua dari anak tersebut, yaitu pada
ayah dan ibunya.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian
pada studi kasus ini menunjukkan bahwa subjek penelitian mengalami temper
tantrum yang disebabkan oleh faktor orang tua, yakni pola asuh. Hal ini
dikarenakan anak diasuh tidak hanya oleh keluarga inti yaitu ayah dan ibu,
melainkan juga diasuh oleh nenek dan kakeknya, serta gurunya saat disekolah.
Peran pengasuhan dalam hal ini dilakukan oleh tiga elemen penting yaitu orang
tua, guru serta keluarga lain yaitu nenek dan kakek, dimana ketiga elemen
tersebut tidak sinergi atau tidak konsisten dalam mengasuh anak tersebut. Orang
tua menerapkan pola asuh otoritatif yaitu
salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap
tingkah laku anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai
dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan pola asuh berbeda dilakukan oleh keluarga lain
dalam hal ini nenek yang membantu mengasuh anak saat orang tua bekerja.
Nenek
cenderung menuruti semua kemauan dan keinginan anak, kebiasaan yang dilakukan
oleh nenek ketika di rumah pada anak tersebut salah satunya selalu memenuhi
permintaan anak tentang makanan yang berlebihan. Sang anak selalu meminta
makanan lebih banyak jumlahnya dan harus dituruti saat itu juga. Saat di
sekolah, kebiasaan tersebut di bawa oleh anak dan sang anak menghendaki
perlakuan yang sama dari guru di sekolah. Ketika anak tersebut lapar, dia
selalu meminta makan atau snack kepada guru dengan jumlah lebih dari satu. Guru
di sekolah konsisten tidak memberikan makanan lebih dari satu dan memberi
pengertian pada anak tersebut untuk berbagi dengan temannya. Tetapi sang anak
tidak mau dan merasa kesal karena keinginannya tidak dipenuhi oleh guru
akhirnya dia mengamuk dan tantrum di sekolah. Maka berdasarkan penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif
yang konsisten dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar
keluarga inti yaitu nenek dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu
pengelolaan emosi pada anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam
mengatasi temper tantrum pada anak usia taman kanak-kanak.
Pembahasan
Hampir setiap anak
mengalami temper tantrum dan pada umumnya hal ini terjadi pada hampir seluruh
periode awal masa kanak-kanak (Hurlock, 1998: 114). Temper tantrum sering
terjadi karena anak merasa frustasi dengan keadaannya, sedangkan ia tidak mampu
mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yang diinginkannya (Hasan,
2011: 187). Pada kasus ini, anak sering
mengalami tantrum di sekolah karena hal-hal sepele yang menjadi pemicunya,
misal meminta alat tulis yang bagus dan tidak mau memakai alat tulisnya sendiri
karena sudah rusak, mendapat antrian bukan yang pertama juga sering menjadikan
anak ini marah dan tantrum. Ketika anak mengalami tantrum dia selalu mengamuk
dan membuang serta merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Kadang
teman-temannya juga menjadi sasaran lemparan barang tersebut. Apabila temanya sudah
pergi menghindar, anak ini mulai memukul-mukul dirinya sendiri bahkan sering
lari keluar dari pintu halaman. Dia kadang berusaha lari keluar ke jalan raya
dan bilang ingin pulang.
Pola
asuh yang berbeda antara orang tua, keluarga dekat dengan sekolah menjadi
faktor penyebab tantrum yang ketiga. Anak yang terlalu dimanjakan oleh orang
tuanya dan mendapat apa yang diinginkan akan melakukan tantrum ketika suatu
saat keinginan anak tersebut tidak terpenuhi. Dalam kasus ini ada hal yang
menarik, ketika di rumah, orang tuanya sudah menerapkan peraturan dan
kesepakatan dengan anak, perilaku yang konsisten terhadap anak juga sudah
dilakukan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut jarang melakukan tantrum
apabila dirumah orang tuanya. Keseharian orang tua anak tersebut adalah bekerja
dari pagi sampai sore bahkan sering pulang malam, sehingga intensitas bertemu
dengan anak sangat terbatas. Setelah pulang dari sekolah anak tersebut berada
di rumah nenek sampai orang tuanya menjemput ketika pulang kerja. Konsistensi perilaku
tidak diterapkan oleh nenek terhadap anak tersebut. Karena nenek mempunyai
kegiatan lain, anak selalu di beri apa yang diinginkan supaya anak tidak rewel
atau mengganggu kegiatan nenek. Dari perbedaan pola asuh ini membuat anak
bingung untuk menuruti aturan dari siapa. Sudah bisa dipastikan anak akan
menuruti bahkan cenderung memilih nenek karena ketika bersama nenek sang anak
merasa senang, semua keinginannya terpenuhi dan bisa melakukan apapun sesuai
dengan keinginannya. Saat anak agak lama tinggal bersama nenek, ketika pulang
kerumah orang tuanya sikap dan perilakunya sudah berbeda, menjadi kolokan,
sering marah apabila permintaannya tidak dipenuhi. Jadi orang tua harus membuat
kesepakatan dan aturan dengan anak mulai dari awal lagi.
Hasil
kunjungan guru ke rumah anak dalam kasus ini menemukan beberapa hal yang
menjadikan anak sering mengalami tantrum hanya di sekolah. Pola asuh dari orang
tua yang sudah bagus dan berkomitmen dengan anak berbeda dengan pola asuh yang
diberikan oleh nenek yang menerapkan pola asuh permisif kepada anak. Dalam
keseharian anak lebih sering tinggal dengan nenek karena orang tua bekerja
sampai malam. Anak merasa bingung dengan perilaku yang dia peroleh antara orang
tua dan nenek. Ketika di sekolah, anak berfikir akan mendapat perhatian dan
perlakuan yang sama dengan yang diberikan oleh sang nenek yaitu pengasuhan
permisif yang dirasa anak lebih nyaman bagi dirinya. Tetapi guru di sekolah
menerapkan sikap dan perilaku yang konsisten terhadap semua siswa tanpa
terkecuali. Anak merasa diabaikan oleh guru ketika keinginannya tidak
terpenuhi, dan sering mengamuk untuk melampiaskan kekesalannya. Pola asuh otoritatif
merupakan model pola asuh yang paling ideal dalam pendidikan anak. Anak akan
semakin termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya kepercayaan diri
yang diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung jawab.
Strategi
yang dilakukan untuk mengatasi tantrum yaitu pada anak yaitu, pertama
mengurangi stress pada anak dengan mengantisipasi sebelum anak stress. Ketika
anak mulai bosan dengan kegiatan dan terlihat capek, maka sebaiknya
menghentikan kegiatan tersebut dan istirahat sebentar. Apabila tetap dipaksakan
untuk mengajak anak mengerjakan kegiatan ini, anak menolak bahkan memberikan
perlawanan dengan membuang alat tulis atau marah-marah. Jadi sebelum anak
menunjukkan tanda-tanda tantrum yang diawali dengan marah-marah seharusnya kita
bisa lebih peka dengan situasi dan kondisi anak dan membuat suasana yang bisa
merubah anak menjadi lebih nyaman. Kita harus bisa lebih peka dan menghargai
perasaan anak dan tidak memaksakan kehendak kita kepada sang anak.
Cara
yang kedua kita harus tetap tenang saat menghadapi anak yang tantrum. Jangan
sampai kita tersulut emosi ketika menghadapi anak tantrum sehingga kita memarahi
anak tersebut. Saat kita marah atau berlaku keras terhadap anak yang sedang
tantrum maka anak tersebut akan semakin mengamuk. Dalam kasus ini ketika di
sekolah anak mengalami tantrum kadang pengajar atau guru tidak sabar menghadapi
anak tersebut dan ikut memarahinya sehingga tantrum anak akan semakin hebat. Saat anak mengamuk
cenderung akan mengganggu teman yang ada disekitarnya. Ketika anak tidak reda
tantrumnya dan semakin bertambah hebat, maka salah seorang guru langsung
memeluk anak tersebut dan mencoba menenangkannya. Awalnya anak semakin meronta
karena merasa dibatasi keinginannya oleh pelukan gurunya yang erat, tetapi lama
kelamaan anak akan merasa tenang karena selain memeluk anak tersebut guru juga
membisikkan kata-kata yang menenangkan anak. Seorang anak akan lebih peka
terhadap orang disekitarnya, dan akan merasa lebih tenang saat merasa ada yang
tulus terhadap dirinya. Pelukan dan kata-kata yang berasal dari guru dirasakan
anak sebagai ketulusan untuk dirinya.
Guru
mempunyai cara tersendiri untuk mengalihkan perhatian anak supaya tidak
tantrum. Karena anak suka menggambar maka saat anak sudah tenang guru
mengajaknya menggambar. Ketika menggambar anak lebih terbuka dan bercerita
tentang gambarnya. Dalam kasus ini anak tidak mau bercerita dan terbuka dengan
semua guru, hanya dengan guru tertentu yang dia rasa nyaman saja sang anak mau
bercerita. Sambil menggambar dengan anak,
guru tersebut bercerita tentang gambar yang dibuat, sang anak pun
terpancing untuk bercerita juga karena merasa nyaman dengan guru tersebut. Anak
secara tidak sadar menceritakan kenapa dia sampai marah dan mengamuk. Saat
seperti inilah guru memberikan nasehat kepada anak untuk lebih bisa
mengendalikan emosinya, tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak.
Nasehat disampaikan oleh guru tidak hanya sekali tetapi berkali-kali dengan
cara yang berbeda. Bahkan guru membuat kesepakatan dengan anak apabila sang
anak bisa mengendalikan emosinya atau perilaku mengamuknya, guru akan
memberikan reward kepada anak. Anak semakin termotivasi dengan kesepakatan
tersebut karena anak juga merasa dihargai oleh guru dan orang disekitarnya.
Karena cara ini disampaikan berkali-kali terhadap anak, hasilnya bisa dilihat
ketika anak mulai terpancing dengan hal yang menyebabkan tantrum dan melihat
guru yang telah membuat kesepakatan tersebut maka anak akan langsung teringat
dengan reward atau kesepakatan yang sudah dibuat dan hal ini bisa mengingatkan
serta mengendalikan anak untuk tidak marah dan mengamuk.
Salah
satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Suzanti, Riyani, Istiqomah, &
Ihtiar (2014), menunjukkan bahwa mengambar berupa finger painting, merupakan cara yang efektif dalam menurunkan
perilaku temper tantrum pada anak. Melalui finger
painting anak dapat mengekspresikan perasaan dengan gambar, melalui
sentuhan tangan dapat merangsang hormon endorphin
yang dapat memberikan ketenangan dan melalui berbagai warna diharapkan anak
dapat lebih rileks.
Temper tantrum
merupakan sebuah pola perilaku interaktif bukan sekedar reaktif, sehingga anak-anak
ketika melakukan tantrum, hampir sebagian besar terjadi saat
di tempat-tempat keramaian,
atau setidaknya anak
membutuhkan orang lain untuk menyaksikan perilaku tantrumnya. Sehingga
saat sedang sendiri, walaupun anak dalam
keadaan kesal atau marah, anak
tidak akan melakukan tantrum.
Pola asuh orang tua merupakan kunci pembentukan kepribadian dan emosi anak. Hal
tersebut senada dengan ungkapan Kartono (1991: 14) bahwa proses muncul dan
terbentuknya temper tantrum biasanya berlangsung di luar kesadaran anak. Temper
tantrum sering terjadi pada anak yang terlalu sering diberi hati, dicemaskan
dan terlalu dilindungi oleh orang tuanya. Meskipun dalam teori menjelakan
bahwasannya antara model pola asuh yang satu dengan model pola asuh yang lain memiliki
batasan yang jelas. Pada kenyataannya orang tua kesulitan untuk menggunakan
salah satu pola asuh saja misalnya hanya menerapkan pola asuh otoritatif, sebab
untuk mendidik anak berkaitan dengan hal hal yang prinsip dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi seperti penanaman norma-norma atau aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat, penanaman ajaran-ajaran keagamaan maupun yang lainnya.
Kesimpulan
Kesimpulan
studi kasus ini ialah pola asuh otoritatif yang konsisten dari orang tua serta
guru dan keluarga lain yang membantu mengasuh anak, akan membuat anak dapat mengendalikan
emosinya sehingga dapat mencegah munculnya perilaku tantrum pada anak. Pola
asuh antara guru serta orang tua berpengaruh besar terhadap terjadinya tantrum
pada anak. Pola asuh dan konsistensi dari orang tua serta guru akan menimbulkan
kesadaran pada anak untuk lebih bisa mengendalikan emosi diri anak sendiri. Kesadaran
yang timbul dari diri anak akan berpengaruh besar terhadap perilaku yang
dimunculkan oleh anak tersebut. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penting
bagi orang tua bersikap benar dalam merespon perilaku anak. Pola pengasuhan
yang penuh kehangatan dan cinta kasih, tetapi pada saat yang bersamaan pula
menciptakan sebuah struktur dan batas yang jelas merupakan hal yang penting
untuk mengatasi anak
yang berkeinginan kuat
dan mengurangi temper tantrum. Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa pola asuh otoritatif yang
konsisten dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar keluarga
inti yaitu nenek dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu pengelolaan
emosi pada anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi
temper tantrum pada anak usia taman kanak-kanak.
Daftar Pustaka
Dariyo,
Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan
Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Djiwandono,
Sri Esti Wuryani. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT.
Gramedia Widasarana Indonesia.
Hasan,
Maimunah. (2011). Pendidikan Anak Usia
Dini. Yogjakarta: Diva Press.
Hurlock,
E.B. (1998). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Hurlock,
E.B. (2010). Perkembangan Anak Jilid 1.
Jakarta: Erlangga
Hurlock,
E.B. (2010). Perkembangan Anak Jilid 2.
Jakarta: Erlangga
Kartono,
Kartini. (1991). Bimbingan Bagi Anak dan
Remaja yang Bermasalah. Jakarta: CV. Rajawali.
Santrock,
J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi
kesebelas jilid 1. Jakarta : Erlangga
Suzanti, M.
W., Riyani, E., Istiqomah, A., & Ihtiar, C. 2014. Efektivitas Finger
Painting untuk menurunkan perilaku temper tantrum pada anak KB PK Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Anak , Volume III, Edisi 1, 460-466.
Soetjiningsih,
Christiana Hari. (2012). Perkembangan
Anak. Jakarta: Prenada Media Group.
Tandry, N. (2010). Bad
Behaviour, Tantrums and Tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Suggested citation
Asih, T.W.,Harahap, D.H., Shinta, A., & Mahmudah, S.
(2016). Studi Kasus Pengelolaan Emosi Pada Anak Tantrum di Taman Kanak-Kanak. Prosiding Seminar Nasional & Call For
Paper “ Moral Integrity Based On Family”. 28 Mei 2016. Malang : Press
Unmer, Fakultas Psikologi Universitas Merdeka.
0 komentar:
Posting Komentar