Chusnul Rizatul Untsa
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Sampah
selalu identik dengan limbah yang dibuang berbau dan tidak banyak diminati
orang. Namun beda hanya dengan Nuraeni dan suaminya yang tinggal di Linggaswatu
Bandung ini. Bersama suaminya ia tergerak menciptakan inovasi untuk memecahkan
solusi tentang sampah disekitar rumahnya. Ia mendirikan bank sampah pada tahun
2001 yang hanya beranggota 5 orang awalnya. Kini bank sampah yang diberi nama
sabilulungan itu menjadi tumpuan 100 orang disekitarnya.
Jika dahulu
ia hanya bermodal 400.000 kini ia dan suami meraup omzet mencapai 28juta pertahun.
Meski awal kirprahnya ia mendapat cibiran dan cemoohan mereka tidak lantas
surut semangat. Banyak yang menganggap bahwa tidak ada yang bisa diharapkan
dari sampah. Dianggap sulit mendapatkan uang besar dan menjijikkan. Namun setelah
strateginya dan usahanya membesar banyak badan pemerintah yang mendatanginya
untuk memberikan apresiasi.
Setelah itu
mereka mulai mengembangkan sabilulungan itu hingga menjadi lebih besar lagi. Setiap
anggota bahkan bisa meminjam hingga 2juta rupiah, dan mencicilnya menggunakan
sampah. Bahkan untuk menabung bank sampah mereka tidak langsung mendpatkan
uangnya agar ditabung dulu setelah banyak baru diberikan. Hal ini dilakukan
supaya warga m,erasakan keuntungannya dari bank sampah dan tidak langsung
habis.
Buah
manis yang dirasakan warga dari sabilulungan. Uang hasil setoran sampah
dinikmati warga, mulai dari tambahan modal usaha, ongkos mudik Lebaran, hingga
biaya pemasangan air bersih. Jika sebelumnya warga mengandalkan biaya itu semua
melalui rentenir dengan bunga berlipat ganda, sampah menyelamatkan mereka.Bonus lingkungan yang bersih juga muncul di Linggawastu. Gang padat penduduk yang semula kumuh juga kini jauh lebih bersih.
Sumber:
Nugroho R Ariyanto(2016). Anak Sampah
Menjadi Rupiah. Kompas, 16 November
2016, hal 16
0 komentar:
Posting Komentar