“Pagi, Nila”, sapaku pada seorang gadis
cilik di sebelah rumah. Ia terlihat sibuk membenarkan tali sepatunya, sementara
tas ranselnya tergeletak sembarangan di atas dipan. Pasti ia sedang buru-buru.
Mendengar sapaanku ia mendongak sekilas
lalu kembali sibuk dengan tali sepatunya.
“Pagi juga mbak Indi”, jawabnya tanpa
melihatku. Ha. Sepertinya ia benar-benar buru-buru.
“Mau kemana? Pagi-pagi udah rapi bener”,
godaku sambil mesam-mesem. Aku tahu ia pasti kesal mendengar pertanyaanku. Tapi
aku juga tahu ia tidak akan marah hanya karena itu.
Mendengar pertanyaanku, ia kembali
mendongak, menatapku tak percaya kemudian melengos.
“Sekolah lah mbak In”, timpalnya sambil
mendengus.
“Hahaha... iya iya La, mbak tahu”,
ujarku sambil mengedip jahil. “Berangkat dianter siapa, La?”, tanyaku.
“Sendiri, mbak”, jawabnya. Wajahnya
kembali ceria. Sepertinya ia sedang bersemangat sekali untuk ke sekolah.
“Bu, Nila berangkat”, serunya ke dalam
rumah. Dari tempatku berdiri, kulihat seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh
keluar dengan sebotol air minum.
“Minum kamu ketinggalan, dek”, ujar
ibunya.
“Oh, iya”, ujar Nila sembari menepuk
jidatnya. “Masukin sekalian, bu. Hehe”. Sambil cengengesan ia berbalik
memunggungi ibunya.
“Kamu ini”, ujar ibunya sembari
merengut.
Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Jangan mau, Bude”, seruku provokasi.
Mendengar suaraku, bude Umi menoleh
padaku lalu tertawa kecil. Sementara Nila merengut padaku.
“Bersih-bersih, mbak Indi”, sapa bude
Umi padaku. Tangannya dengan cekatan membuka ransel Nila lalu memasukkan botol
air minumnya.
“Iya nih bude. Bebersih, mumpung
berangkat agak siangan”, jawabku. Sementara tanganku meraih pengki yang kutaruh
di dekat pohon belimbing.
“Seharusnya aku sudah selesai dari tadi,
gegara keasyikan menggoda Nila ini”, gerutuku pelan.
“Bu, berangkat dulu,” suara Nila kembali
terdengar.
“Hati-hati. Nanti pulangnya ibu jemput”.
“Oke”.
“Mbak Indi, duluan ya.” Ujar Nila
padaku.
“Hati-hati La. Yang rajin yah. Jangan
ngelamun, perhatiin gurunya”. Nila hanya tertawa sambil mengacungkan kedua
jempol tangannya.
“Mari, bude. Takut nggak selesei-selesei
nih”, ujarku pada bude Umi.
“Sini sekalian juga nggak apa-apa kok
mbak Indi”, gurau bude Umi.
“Ah, bude ini loh, ini aja dari tadi
belum kelar”, timpalku sambil tertawa.
“Ya udah mbak, bude masuk dulu, nanti
ndak kamu tak ajak ngobrol terus. Malah ndak rampung-rampung nyapunya”, kata
bude Umi sambil tertawa.
“Iya, bude”, jawabku, gurauannya
membuatku kembali tertawa.
Setelah bude Umi masuk, aku kembali
meneruskan pekerjaanku. Benar kata bude Umi, bisa-bisa nggak jadi kelar ini
kerjaan.
Memandang tumpukan kertas di atas meja,
ingatanku melayang pada percakapanku dengan Nila tadi pagi. Menyapu sembari menggoda
Nila memang menyenangkan. Gadis kecil itu kini duduk di bangku SMP. Sebenarnya keinginannya
untuk melanjutkan ke jenjang SMP tak diizinkan oleh kedua orangtuanya. Namun,
semangatnya yang kekeuh ingin tetap melanjutkan, membuat kedua orangtuanya
luluh dan mengizinkan ia untuk melanjutkan sekolah. Semangatnya benar-benar
melebihi ukuran tubuhnya. Ya, karena sakit yang ia derita, tubuhnya tidak
tumbuh dengan sempurna seperti anak-anak kebanyakan. Ia tetap mungil.
Memang jarak rumahnya dengan sekolah tak
begitu jauh, namun dengan kondisinya yang tak pernah benar-benar sehat,
keingingannya untuk berangkat sendiri ke sekolah menjadi nilai plus tersendiri
menurutku. Ia sejak bayi sudah divonis menderita jantung bocor, namun aku tak
pernah melihatnya sedih atau terlihat menyesal atas sakit yang ia derita.
Beruntung ia memiliki kakak-kakak yang
begitu menyayanginya. Pernah suatu kali saat ia masih duduk di bangku SD, saat
itu sakitnya kembali kambuh, karena kecapekan pulang sekolah dengan jalan kaki.
Tangan, bibir dan kakinya membiru, keluar keringat dingin, dan batuk-batuk. Karena
sepeda kakaknya rusak, akhirnya si kakak menjemputnya dengan jalan kaki dan
pulangnya ia digendong.
Terkadang aku berpikir, keadilan macam
apa ini. Banyak anak-anak yang memiliki kesempatan dan kondisi yang sehat untuk
dapat belajar sepuas hati mereka, namun mereka malas. Bahkan untuk sekedar
bangun pagi untuk berangkat sekolah saja harus dibangunkan. Seakan-akan sekolah
adalah kebutuhan orangtua mereka. Sedangkan Nila, semangatnya untuk sekolah
membuatku salut, ia yang tak pernah benar-benar sehat bahkan bisa mengalahkan
semangat anak-anak yang lebih beruntung dengan kesehatan mereka. Ya, keadilan
Tuhan memang kadang sulit untuk dimengerti.
“Nduk, kamu ini lho.” Tepukan di bahuku
membuatku berjengit.
“Ibuk!”, pekikku kaget. “MasyaAllah,
ngagetin aja”. Kuelus dadaku karena mendadak jadi deg-degan.
“Lha salahmu sendiri ngelamun. Ibu kan
cuman negur aja”, sambil meringis bersalah ibu membela diri, ekspresinya
benar-benar lucu. Kugigit bibirku menahan tawa.
“Lagian, dari tadi ibu perhatiin kok
ngelamun mulu. Emang itu tugas kamu udah beres?”, pertanyaan ibu membuatku
kembali melihat tumpukan kertas di meja.
“Hastagahhh!”, ujarku lesu. Kembali
menatap tumpukan tugas yang belum kelar itu dengan nanar. “Terimakasih, Ibu,
udah ngingetin aku”, tambahku.
“Udah, itu nanti lagi aja. Sekarang
makan dulu”, sela ibu sebelum tanganku meraih pulpen.
Mendengar kata makan entah mengapa
seperti sebuah stimulus tersendiri bagi cacing-cacing dalam perutku untuk
melancarkan serangan demo besar-besaran. Ini padahal yang punya telinga aku
loh, masa iya yang didalem bisa dengar juga. Dan yang membuatku malu untuk
tidak menurut –meski masih belum rela meninggalkan tugasku yang terbengkalai-
suaranya yang lantang hingga sampai ke telinga ibu membuat ibu memasang wajah
tak terbantah. Mau tak mau –meski sebenarnya mau banget- aku menurut dan
meninggalkan kembali tugasku yang entah kapan akan selesai. Namun aku janji,
hari ini akan jadi hari terakhir mereka terserak di atas meja belajarku. Nila
saja semangat buat sekolah, masa aku yang sehat ada tugas segitu aja nggak
kelar. Kan malu sama cacing. ~^^
0 komentar:
Posting Komentar