31.12.16

kisah inspiratif



“Pagi, Nila”, sapaku pada seorang gadis cilik di sebelah rumah. Ia terlihat sibuk membenarkan tali sepatunya, sementara tas ranselnya tergeletak sembarangan di atas dipan. Pasti ia sedang buru-buru.
Mendengar sapaanku ia mendongak sekilas lalu kembali sibuk dengan tali sepatunya.
“Pagi juga mbak Indi”, jawabnya tanpa melihatku. Ha. Sepertinya ia benar-benar buru-buru.
“Mau kemana? Pagi-pagi udah rapi bener”, godaku sambil mesam-mesem. Aku tahu ia pasti kesal mendengar pertanyaanku. Tapi aku juga tahu ia tidak akan marah hanya karena itu.
Mendengar pertanyaanku, ia kembali mendongak, menatapku tak percaya kemudian melengos.
“Sekolah lah mbak In”, timpalnya sambil mendengus.
“Hahaha... iya iya La, mbak tahu”, ujarku sambil mengedip jahil. “Berangkat dianter siapa, La?”, tanyaku.
“Sendiri, mbak”, jawabnya. Wajahnya kembali ceria. Sepertinya ia sedang bersemangat sekali untuk ke sekolah.
“Bu, Nila berangkat”, serunya ke dalam rumah. Dari tempatku berdiri, kulihat seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh keluar dengan sebotol air minum.
“Minum kamu ketinggalan, dek”, ujar ibunya.
“Oh, iya”, ujar Nila sembari menepuk jidatnya. “Masukin sekalian, bu. Hehe”. Sambil cengengesan ia berbalik memunggungi ibunya.
“Kamu ini”, ujar ibunya sembari merengut.
Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Jangan mau, Bude”, seruku provokasi.
Mendengar suaraku, bude Umi menoleh padaku lalu tertawa kecil. Sementara Nila merengut padaku.
“Bersih-bersih, mbak Indi”, sapa bude Umi padaku. Tangannya dengan cekatan membuka ransel Nila lalu memasukkan botol air minumnya.
“Iya nih bude. Bebersih, mumpung berangkat agak siangan”, jawabku. Sementara tanganku meraih pengki yang kutaruh di dekat pohon belimbing.
“Seharusnya aku sudah selesai dari tadi, gegara keasyikan menggoda Nila ini”, gerutuku pelan.
“Bu, berangkat dulu,” suara Nila kembali terdengar.
“Hati-hati. Nanti pulangnya ibu jemput”.
“Oke”.
“Mbak Indi, duluan ya.” Ujar Nila padaku.
“Hati-hati La. Yang rajin yah. Jangan ngelamun, perhatiin gurunya”. Nila hanya tertawa sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Mari, bude. Takut nggak selesei-selesei nih”, ujarku pada bude Umi.
“Sini sekalian juga nggak apa-apa kok mbak Indi”, gurau bude Umi.
“Ah, bude ini loh, ini aja dari tadi belum kelar”, timpalku sambil tertawa.
“Ya udah mbak, bude masuk dulu, nanti ndak kamu tak ajak ngobrol terus. Malah ndak rampung-rampung nyapunya”, kata bude Umi sambil tertawa.
“Iya, bude”, jawabku, gurauannya membuatku kembali tertawa.
Setelah bude Umi masuk, aku kembali meneruskan pekerjaanku. Benar kata bude Umi, bisa-bisa nggak jadi kelar ini kerjaan.


Memandang tumpukan kertas di atas meja, ingatanku melayang pada percakapanku dengan Nila tadi pagi. Menyapu sembari menggoda Nila memang menyenangkan. Gadis kecil itu kini duduk di bangku SMP. Sebenarnya keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang SMP tak diizinkan oleh kedua orangtuanya. Namun, semangatnya yang kekeuh ingin tetap melanjutkan, membuat kedua orangtuanya luluh dan mengizinkan ia untuk melanjutkan sekolah. Semangatnya benar-benar melebihi ukuran tubuhnya. Ya, karena sakit yang ia derita, tubuhnya tidak tumbuh dengan sempurna seperti anak-anak kebanyakan. Ia tetap mungil. 
Memang jarak rumahnya dengan sekolah tak begitu jauh, namun dengan kondisinya yang tak pernah benar-benar sehat, keingingannya untuk berangkat sendiri ke sekolah menjadi nilai plus tersendiri menurutku. Ia sejak bayi sudah divonis menderita jantung bocor, namun aku tak pernah melihatnya sedih atau terlihat menyesal atas sakit yang ia derita.
Beruntung ia memiliki kakak-kakak yang begitu menyayanginya. Pernah suatu kali saat ia masih duduk di bangku SD, saat itu sakitnya kembali kambuh, karena kecapekan pulang sekolah dengan jalan kaki. Tangan, bibir dan kakinya membiru, keluar keringat dingin, dan batuk-batuk. Karena sepeda kakaknya rusak, akhirnya si kakak menjemputnya dengan jalan kaki dan pulangnya ia digendong.
Terkadang aku berpikir, keadilan macam apa ini. Banyak anak-anak yang memiliki kesempatan dan kondisi yang sehat untuk dapat belajar sepuas hati mereka, namun mereka malas. Bahkan untuk sekedar bangun pagi untuk berangkat sekolah saja harus dibangunkan. Seakan-akan sekolah adalah kebutuhan orangtua mereka. Sedangkan Nila, semangatnya untuk sekolah membuatku salut, ia yang tak pernah benar-benar sehat bahkan bisa mengalahkan semangat anak-anak yang lebih beruntung dengan kesehatan mereka. Ya, keadilan Tuhan memang kadang sulit untuk dimengerti.
“Nduk, kamu ini lho.” Tepukan di bahuku membuatku berjengit.
“Ibuk!”, pekikku kaget. “MasyaAllah, ngagetin aja”. Kuelus dadaku karena mendadak jadi deg-degan.
“Lha salahmu sendiri ngelamun. Ibu kan cuman negur aja”, sambil meringis bersalah ibu membela diri, ekspresinya benar-benar lucu. Kugigit bibirku menahan tawa.
“Lagian, dari tadi ibu perhatiin kok ngelamun mulu. Emang itu tugas kamu udah beres?”, pertanyaan ibu membuatku kembali melihat tumpukan kertas di meja.
“Hastagahhh!”, ujarku lesu. Kembali menatap tumpukan tugas yang belum kelar itu dengan nanar. “Terimakasih, Ibu, udah ngingetin aku”, tambahku.
“Udah, itu nanti lagi aja. Sekarang makan dulu”, sela ibu sebelum tanganku meraih pulpen.

Mendengar kata makan entah mengapa seperti sebuah stimulus tersendiri bagi cacing-cacing dalam perutku untuk melancarkan serangan demo besar-besaran. Ini padahal yang punya telinga aku loh, masa iya yang didalem bisa dengar juga. Dan yang membuatku malu untuk tidak menurut –meski masih belum rela meninggalkan tugasku yang terbengkalai- suaranya yang lantang hingga sampai ke telinga ibu membuat ibu memasang wajah tak terbantah. Mau tak mau –meski sebenarnya mau banget- aku menurut dan meninggalkan kembali tugasku yang entah kapan akan selesai. Namun aku janji, hari ini akan jadi hari terakhir mereka terserak di atas meja belajarku. Nila saja semangat buat sekolah, masa aku yang sehat ada tugas segitu aja nggak kelar. Kan malu sama cacing. ~^^

0 komentar:

Posting Komentar