TIGA KATA SATU ARTI
Deliana Vicria Nurachyani
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Kini adalah masa mudaku, dimana masa
muda adalah masa yang indah bagi tiap manusia. Belum terbesitkan sekalipun
mengenai masa tuaku yang akan datang seperti apa dan bagaimana kehidupannya.
Kisah ini adalah sedikit membuat saya lebih mensyukuri keadaan dan lebih
membuat saya berpikiran mengenai masa tua saya.
Kisah ini menceritakan suatu
perjuangan hidup, tanggungjawab dan juga kasih
sayang yang tak terbatas. Kisah
seorang ibu lansia yang masih bersedia bekerja di pinggiran jalan raya. Sebut
saja Ibu P , ibu ini adalah seorang janda dua tahun lamanya. Ibu P menjanda
karena sang suami telah tiada. Saat sang suami meninggal beliau masih memiliki
tanggungan dan tanggungjawab terhadap anaknya yang masih sekolah. Ibu P adalah
seorang ibu yang memiliki enam buah hati. Ibu P keseharianya saat ini bekerja
sebagai penjual Koran di salahsatu perempatan lampu merah di Yogyakarta. Saya
sering melewati perempatan tersebut, sedikit merasa iba melihat ibu yang tak
setangguh masa mudanya masih bersedia berjualan di tepian jalan raya itu.
Senyum yang menghiasai wajah rentanya seakan membuatku menjadi penasaran akan
perjuangan beliau, berbagai macam pertanyaan ingin rasanya aku tanyakan kepada
beliau.
Saya mencoba membeli koran beliau,
dengan berbagai rasa penasaranku aku mencoba bertanya kepadanya mengenai awal
ia bersedia berjualan koran di usia yang sudah tak muda lagi. Beliau
menceritakan kisah-kisahnya yang seakan membuatku entah bagaimana kagumnya saya
kepada beliau. Memang sebelum berjualan koran ibu P berjualan lotek di
rumahnya, lotek yang ia jualkan sangatlah laris hingga lotek-lotek di sekitar
rumah ibu P kalah saing dengan lotek beliau. Ibu P sangat bersyukur lotek
jualannya laris manis namun ia juga tak enak hati kepada tetangganya yang berjualan
semacam dengannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi jualannya dan mencari
pekerjaan lain. Beliau pernah berpikir di usinya yang mulai merenta susah untuk
mencari pekerjaan yang layak, beliau bertanya kesana kemari dan meminta bantuan
ke sanak saudara untuk mencarikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan
juga usianya. Akhirnya ibu P di tawari untuk menjualkan koran, dengan
berbekalan niat akhirnya ibu P mau berjualan koran. Saat awal berjualan koran
sang suami belum tiada, waktu itu sang suami hanyalah bekerja sebagai tukang
ojek. Penghasilan sebagai tukang ojek memang tak seberapa, apalagi untuk
mencukupi keenam buah hatinya oleh karena ibu P berjualan koran untuk membantu
penghasilan keluarganya. Hingga akhirnya ketika sang suami tiada ibu P tetaplah
berjualan koran, ia tak malu ataupun mengeluh bekerja berjualan seperti ini.
Menurut beliau kerja apa saja tak jadi masalah asalkan pekerjaannya di ridhoi
dan di berkahi oleh Allah. Itulah alasan pertama kenapa ibu P berjualan koran,
yaitu masalah ekonomi dalam keluarganya dan juga untuk anak-anaknya juga.
Tepat di tahun ini sang bungsu telah
lulus sekolah menengah atasnya dan sudah bekerja, tentu saya berpikiran ibu P
tidak perlu melanjutkan daganganya berjualan koran. Namun pemikiranku salah, beliau
masih tetap bekerja meskipun keenam anaknya sudah berpenghasilan semua. .
Pernah anaknya menyarankan Ibu Paidi untuk tidak berjualan koran lagi karena
kondisi beliau yang semakin menua dan ketidaktegaan anak terhadap ibunya. Namun
kini anak-anaknya sepenuhnya mendukung apapaun ibu mereka lakukan, asalkan
masih dalam pemantauan mereka.
Terik
panas matahari yang menyengat tak menyurutkan semangatnya berjualan, senyum
ramah yang meneduhkan terpancarkan di sudut bibirnya yang selalu ia tunjukkan
ke calon pembelinya. Itulah strategi ibu P dalam menjajakan korannya, dimana ia
menanamkan sikap keramahan dan juga kesabaran dalam berjualan. Beliau tak kenal
malu atau berputus asa dalam berjualannya meskipun usianya sudah di bilang
renta. Menurut beliau bahwa ia senang melakukan pekerjaan ini selain mengisi
waktu di usia rentanya namun juga tetap mempunyai naluri tanggung jawab sebagai
orang tua untuk mencari nafkah. .
Walupun keuntungan menjual koran hanya sedikit namun ia sangat merasakan
perjuangan seorang ibu demi menafkahi anaknya hingga kini.
Bukan
hanya itu saja, selain berjualan koran kegiatan keagamaan ia ikuti seperti
pengajian setiap rutin di adakan seminggu dua kali di daerah sekitaran kota
Yogyakarta.
Itulah tiga kata satu arti yang saya
maksud yaitu Ibu , ibu merupakan seorang wanita yang paling indah, kasih
sayangnya yang tak pernah pudar dan tak terbatas yang telah bersusah payah
menjaga, mencintai, menemani, mendidik, dan membesarkan anaknya. Tidak ada kata
yang mampu menggambarkan kecintaan, kekuatan, kepahlawanan, dan kekayaan cinta
seorang ibu. Kisah ini menjadi pukulan keras saya untuk menjadi ibu untuk
anak-anakku kelak, sekaligus pemikiranku mengenai masa tuaku yang akan datang.
Tepat di bulan Desember yang
bertepatan dengan hari ibu membuat saya menulis kisah salah satu ibu lansia
yang tetap bekerja selain untuk menambah ekonomi keluarganya namun juga
sebagai naluri ibu,naluri orang tua yang
masih mampu bersedia bekerja sebagai
kebanggan tersendiri bisa merasakan perjuangan seorang ibu meskipun
sang suami telah tiada. Walaupun renta
namun ia juga masih bersedia melakukan kegiataan keagamaannya.
Selamat hari ibu. Selamat berjuang
menghadirkan generasi mulia, dan menjemput kemuliaan yang Allah siapkan,
sebagai balasan atas cinta dan ketulusan tanpa pamrih.
0 komentar:
Posting Komentar