Manik Muthmain
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Barangkali,
bila Nabi Yusuf atau Yosef dalam penyebutan lain hidup pada era minyak bumi,
mimpi yang harus ditakwilkannya adalah soal pengelolaan emas hitam ini. Terlebih saat energi dunia
begitu tergantung pada minyak seperti sekarang. Tampaknya, mimpi tentang tujuh
sapi gemuk dan tujuh sapi kurus yang ditakwilkan Yusuf sedang terulang kembali
walau dalam rupa dan konteks berbeda. Meski persoalan pangan, sebagaimana kisah
tersebut masih terus relevan, minyak juga punya cerita serupa, setidaknya di
Indonesia. Pesan moral dalam kisah Yusuf tentang pandai-pandai mengelola dan
menyimpan pasokan saat berlimpah sebelum masa sulit datang, terjadi juga di
sini. Era "booming" minyak dari angka produksi hingga harga
jual tinggi tinggal kenangan.
Terlepas
dari andai-andai soal mimpi dan takwil tersebut, Kabinet Kerja Presiden Joko
Widodo mengawali masa kerja pada 2014 dengan tantangan soal subsidi bahan bakar
minyak (BBM). Kuota subsidi ini sudah terlewati jauh-jauh hari sebelum tahun
berakhir karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi. Pernah menjadi salah satu pesohor
di antara negara-negara penghasil dan pengekspor minyak, Indonesia pada hari
ini justru sudah kerap disebut sebagai net importer komoditas ini.
Betul, masalah subsidi ini menjadi pelik karena sebagian produk BBM yang
dipakai masyarakat berasal dari impor.
Kesadaran
mengenai perlunya mencari cara menekan angka impor minyak pun menguat.
Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber cadangan minyak baru pun berdengung
kembali, di luar desakan tentang perbaikan tata niaga sumber energi ini. Namun,
satu hal tak terduga lalu terjadi. Perekonomian dunia yang tak kunjung pulih
sesuai harapan mendapat tamparan baru berupa anjloknya harga minyak dunia. Dari
kisaran di atas 100 dollar AS per barrel pada Juni 2014, harga minyak sampai dengan medio 2016 masih tertatih
di bawah angka 50 dollar AS
per barrel. Pada 2015, harga minyak malah bertengger di kisaran 30 dollar AS.
Namun,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, sudah
bukan waktunya mengeluhkan situasi ini. Masa indah di sektor migas, ujar dia,
memang sudah berlalu. Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah mendorong
kembali investasi untuk membiayai sektor hulu migas. Apa pun yang terjadi soal
harga minyak dunia, konsumsi energi tetap bertambah seiring penambahan
populasi. Dalam pidatonya, Darmin pun menyatakan, sejumlah kebijakan akan
segera terbit, menyusul langkah pemangkasan beragam perizinan untuk investasi
sektor ini. Namun, dia mengakui, perizinan yang dihadapi calon investor migas
tak hanya datang dari Kementerian ESDM. Karena itu, deregulasi yang sudah
digulirkan pemerintah lewat paket-paket kebijakan ekonomi yang terbit sejak
pertengahan 2015 akan diperluas lagi.
Perekonomian
dunia pada 2016 diperkirakan masih tetap belum akan pulih sepenuhnya. Harga
minyak dunia pun masih belum dapat dipastikan terus naik ke posisi di atas 50 dollar AS. Pada saat bersamaan, kebutuhan
BBM cenderung tetap bertambah, baik untuk konsumsi perorangan maupun penopang
industri lain. Tak
perlu menunggu Presiden bermimpi terlebih dahulu dan ada penakwil yang setara
dengan Yusuf, bukan, untuk mencari solusi terbaik bagi kondisi perminyakan
dalam negeri ini?
Sumber : Kompas | Selasa 31 Mei 2016
Penulis
: Palupi Annisa Auliani
0 komentar:
Posting Komentar