14.6.16

Ringkasan Artikel : Andai Nabi Yusuf Hidup pada Era Minyak, Seperti Apa Tafsir Mimpinya?



Manik Muthmain
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Barangkali, bila Nabi Yusuf atau Yosef dalam penyebutan lain hidup pada era minyak bumi, mimpi yang harus ditakwilkannya adalah soal pengelolaan emas hitam ini. Terlebih saat energi dunia begitu tergantung pada minyak seperti sekarang. Tampaknya, mimpi tentang tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus yang ditakwilkan Yusuf sedang terulang kembali walau dalam rupa dan konteks berbeda. Meski persoalan pangan, sebagaimana kisah tersebut masih terus relevan, minyak juga punya cerita serupa, setidaknya di Indonesia. Pesan moral dalam kisah Yusuf tentang pandai-pandai mengelola dan menyimpan pasokan saat berlimpah sebelum masa sulit datang, terjadi juga di sini. Era "booming" minyak dari angka produksi hingga harga jual tinggi tinggal kenangan.

Terlepas dari andai-andai soal mimpi dan takwil tersebut, Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mengawali masa kerja pada 2014 dengan tantangan soal subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kuota subsidi ini sudah terlewati jauh-jauh hari sebelum tahun berakhir karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi. Pernah menjadi salah satu pesohor di antara negara-negara penghasil dan pengekspor minyak, Indonesia pada hari ini justru sudah kerap disebut sebagai net importer komoditas ini. Betul, masalah subsidi ini menjadi pelik karena sebagian produk BBM yang dipakai masyarakat berasal dari impor.

Kesadaran mengenai perlunya mencari cara menekan angka impor minyak pun menguat. Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber cadangan minyak baru pun berdengung kembali, di luar desakan tentang perbaikan tata niaga sumber energi ini. Namun, satu hal tak terduga lalu terjadi. Perekonomian dunia yang tak kunjung pulih sesuai harapan mendapat tamparan baru berupa anjloknya harga minyak dunia. Dari kisaran di atas 100 dollar AS per barrel pada Juni 2014, harga minyak sampai dengan medio 2016 masih tertatih di bawah angka 50 dollar AS per barrel. Pada 2015, harga minyak malah bertengger di kisaran 30 dollar AS.

Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, sudah bukan waktunya mengeluhkan situasi ini. Masa indah di sektor migas, ujar dia, memang sudah berlalu. Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah mendorong kembali investasi untuk membiayai sektor hulu migas. Apa pun yang terjadi soal harga minyak dunia, konsumsi energi tetap bertambah seiring penambahan populasi. Dalam pidatonya, Darmin pun menyatakan, sejumlah kebijakan akan segera terbit, menyusul langkah pemangkasan beragam perizinan untuk investasi sektor ini. Namun, dia mengakui, perizinan yang dihadapi calon investor migas tak hanya datang dari Kementerian ESDM. Karena itu, deregulasi yang sudah digulirkan pemerintah lewat paket-paket kebijakan ekonomi yang terbit sejak pertengahan 2015 akan diperluas lagi.

Perekonomian dunia pada 2016 diperkirakan masih tetap belum akan pulih sepenuhnya. Harga minyak dunia pun masih belum dapat dipastikan terus naik ke posisi di atas 50 dollar AS. Pada saat bersamaan, kebutuhan BBM cenderung tetap bertambah, baik untuk konsumsi perorangan maupun penopang industri lain. Tak perlu menunggu Presiden bermimpi terlebih dahulu dan ada penakwil yang setara dengan Yusuf, bukan, untuk mencari solusi terbaik bagi kondisi perminyakan dalam negeri ini?

Sumber : Kompas | Selasa 31 Mei 2016
Penulis : Palupi Annisa Auliani

0 komentar:

Posting Komentar