AKU
ADA KARENA KAU TERCIPTA, AKU DI SINI KARENA ENGKAU KEMARI
WALAUPUN
SETELAHNYA HARUS MENGELUH ATAU MELENGUH, PALING TIDAK DARI LEHERNYA MENGALIR
PELUH.
Deliana Vicria Nurachyani
Fakultas Psikologi
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Masih bersama cerita Ibu Paidi seorang ibu yang tangguh
mencari nafkah dengan cara berjualan koran di perempatan Timoho. Pasti lah
sempat terbesit beribu pertanyaan mengenai ibu Paidi ini? Bagaimana ia bisa
sampai di Jogja? Bagaimana bisa beliau berjualan koran? Kenapa tidak berprofesi
yang lain? Akankah suaminya menyetujui pekerjaan ini? Lantas, apa alasan beliau
berjualan? Yuk, kita simak cerita ibu Paidi di minggu ketiga saya wawancara
dengan beliau. ^_^
MINGGU KETIGA :
NUANSA PERJUANGAN KARTINI TERCEMIN
DI PARAS TANGGUHNYA IBU PAIDI
Meskipun Ibu Kita Kartini sudah tiada, namun semangat
perjuangan wanitanya masih ada hingga kini, salah satunya ialah perjuangan Ibu
Paidi. Yah.. ibu Paidi tak kenal malu menjajakan koran-korannya di perempatan.
Terik panas matahari yang menyengat tak menyurutkan semangatnya berjualan,
senyum ramah yang meneduhkan terpancarkan di sudut bibirnya yang selalu ia
tunjukkan ke calon pembelinya.
Di siang
hari sekitar pukul 12 siang
saat ibu Paidi selesai berjualan koran dan sedang menunggu anaknya menjemput
beliau, saya berbincang-bincang kembali dengan ibu Paidi. Tak ada rancangan
pertanyaan khusus yang saya rencanakan untuk wawancara hari ini. Saya bermaksud
untuk menciptakan suasana yang enak dan nyaman ketika ibu Paidi menceritakan
kisah hidupnya. Alhasil beliau tak sungkan-sungkan bercerita ngalor-ngidul dengan antusiasnya
mengenai kisah hidupnya.
“Iya
mbak, aku dodolan koran ngene demi anak, aku sakkeluarga pindah Jogja ya demi
anak mbak. Amarga anakku sing nomor telu sekolah ning Jogja sekeluarga yo melu
ning Jogja, aku ora tego ndelok anakku urip dhewe ning Jogja iki, pikirku yen
awakku ning Jogja mbak bakalan luwih ringan biayai kehidupan anakku sing
sekolah iku”, tuturnya.
Bisa diartikan bahwa Ibu Paidi di
Jogja karena anaknya yang nomor tiga bersekolah di Jogja, Ibu Paidi berpikir
bahwa dengan kehadiran semua keluarga bisa lebih meringankan biaya sekolahnya,
tempat tinggal dan ongkos anaknya bersekolah tersebut. Itulah alasan beliau
berada di Kota Pelajar ini.
“Awale aku ora
dodolan koran ngene mbak, aku buka warung ning ngomah saiki, dodolan lotek
pecel lan gado-gado. Sakdurunge yo ono tonggoku sing dodolan ngono iku ning
sejak aku dodolan mbak daganganku laris, luwih laris seko dodolane tonggoku
kui. Aku njuk ora kepenak to mbak? Dodolan isih anyaran kok langsung laris? Yo
amargo iku aku dadine tutup warung. Lebar tutup warung’e aku bingung mbak aku
kudu kerjo opo? Ora mungkin to mbak yen aku mung meneng wae ning ngumah, wong
bojoku kerjo mosok aku muk nganggur-nganggur ning ngumah? Ngono iku kudu biayai
urip anakku sing akeh iki. Aku golek gawean mrona mrene ora ketemu mbak, wong
aku wis tuwo sopo sing arep memperkerjakan aku? Nah wengi iku aku ditawari
tonggoku aku kon dodolan koran, ngedolke koran ning dalan. Yoh tak turuti aku
moro ning kantor ning Jalan Mangkubumi , syarat’e mung fotocopy KTP karo KK.
Langsung isuk’e aku ngiderke koran ning kene mbak ning perempatan kene iki.
Awal’e emang rodok-rodok susah muk sitik pelanggane, isih penyesuaian mbak.
Nganti koran ora entek, kantor kono yo isih memaklumi. Ning aku ora langsung
putus asa mbak, dino selanjut’e aku ngiderke alhamdulillah koran’e laris .
duh.. nyenengke tenan mbak. Ya walaupun bathine ora sepiro ning perjuangan
nafkah nggo anak wis luar biasane mbak”, kata beliau penuh haru.
Jika disimpulkan dalam bahasa
Indonesia bahwa Ibu Paidi awalnya sempat berjualan lotek, pecel dan juga
gado-gado di rumah yang sekarang ia tempati, ibu Paidi baru saja memulai
berjualan saat itu langsung laris manis hingga warung milik tetangganya yang
sudah bertahun-tahun tersebut kalah dengan jualan Ibu Paidi. Nah, karena hal
tersebutlah Ibu Paidi memutuskan untuk menutup warungnya dan mencoba mencari
pekerjaan. Diumurnya yang sudah renta ini tentu susah mencari pekerjaan, ia
harus bekerja untuk membantu perekonomian keluargannya. Hingga pada suatu hari
ia ditawari untuk mencoba berjualan koran dan dengan selembar fotocopy KTP dan
Kartu Keluarga ibu Paidi akhirnya bisa berjualan. Di hari pertamanya berjualan
sungguh belum menghasilkan apa-apa, namun dihari berikutnya ia tidak patah
semangat menjajakan jualannya tersebut, alhasil jualan Ibu Paidi saat itu
sedikit lumayan. Walupun keuntungan menjual koran hanya sedikit namun ia sangat
merasakan perjuangan seorang ibu demi menafkahi anaknya hingga kini. Ia saat
ini masih berjualan meskipun anak-anaknya sudah bekerja semua dan sang suami
telah tiada, namun naluri tanggung jawab sebagai orang tua satu-satunya mencari
nafkah untuk anak-anaknya masih ia rasakan dan tak kenal lelah ataupun lengah
meskipun setelahnya harus mengeluh atau melenguh, paling tidak dari lehernya
mengalir peluh pengorbanan seorang ibu demi anaknya. ^_^
Cerita ini masih
bersambung... tunggu ceritaku selanjutnya ya, Dears :-* SALAM HANGAT UNTUK PARA
IBU DI INDONESIA TERUTAMA IBU SAYA :-*
0 komentar:
Posting Komentar