Pelestarian Bisa Mendatangkan Manfaat Ekonomi
( Harian Kompas, 20 Maret 2016 hal. 1 dan 15 )
Yudith Ofirisa Utami
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Pelestarian
keanekaragaman hayati dan ekosistem cenderung masih dipandang penghambat pertumbuhan
ekonomi. Padahal, konservasi berpengaruh terhadap sektor ekonomi, yakni menekan
risiko bencana yang merugikan serta bisa dimanfaatkan menghasilkan pendapatan
”Kunci utama penyelamatan
biodiversitas adalah menyediakan rumah aman, yaitu habitat asli mereka.
Masalahnya, kebutuhan ekonomi dan konservasi sering dipertentangkan,” ujar Direktur
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Tachrir Fathoni di Jakarta. Contohnya, masyarakat perlu berjalan
menembus hutan untuk menopang kegiatan ekonomi, sedangkan jalan itu memotong jalur
satwa liar.
Tachrir berbicara dalam
Dialog Teras Kita bertemakan ”Menyelamatkan Kelestarian Keanekaragaman Hayati
dari Ancaman Kepunahan” yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Radio
Sonora FM, dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Pembicara lain
adalah Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foeacl, Dekan Fakultas Kehutanan UGM
Satyawan Pudyatmoko, dan Manajer Konservasi Forum Konservasi Leuser Rudi Putra.
Wartawan Kompas, Banu
Astoria, memandu dialog itu. Kerusakan habitat bermacam organisme juga memicu
menipisnya populasi satwa liar dilindungi. Gajah, misalnya, pada 2007 masih
berpopulasi sekitar 4.300 ekor. Tahun 2014, populasinya tinggal 1.700 ekor. Selain
itu, berdasar analisis kelangsungan hidup populasi 2015, populasi badak
sumatera juga kurang dari 100 ekor. Padahal, tahun 2007 diperkirakan ada 300 ekor.
Program pembangunan di daerah juga kerap mengancam kelestarian keanekaragaman
hayati. Rudi mencontohkan, saat ini di rencanakan 14 ruas jalan akan dibangun pada
kawasan ekosistem Leuser, Aceh, sehingga membuat satwa langka dilindungi
seperti gajah, harimau. dan orangutan, rawan perburuan mengingat para pemburu
dan perambah hutan menjadi lebih mudah mengakses hutan.
Hal itu terjadi di Lampung
dengan pembangunan jalan tembus melalui Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS). Sebelumnya, populasi badak sumatera di TNBBS diperkirakan 80 ekor.
Namun, setelah pemerintah membangun jalan tembus itu pada 2006, populasinya
terus me-nurun. Menurut perkiraan bulan lalu, populasi tinggal 17 - 20 ekor.
Satyawan menambahkan, selain
karena menambah akses bagi pemburu, jalan membelah hutan juga membuat habitat
satwa terfragmentasi menjadi lebih sempit. Hal itu juga pemicu kepunahan. Contohnya,
dulu terdapat lebih dari 20 lokasi populasi banteng jawa di Pulau Jawa. Namun,
kini tinggal empat lokasi akibat habitat semakin menyusut.
”Biodiversitas sering
tidak dijadikan pertimbangan penting pengambilan keputusan,” ujar Satyawan.
Mengonservasi habitat berbagai spesies, menurut dia, bukan tentang memandang hidup
gajah, harimau, orangutan, atau organisme lain lebih penting daripada hidup
manusia. Namun, kelestarian
organisme - organisme itu menunjukkan ekosistem sehat sehingga tetap berfungsi
normal untuk menopang keberlanjutan hidup masyarakat.
Satyawati
juga membandingkan fungsi hutan terhadap kebun kelapa sawit yang didapat dengan
membuka hutan. Hutan alam setidaknya memiliki tiga fungsi: pengatur, penyedia,
dan ikatan budaya. Sebagai pengatur, hutan berfungsi menahan erosi dan
mengendalikan perubahan iklim. Sebagai penyedia, hutan alam menghasilkan
berbagai produk bernilai ekonomis, seperti kayu, madu, dan bahan obat - obatan.
Hutan alam juga bagian dari budaya masyarakat adat sekitar.
Sementara
jika hutan berubah menjadi kebun kelapa sawit yang monokultur, kebun hanya
mempunyai satu fungsi, yaitu penyedia sumber daya ekonomi, antara lain minyak
sawit. Kebun itu tak berfungsi menahan erosi. Di area gambut, kebun kelapa sawit
memicu penurunan muka tanah.
Dengan
demikian, akumulasi keuntungan dari hutan yang dipertahankan
sebenarnya lebih tinggi dibandingkan jika beralih fungsi, tetapi hal itu sulit
tersampaikan mengugat nilai nominalnya tak langsung terlihat. Eksploitasi
ekosistem terbukti menimbulkan bencana. Rudi menuturkan, Aceh Tamiang dilanda
banjir dahsyat pada 2006 akibat aktivitas penebangan kayu mengingat banyaknya
izin hak pengusahaan hutan diberikan sejak 1970an hingga 2001. Bank Dunia
memperkirakan, kerugian akibat banjir sepekan itu Rp 1,7 triliun. Jumlah itu
setara empat kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tamiang yang saat itu
Rp 400 miliar setahun.
Tahun
lalu, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kerugian. Bank Dunia menghitung
nilai kerugian mencapai 16,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 221 triliun. Selain
menekan risiko bencana berbuntut kerugian ekonomi, mempertahankan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berpotensi menambah penghasilan, salah satunya
lewat ekowisata. Di Rwanda, turis yang ingin melihat gorila di hutan harus
mengantre 6-12 bulan karena jumlah turis dibatasi 10-15 orang per hari.
Biayanya 500 dollar AS (Rp 6,5 juta) per orang.
”Ini
bisa diterapkan di Indonesia. Kita punya Taman Nasional Komodo, satu dari
tujuh keajaiban dunia,” ujar Tachrir. Kementerian Pariwisata juga mempunyai 10
destinasi pariwisata prioritas yang di dalamnya ada tujuh kawasan ekowisata.
Nazir
menambahkan, tanpa mengubah bentang alam ekosistem, masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat ekonomi. Contohnya, wargu di Sungai Tohor, Kepulauan Meranti,
Riau, membudidayakan sagu di area gambut. Gambut dijaga basah agar sagu tumbuh
baik ”Pada 2015, meski ada El Nino, lokasi mereka tak terbakar,” tuturnya.
Di
samping itu, kata Satyawan, keanekaragaman mikroorganisme memiliki beragam
potensi, seperti alternatif bahan obat, yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi
bangsa Banyak negara, termasuk Jepang, berminat mengkaji zat aktif dari
mikroorganisme Tanah Air.
Kok gak ada Fotonya...? Fotonya pergi kemana...?
BalasHapusFoto apa mas toro?
Hapus