15.4.16

Ringkasan : Pelestarian Bisa Mendatangkan Manfaat Ekonomi

Pelestarian Bisa Mendatangkan Manfaat Ekonomi

( Harian Kompas, 20 Maret 2016 hal. 1 dan 15 )


Yudith Ofirisa Utami
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem cenderung masih dipandang penghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal, konservasi berpengaruh terhadap sektor ekonomi, yakni menekan risiko bencana yang merugikan serta bisa dimanfaatkan menghasilkan pendapatan
”Kunci utama penyelamatan biodiversitas adalah menyediakan rumah aman, yaitu habitat asli mereka. Masalahnya, kebutuhan ekonomi dan konservasi sering dipertentangkan,” ujar Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tachrir Fathoni di Jakarta. Contohnya, masyarakat perlu berjalan menembus hutan untuk menopang kegiatan ekonomi, sedangkan jalan itu memotong jalur satwa liar.
Tachrir berbicara dalam Dialog Teras Kita bertemakan ”Menyelamatkan Kelestarian Keanekaragaman Hayati dari Ancaman Kepunahan” yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Radio Sonora FM, dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Pembicara lain adalah Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foeacl, Dekan Fakultas Kehutanan UGM Satyawan Pudyatmoko, dan Manajer Konservasi Forum Konservasi Leuser Rudi Putra.
Wartawan Kompas, Banu Astoria, memandu dialog itu. Kerusakan habitat bermacam organisme juga memicu menipisnya populasi satwa liar dilindungi. Gajah, misalnya, pada 2007 masih berpopulasi sekitar 4.300 ekor. Tahun 2014, populasinya tinggal 1.700 ekor. Selain itu, berdasar analisis kelangsungan hidup populasi 2015, populasi badak sumatera juga kurang dari 100 ekor. Padahal, tahun 2007 diperkirakan ada 300 ekor. Program pembangunan di daerah juga kerap mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Rudi mencontohkan, saat ini di rencanakan 14 ruas jalan akan dibangun pada kawasan ekosistem Leuser, Aceh, sehingga membuat satwa langka dilindungi seperti gajah, harimau. dan orangutan, rawan perburuan mengingat para pemburu dan perambah hutan menjadi lebih mudah mengakses hutan.
Hal itu terjadi di Lampung dengan pembangunan jalan tembus melalui Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Sebelumnya, populasi badak sumatera di TNBBS diperkirakan 80 ekor. Namun, setelah pemerintah membangun jalan tembus itu pada 2006, populasinya terus me-nurun. Menurut perkiraan bulan lalu, populasi tinggal 17 - 20 ekor.
Satyawan menambahkan, selain karena menambah akses bagi pemburu, jalan membelah hutan juga membuat habitat satwa terfragmentasi menjadi lebih sempit. Hal itu juga pemicu kepunahan. Contohnya, dulu terdapat lebih dari 20 lokasi populasi banteng jawa di Pulau Jawa. Namun, kini tinggal empat lokasi akibat habitat semakin menyusut.
”Biodiversitas sering tidak dijadikan pertimbangan penting pengambilan keputusan,” ujar Satyawan. Mengonservasi habitat berbagai spesies, menurut dia, bukan tentang memandang hidup gajah, harimau, orangutan, atau organisme lain lebih penting daripada hidup manusia. Namun, kelestarian organisme - organisme itu menunjukkan ekosistem sehat sehingga tetap berfungsi normal untuk menopang keberlanjutan hidup masyarakat.
Satyawati juga membandingkan fungsi hutan terhadap kebun kelapa sawit yang didapat dengan membuka hutan. Hutan alam setidaknya memiliki tiga fungsi: pengatur, penyedia, dan ikatan budaya. Sebagai pengatur, hutan berfungsi menahan erosi dan mengendalikan perubahan iklim. Sebagai penyedia, hutan alam menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomis, seperti kayu, madu, dan bahan obat - obatan. Hutan alam juga bagian dari budaya masyarakat adat sekitar.
Sementara jika hutan berubah menjadi kebun kelapa sawit yang monokultur, kebun hanya mempunyai satu fungsi, yaitu penyedia sumber daya ekonomi, antara lain minyak sawit. Kebun itu tak berfungsi menahan erosi. Di area gambut, kebun kelapa sawit memicu penurunan muka tanah.
Dengan demikian, akumulasi keuntungan dari hutan yang dipertahankan sebenarnya lebih tinggi dibandingkan jika beralih fungsi, tetapi hal itu sulit tersampaikan mengugat nilai nominalnya tak langsung terlihat. Eksploitasi ekosistem terbukti menimbulkan bencana. Rudi menuturkan, Aceh Tamiang dilanda banjir dahsyat pada 2006 akibat aktivitas penebangan kayu mengingat banyaknya izin hak pengusahaan hutan diberikan sejak 1970an hingga 2001. Bank Dunia memperkirakan, kerugian akibat banjir sepekan itu Rp 1,7 triliun. Jumlah itu setara empat kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tamiang yang saat itu Rp 400 miliar setahun.
Tahun lalu, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kerugian. Bank Dunia menghitung nilai kerugian mencapai 16,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 221 triliun. Selain menekan risiko bencana berbuntut kerugian ekonomi, mempertahankan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berpotensi menambah penghasilan, salah satunya lewat ekowisata. Di Rwanda, turis yang ingin melihat gorila di hutan harus mengantre 6-12 bulan karena jumlah turis dibatasi 10-15 orang per hari. Biayanya 500 dollar AS (Rp 6,5 juta) per orang.
”Ini bisa diterapkan di Indonesia. Kita punya Taman Nasional Komodo, satu dari tujuh keajaiban dunia,” ujar Tachrir. Kementerian Pariwisata juga mempunyai 10 destinasi pariwisata prioritas yang di dalamnya ada tujuh kawasan ekowisata.
Nazir menambahkan, tanpa mengubah bentang alam ekosistem, masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat ekonomi. Contohnya, wargu di Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau, membudidayakan sagu di area gambut. Gambut dijaga basah agar sagu tumbuh baik ”Pada 2015, meski ada El Nino, lokasi mereka tak terbakar,” tuturnya.
Di samping itu, kata Satyawan, keanekaragaman mikroorganisme memiliki beragam potensi, seperti alternatif bahan obat, yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi bangsa Banyak negara, termasuk Jepang, berminat mengkaji zat aktif dari mikroorganisme Tanah Air.

2 komentar: