Kian Sejahtera Dengan Jamur
Nurul Hidayah
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Besarnya
kebutuhan jamur tiram di pasaran dan sedikitnya pasokan jamur dari petani
membuat peluang besar untuk budidaya jamur tiram di Palangkaraya. Budi Yanto,
mengawali budidaya jamur tiram sekitar tahun 2006 ketika usahanya dibidang
mebel mengalami kebangkrutan, Ia belajar teknik budidaya jamur dari Suharyoso
yang bekerja di Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah.
Awalnya
ia menyewa tempat untuk dijadikan kumbung (rumah jamur) dan mendatangkan bibit
jamur dari Surabaya dan Mojokerto, namun banyak yang mati karena tidak sesuai
dengan suhu di Palangkaraya, akhirnya Budi belajar pada Asosiasi Pembudidaya
Jamur Indonesia di Jakarta dan mendatangi langsung petani-petani di beberapa daerah di Jawa Barat.
Akhirnya
Budi mengembangkan sendiri pembibitan jamur di Palangkaraya mengunakan metode
kultur jaringan, jaringan diambil dari tubuh jamur lalu ditumbuhkan di potatoes dextrose agar (PDA) prosesnya
sekitar 25-30 hari kemudian diturunkan menjadi bibit jamur F0, F1, F2. Budi
memanfaatkan serbuk kayu meranti bekas pengrajin kayu dalam pembibitan, karena
tidak banyak mengandung getah seperti yang terdapat dibeberapa jenis kayu lain
yang justru mematikan bibit jamur. Dalam seminggu Budi membutuhkan sedikitnya
120 karung serbuk kayu dengan berat 50kg per karung dengan harga Rp 1.500 per
karung.
Alhasil,
Jamur produksinya di Palangkaraya dengan pembibitan dalam kondisi kering bisa
bertahan sampai tiga hari, berbeda dengan jamur dengan bibit dari Jawa Timur
yang memiliki kadar air lebih banyak sehingga tidak tahan lama dalam kondisi
kering. Saat ini dengan dua rumah jamur Budi bisa memproduksi 10 kg jamur tiram
putih per hari, Budi juga membudidayakan jamur tiram kuning, jamur kuping dan
jamur lingzhi selain itu Budi juga
memproduksi bibit jamur dan baglog dengan
harga Rp 4.000 per buah yang dipasarkan hingga ke 14 kabupaten/kota di
Kalimantan Tengah, Banjarmasin, dan Kalimantan Selatan. Budi juga menyediakan
bibit murni atau F0 dengan harga Rp 300.000 per tabung serta bibit perbanyakan
F1 dan F2, dalam sebulan omzet Budi mencapai Rp 32.000.000 dengan keuntungan 30
persen.
Kini
dirumahnya terdapat 14 pekerja yang berusia sekitar 17-25 tahun, sebagian besar
mereka putus sekolah di tingkat SD atau SMP karena pergaulan yang tidak sehat.
Budi menemui mereka di warnet dekat rumahnya kemudian mengajak mereka dan
melatih mereka membuat baglog, dengan
jam kerja sekitar 6 jam per hari mereka mendapat upah Rp 450.000 per pekan.
Budi juga melatih Ibu-Ibu disekitar rumahnya mengolah jamur menjadi bakso
jamur, nugget jamur dan jamur crispy.
Upayanya
diapresiasi Dinas KehutananProvinsi Kalimantan Tengah kemudian rumahnya kini
dijadikan Lembaga Pelatihan dan Pemagangan Usaha Kehutanan Swadaya Wanawiyata
Widyakarya. Budi sering memberi pelatihan ke sesama petani jamur,
mahasiswa-mahasiswa, bahkan pernah melatih mahasiswa luar negeri yang
diprakarsai Universitas Palangkaraya dan Universitas Hokkaido Jepang.
Sumber Tulisan
: Megandika Wicaksono, (2016), Kian
Sejahtera Dengan Jamur, Kompas, 12
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar