(Hasil Mengikuti Studium
General : Pendidikan Seks dalam meningkatkan perilaku seksual sehat )
Sri Mulyaningsih
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ‘45
Cinta
adalah satu kata keramat yang mudah sekali diucapkan banyak orang. Aku cinta
kamu, abang cinta adek, bunda cinta kalian semua, dan lain sebagainya. Namun
pernahkan kita bertanya pada diri kita sendiri. Kenapa kita bisa merasakan cinta
?.
Pada
Studium General yang diadakan Fakultas Psikologi, 27 Februari 2016 lalu. Bapak
Hartosudjono, S.Psi., SE., M.Si., memaparkan hal yang sangat menarik, yaitu
mengenai Hormon Cinta. Penelitian
menunjukan bahwa, ada proses atau tahapan yang dialami tubuh kita sehingga kita
bisa merasakan sebuah rasa cinta. Menurut
Helen Fischer seorang “peneliti cinta” di Universiti Boston, Amerika Serikat,
cinta timbul karena
kerja sejumlah hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon
yang diproduksi otak. Hormon itu terkenal dengan sebutan hormone cinta. Gelora
cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh berbeda dengan reaksi kimia. Rasa tergila-gila
yang muncul pada awal-awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran
komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon,
oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga
dan berseri-seri. Hormon-hormon itu
sangat baik untuk tubuh dan mempengaruhi kesehatan seseorang karena bisa
membuat aliran darah lebih lancar, denyut jantung lebih stabil, rileks dan
perasaan lebih bergairah dan bersemangat.
Jika
dipikirkan, bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang sedang jatuh
cinta? Ketika hubungan mata sedang berlangsung, tertanam suatu `kesan’. Inilah fase
pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data,
dan menserasikannya dengan sejumlah data yang pernah direkam sebelumnya. Ia
mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang
ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya rasa romantik. Fase
kedua, yaitu munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi
otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara automatis senyum
pun dilontarkan. Spontan, pusat PEA pun aktif bekerja ketika “wisel” mula
diaktifkan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf
manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulnya
gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektiviti hormon-hormon ini mula
berkurang. Fase ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang
tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins , senyawa kimia yang identik
dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan dada dan
sebagainya, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Rasa
cinta hanya akan bertahan hingga 4 tahun saja. Lalu, kenapa sering kita dengar
laki – laki menggombal, Aku cinta padamu sampai kapan pun. Benarkah hal ini ?. Memang,
pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan
lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya
efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun,
`kebal’ terhadap si pemicu gelora.
Akan tetapi, menurut Diane, proses
jatuh cinta itu tidak semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi
kimianya. Apalagi dalam proses orang bercinta hingga menikah, banyak faktor
sosial lainnya yang menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa
jawa dipanggil versi Tresno Jalaran Soko Kulino” yang bermaksud datangnya cinta
karena pertemuan yang berulang-ulang “. Demikian pula ketika kita marah dan
ingin memaki orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus, namun tetap ada
faktor lain yang ikut menentukanya
Singkat
dan mudahnya kita merasakan cinta. Keadaan alamiah dari dalam diri yang membuat
hidup penuh dengan rasa. Sudahkah anda mersakan cinta ?
Sumber :
Handout materi
Studium General : Pendidikan seks guna meningkatkan perilaku seksual sehat,
Fakultas Psikologi Universitas ‘45
0 komentar:
Posting Komentar