Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
COBA
sebut satu kata yang terus menerus muncul dalam pikiran. Setiap kali membuka
halaman koran pagi, menonton siaran berita, atau membaca linimasa di media
sosial. Jawabannya: Problem! Mulai dari pemberitaan asap yang menyelimuti
sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan beberapa negara tetangga hingga
kinerja perekonomian yang lesu. Lebih lanjut, pemberitaan korupsi atau lebih
tepatnya para koruptor yang menyaingi ketenaran artis. Atau, kabar tentang
konflik dan peperangan diberbagai belahan dunia hingga berita kriminalitas yang
seolah tanpa akhir.
Sambil sekedar iseng, saya
mengecek publikasi Koran tahun sebelumnya, dekade sebelumnya, bahkan puluhan
tahun sebelumnya melalui mesin pencari google. Hasilnya ternyata tidak terlalu
jauh berbeda dengan kondisi sekarang.
A
problem well stated is a problem half solved – Charles Kettering.
Tanpa kejelasan, kejernihan, dan ketegasan dalam menetapkan hal-hal yang
dianggap sebagai problem, tidak banyak hal bisa dilakukan selain ya itu tadi,
membicarakan, memberitakan, dan membahasnya tanpa ujung. Problem asap akibat
pembakaran lahan hanya akan bisa dibaca dan diomongkan tanpa penetapan problem
sesungguhnya: Pembakaran lahan adalah cara termurah dan tercepat untuk
meningkatkan nilai jual lahan. Lebih mendasar lagi, problemnya lagi-lagi soal
kegagalan ekosistem mengatasi ekosistem.
You
can’t solve a problem until you are asking the right questions.
Problem terbesar adalah mendefinisikan problem itu sendiri. Albert Einstein
sama sekali tidak berlebihan saat menyatakan, jika ia diberi waktu 60 menit, 55
menit akan dihabiskan untuk mendefinisikan problem dan 5 menit sisanya untuk
menyelesaikannya. Masih terkait dengan asap pembakaran lahan yang telah menjadi
masalah rutin tahunan, solusi sesungguhnya tidak akan datang dalam bentuk
ancaman penjara bagi para pelaku atau janji para politisi atau alokasi anggaran
semata.
Solve
big problem by solving little problems and by keeping the mission in mind.
Siapa pun bisa cenderung bisa menawarkan solusi – ini kebiasaan yang sudah
dilatih sejak masih di bangku sekolah.
Apa yang bisa dilakukan
sekarang? Kebutuhan dunia sebanyak bintang di langit. Namun, bahkan bintang di
langit hanya mengisi bagian dari cakrawala alam semesta yang maha luas. Kenali
kekuatan diri (baca: passion), kepedulian diri (baca:mission) dan kebiasaan
diri (baca: ways to perform). Observasi, selidiki, dan pahami problem sebelum
menetapkan solusi apa pun. Inilah esensi kehidupan yang berdampak dan bermakna.
The happiest – and most successful people
I know don’t just love what they do, they are also obsessed with solving an
important problem that really matters to them – Drew Houston, founder of
Dropbox.
Sumber
Tulisan:
Suhardono, Rene. 2015. The
Problem is Always about Defining The Problem. Kompas, 24 Oktober.
0 komentar:
Posting Komentar