1.1.16

"The Problem is Always about Defining The Problem"



Jati Pramono
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


COBA sebut satu kata yang terus menerus muncul dalam pikiran. Setiap kali membuka halaman koran pagi, menonton siaran berita, atau membaca linimasa di media sosial. Jawabannya: Problem! Mulai dari pemberitaan asap yang menyelimuti sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan beberapa negara tetangga hingga kinerja perekonomian yang lesu. Lebih lanjut, pemberitaan korupsi atau lebih tepatnya para koruptor yang menyaingi ketenaran artis. Atau, kabar tentang konflik dan peperangan diberbagai belahan dunia hingga berita kriminalitas yang seolah tanpa akhir.


Sambil sekedar iseng, saya mengecek publikasi Koran tahun sebelumnya, dekade sebelumnya, bahkan puluhan tahun sebelumnya melalui mesin pencari google. Hasilnya ternyata tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi sekarang.

A problem well stated is a problem half solved – Charles Kettering. Tanpa kejelasan, kejernihan, dan ketegasan dalam menetapkan hal-hal yang dianggap sebagai problem, tidak banyak hal bisa dilakukan selain ya itu tadi, membicarakan, memberitakan, dan membahasnya tanpa ujung. Problem asap akibat pembakaran lahan hanya akan bisa dibaca dan diomongkan tanpa penetapan problem sesungguhnya: Pembakaran lahan adalah cara termurah dan tercepat untuk meningkatkan nilai jual lahan. Lebih mendasar lagi, problemnya lagi-lagi soal kegagalan ekosistem mengatasi ekosistem.

You can’t solve a problem until you are asking the right questions. Problem terbesar adalah mendefinisikan problem itu sendiri. Albert Einstein sama sekali tidak berlebihan saat menyatakan, jika ia diberi waktu 60 menit, 55 menit akan dihabiskan untuk mendefinisikan problem dan 5 menit sisanya untuk menyelesaikannya. Masih terkait dengan asap pembakaran lahan yang telah menjadi masalah rutin tahunan, solusi sesungguhnya tidak akan datang dalam bentuk ancaman penjara bagi para pelaku atau janji para politisi atau alokasi anggaran semata.

Solve big problem by solving little problems and by keeping the mission in mind. Siapa pun bisa cenderung bisa menawarkan solusi – ini kebiasaan yang sudah dilatih sejak masih di bangku sekolah.

Apa yang bisa dilakukan sekarang? Kebutuhan dunia sebanyak bintang di langit. Namun, bahkan bintang di langit hanya mengisi bagian dari cakrawala alam semesta yang maha luas. Kenali kekuatan diri (baca: passion), kepedulian diri (baca:mission) dan kebiasaan diri (baca: ways to perform). Observasi, selidiki, dan pahami problem sebelum menetapkan solusi apa pun. Inilah esensi kehidupan yang berdampak dan bermakna. The happiest – and most successful people I know don’t just love what they do, they are also obsessed with solving an important problem that really matters to them – Drew Houston, founder of Dropbox.

Sumber Tulisan:
Suhardono, Rene. 2015. The Problem is Always about Defining The Problem. Kompas, 24 Oktober.

 

0 komentar:

Posting Komentar