9.1.16

RINGKASAN ARTIKEL : KEKUASAAN TANPA KUASA



KEKUASAAN TANPA KUASA

Murjiwantoro
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta



"Kekuasaan" adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, untuk mencapai sebuah tujuan, atau singkatnya kemampuan melakukan perubahan. (Boulding, 1989). Artinya, kekuasaan adalah kemampuan merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai sebuah tujuan bersama melalui jalan perubahan. "Revolusi mental" adalah sebuah konsep perubahan yang dicanangkan Jokowi, tetapi hingga kini tak mampu direalisasikan secara nyata bagi perubahan bangsa ke arah lebih baik. Kekuasaan juga kemampuan untuk mengawasi, mengoreksi, mengendalikan, mendisiplinkan, dan menciptakan kepatuhan (Foucault, 1986). Ironisnya, semua kemampuan ini yang tak mampu ditunjukkan oleh Jokowi sebagai kepala negara. Sebaliknya, yang tumbuh adalah ketakpatuhan, indisipliner, pembangkangan aparat-aparat tertentu terhadap kekuasaan tertinggi, pertengkaran di antara para pejabat negara, serta ketakmampuan Jokowi sebagai kepala negara melakukan koreksi, pengawasan, dan perbaikan. Tak berfungsinya kekuasaan dalam rezim pemerintahan Jokowi diperparah dengan tak berfungsinya aparatus negara sesuai bidang dan kapasitasnya. Apa yang dimaksud dengan “Apparatus”…? "Aparatus" adalah segala sesuatu yang dalam cara dan kapasitas tertentu dapat mengarahkan, menentukan, menahan, mencegah, memodelkan atau mengamankan perilaku, opini atau wacana (Agamben, 2009). Akan tetapi, ironisnya, beberapa aparatus negara tampak tak mampu menjalankan fungsi memodelkan dan mengarahkan tindakan atau menahan dan mencegah aneka tekanan, gejolak, dan krisis.
Kekuasaan tidak bekerja karena ia tak mampu melaksanakan apa yang dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan, atau mencapai apa yang telah direncanakan. Garis komando dalam roda pemerintahan tak hadir karena tak punya efek disiplin pada aparat-aparat lebih rendah. Krisis kekuasaan terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukkan legitimasinya, yaitu kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan rakyat. Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sejauh ini tak mampu menunjukkan kapasitasnya dalam mengendalikan dan mengarahkan bangsa ke arah perubahan. Kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. Namun, justru "ironi kekuasaan" itu yang kini dialami negara-bangsa ini, yaitu ketika rezim kekuasaan tak mampu menunjukkan dayanya dalam memecahkan aneka persoalan bangsa. Yang ada hanya ketakberdayaan, yaitu ketakmampuan menghadapi aneka tekanan: sosial, politik, ekonomi, hukum. Ironi kekuasaan ini akibat kentalnya pertarungan kepentingan di dalam tubuh pemerintah itu sendiri dan terabaikannya kepentingan bangsa yang lebih besar.



Sumber Tulisan : Yasraf Amir Piliang, (2015), Kekuasaan Tanpa Kuasa, Kompas, 7 September 2015, Hal.6

0 komentar:

Posting Komentar