Sri Mulyaningsih
Universitas Proklamasi ‘45
Namanya
Melati (disamarkan), di usianya yang baru menginjak 20 tahun, ia sudah
didiagnosis gangguan jiwa berat oleh psikiater. Namun, dia tampak tidak
terbeban dengan diagnosis tersebut. Penampilannya ceria, punya selera humor
cukup baik, dan masih mampu bekerja. Berdasarkan kisah hidupnya, tampak jelas
penyebab gangguan jiwanya. Dibesarkan dalam keluarga penuh kekerasan sejak
kecil, rupanya Melati tidak mampu menahan lagi gempuran-gempuran mental seperti
itu. Bagian kisah masa kecilnya ada yang signifikan mempengaruhi munculnya
gangguan jiwanya. Sejak masih kanak-kanak, Melati sudah sering diajari
berbohong oleh ibunya. "Mulai dari hal-hal kecil, Bu. Misalnya saya
disuruh bilang Mama sakit kalau ada yang cari. Kalau saya salah jawab, Mama
marah. Saya dipukul. Dibentak-bentak. Katanya Mama malu punya anak kayak
saya
."Mata Melati berkaca-kaca. Dia menerawang jauh. Kebohongan demi kebohongan
terus diciptakan ibunya. Bahkan ibunya berbohong juga di mana Melati bersekolah
karena ibunya malu dia hanya bisa sekolah yang menurut ibunya jelek. Melati
sekolah di SMP X, tapi ibunya menyuruh bilang kalau dia sekolah di SMP Y.
Kepada siapapun. Kondisi ini berlangsung hingga dia berkuliah. Melati tidak
suka dengan kondisi itu tapi tidak berdaya. Jadi kalau ada orang yang bertanya
di mana sekolahnya, Melati memilih diam saja, karena dia tidak mau salah jawab.
Kalau salah, dia akan dipukuli ibunya. Biasanya ada ibunya yang selalu menjawab
untuknya. Lama kelamaan, Melati tidak betah. Kesehatan mentalnya terganggu.
Namun dia masih beruntung. Lingkungan sosialnya bersikap positif. Teman-teman
dan gurunya mendukungnya. Melati diberi perhatian, didukung, diberi kepercayaan,
dan tidak pernah ditinggalkan. Gejala-gejalanya mulai berkurang. Tapi belum
tuntas benar. Sementara itu, ibunya tidak berubah. Masih tetap
"senang" memukul dan mengajarinya berbohong. Mengajarinya hidup dalam
dunia ideal yang diciptakan. Melati memutuskan tidak mau lagi mengikuti cara
hidup ibunya.
Dalam
kasus Melati, ibunya mengajak anaknya hidup dalam dunia tidak nyata. Dunia
ideal yang diinginkan sang ibu. Padahal saat itu anak dalam masa pertumbuhan
ego dan konsep diri. Selain itu anak juga dalam masa perkembangan tahapan
moral. Titik perkembangan kritis ini dilewatkan oleh orangtua dengan
mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran norma sosial dan agama.
Anak tidak dapat menyaring mana ajaran yang benar dan mana yang salah. Namun seiring
dengan usianya, dia mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika anak mulai
berinteraksi dengan teman-temannya, guru dan juga orang dewasa lainnya. Terjadi
konflik atas apa yang diajarkan oleh orangtua dengan nilai-nilai yang ada di
lingkungan.
Pemahaman
atas kondisi yang sebenarnya mulai tumbuh dan mengakar, tapi lagi-lagi anak
tidak berdaya. Dia masih tergantung pada orangtuanya. Kebutuhan rasa aman,
kasih sayang, dan penerimaan dari orangtua mendominasi fase kehidupannya.
Akibatnya kepribadian anak tidak stabil. Dia cemas. Takut. Tidak merasa aman di
mana pun berada. Sisi lain kepribadiannya tidak bisa menerima, akhirnya
terbentuk mekanisme pertahanan. Terciptalah kepribadian lain. "Teman
bayangan" ini yang tugasnya selalu mengingatkan tentang apa yang dikatakan
orangtuanya, karena kepribadian aslinya berontak ingin menjadi diri sendiri,
bukan diri ciptaan orang lain. Secara fisik anak tetap tumbuh mengikuti
usianya. Namun secara kepribadian, dia terperangkap dalam masa lalu. Pikirannya
kacau, muncul halusinasi auditori (mendengar suara-suara), depresif, dan relasi
sosial yang kurang baik. Sementara itu orangtua tidak berubah. Mungkin karena
tidak merasa ada yang salah ya. Entahlah.
Apakah
gangguan jiwa bisa disembuhkan? Tergantung pada banyak faktor. Tingkat
keparahan gangguan, lamanya, kepatuhan minum obat dari psikiater (biasanya
memang mereka memerlukan pengobatan), dan -paling penting- dukungan sosial
(keluarga, teman, lingkungan kerja). Semakin positif lingkungan sosialnya, maka
akan mempercepat proses rehabilitasi mereka. Memindahkan mereka ke lingkungan
baru diperlukan juga. Klien saya yang lainnya, saya minta dia pindah dari rumah
orangtuanya. Untuk mencegah "penularan" lebih parah. Proses
penyimpangan berpikirnya sudah mulai mengganggu aktivitas hidupnya karena
terkena "paparan" distorsi kognitif yang dilakukan orangtuanya. Bila
kondisi tersebut diteruskan, bukannya tidak mungkin anak itu akan meningkat
keparahan gangguannya. Di sinilah dilema biasanya terjadi. Anak-anak yang
seumur hidup tinggal bersama orangtuanya merasa bersalah dan seolah-olah
menjelma menjadi anak durhaka bila meninggalkan orangtuanya.
Sedangkan
orangtuanya berperilaku seolah-olah tidak berdaya tanpa anak-anaknya itu.
Mereka akan berpura-pura sakit (malingering), mengiba-iba, bahkan marah meluap
dengan kata-kata makian. Anak akan merasa makin tidak berdaya untuk pergi dari
rumah menuju lingkungan baru. Peran psikolog penting pada tahap ini.
Sumber:
Psikolog Naftalia Kusumawardhani, Gangguan
Jiwa Karena Diajari Berbohong oleh Orang Tua, Kompas, 28 November 2015,
Hal:1
0 komentar:
Posting Komentar