Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
KEKECEWAAN
mereka
bertambah karena bahan untuk baju pernikahan yang dipesan juga tidak sesuai
dengan yang telah disepakati. Tidak hanya itu, si perancang busana juga belum
bisa mengerjakan pesanan dari calon pengantin itu memutuskan untuk tidak
melanjutkan pengerjaan baju pengantin mereka.
Perancang busana yang telah
mengecewakan pasangan calon pengantin pada kisah ini dapat diibaratkan sebagai
sebuah perusahaan yang tidak bisa memberikan pelayanan yang sesuai dengan
permintaan pelanggannya. Akibatnya, pelanggan menjadi kecewa dan dapat
memutuskan untuk tidak menggunakan kembali produk atau jasa dari perusahaan
tersebut.
Kembali ke cerita di awal,
pada akhirnya, calon pengantin tersebut pindah ke butik lain yang
direkomendasikan oleh temannya. Di butik lain ini, baju pernikahan mereka dapat
selesai sesuai dengan waktu yang disepakati dan mereka sangat puas akan hasil
yang dibuat karena sesuai dengan desain, bahan, dan ukuran yang telah disepakati.
Dengan rasa penasaran dan puas akan pelayanan dari pemilik butik, mereka
menanyakan ke pemilik butik mengenai cara pengerjaan baju pengantin yang bisa
sesuai dengan keinginan pelanggan.
Pemilik butik yang sekaligus
perancang busana di butik itu menyampaikan bahwa ia sangat memperhatikan setiap
proses pengerjaan baju yang dikerjakan oleh para penjahitnya. Pemilik butik
selalu menjaga konsistensi dari setiap proses tahapan pengerjaan baju yang
dijahit agar sesuai seperti yang sudah ia tentukan. Selain itu, apabila
terdapat pesanan yang harus selesai lebih cepat dari pemesanan yang biasanya,
pemilik butik akan melihat terlebih dahulu berdasarkan bahan yang digunakan,
tingkat kesulitan, dan waktu penyelesaian yang diinginkan pelanggan.
Perilaku pemilik butik yang
sangat memperhatikan setiap proses pengerjaan baju pengantin yang dipesan oleh
pelanggannya bisa menjadi cermin bagi perusahaan yang ingin mendapatkan
kepuasan dari pelanggan. Kesepakatan pemilik butik dengan pelanggan, baik dari
jenis bahan, desain, maupun lama pengerjaan merupakan contoh dari sevice level agreement (SLA) eksternal
yang diterapkan oleh pemilik butik. Tidak hanya penerapan SLA eksternal,
pemilik juga menerapkan SLA internal antarkaryawan pada proses pengerjaan
bahan, penjahitan pakaian, sampai penyelesaian.
Banyak perusahaan saat ini
masih beranggapan bahwa SLA hanya perlu diterapkan untuk pelanggan eksternal.
Padahal, pencapaian SLA eksternal sangat tergantung dari kelancaran
proses-proses yang dilakukan di internal perusahaan. SLA eksternal mengacu pada
proses utama atau output ke pelanggan.
Keberhasilan penerapan SLA
didukung dengan adanya kegiatan pemantauan secara berkala untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dan peningkatan yang dapat dilakukan agar kualitas proses
dan output yang dihasilkan dapat semakin baik. Semuanya ini tentunya
membutuhkan komitmen dari setiap pemimpin unit kerja untuk dapat berjalan
dengan lancar dan memberikan manfaat bagi perusahaan dan kepuasan pelanggan.
Sumber
Tulisan:
Maryunikel, Egha. 2015. Ketidakjelasan
Pelayanan yang Berujung pada Kekecewaan Pelanggan. Kompas, 14 November.
0 komentar:
Posting Komentar