RINGKASAN
ARTIKEL: KENAKALAN PELAJAR KINI TAK SEGAN PAKAI SENJATA TAJAM
Chusnul
Rizatul Unsha
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Seringnya tawuran pelajar
terjadi di wilayah Sleman, tak tanggung-tanggung para oknum pelajar berkelahi
antarsekolah ini membekali diri mereka dengan senjata yang membahayakan, bahkan
bisa menghilangkan nyawa. Seperti yang terjadi beberpa pekan lalu di Triharjo
Sleman. Masyarakat resah karena melihat dua kelompok pelajar berkumpul, lalu
melaporkannya kepada polisi. Begitu polisi datang puluhan pelajar tunggang
langgang.
Fenomena tawuran dikalangan
pelajar di Panasan pekan lalu itu di telusuri oleh Tribun Jogja. Disimpulkan bahwa beberapa pelajar yang ikut dalam
kelompok tersebut tidak tahu menahu tentang awal permasalahan antarsekolah
tersebut hingga menimbulkan permusuhan antarsekolah. Bahkan mereka mengakui
kalo saja berhadapan sendiri-sendiri belum tentu berani. Siswa-siswa itu
berkelompok untuk menghadang siswa lain. Salah satu siswa (Deden) mengaku ada
peran alumnus dalam memberi doktrin kepada adik kelas. Deden mengakui bahwa ada
kepuasan tersendiri saat melukai lawan.
Lain halnya dengan kasus
Gondes di Banguntapan Bantul yang mengaku semasa SMA dia sering dimintai tolong
untuk menyerang lawan sekolah lain. Bahkan adik-adik kelasnya mau diajak
tawuran meski tak tau pokok permasalahannya. Dia sering berkelahi secara
individu supaya namanya tenar. Dengan begitu semakin dihargai dikalangan teman
sekolahnya ataupun sekolah lain.
Fenomena masayarakat seperti
ini adalah bidangnya pembahasan psikologi. Mulai dari psikologi sosial sampai
psikologi kepribadian. Para pelajar ini memiliki penyimpangan perilaku sosial
yang negatif akibat konformitas yang terjadi di lingkungannya belajar. Apa yang
mereka lakukan untuk sebuah ketenaran dan kepuasan yang dilakukan dengan cara
yang tidak benar. Sebuah eksistensi dari para remaja yang didapatkan melalui
kekerasan merupakan sebuah tindakan yang menyimpang. Ingin perhatian lebih yang
bisa jadi tidak ia dapatkan dari tempat yang ia harapkan mendapat perhatian
lebih. Emosi remaja terhadap konformitas memang sangat labil dalam usia-usia
SMA. Karna pada masa ini, seorang anak mengalami proses Social Competition,
yang mana anaka akan ingin terlihat menonjol dan berkompetisi.
Sumber tulisan:
nto. (2015). Berkelahi Untuk
Eksistensi . Tribun Jogja , 11
Desember
0 komentar:
Posting Komentar