1.1.16

"Daya Lenting"



Jati Pramono
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta



KALAU perusahaan mengalami kejatuhan, kita mungkin masih bisa membayangkan. Namun, jika yang mengalami kejatuhan adalah Negara, reaksi kita akan berbeda. Yunani, yang dipandang oleh banyak orang sebagai tempat wisata yang menyenangkan, tiba-tiba menyatakan diri tidak bisa membayar utang-utangnya. Dampaknya segera menyebar ke seantero Eropa, bahkan juga secara global.


Bila saat ini di Indonesia kita melihat grafik penurunan angka penjualan, angka ekspor, atau nilai tukar rupiah, kita pun perlu merasa was-was dan bisa saja menjadi pesimistis. Kita pun pasti menyadari bahwa keterpurukan pasti mengecewakan dan menyakitkan. Hal ini bahkan sudah diakui para CEO perusahaan besar, dan bahkan Presiden sendiri. 

Para pengusaha dan para wirausaha, apalagi yang tergolong start-up, setidaknya sudah menyadari adanya data statistik yang menyatakan bahwa dua pertiga dari perusahaan start-up sudah lenyap pada tahun ke-2, dan hanya 45 persen diantaranya yang bisa bertahan untuk berulang tahun yang ke-4. Tentunya, sisa yang bertahan ini mempunyai kekuatan bangkit yang besar dan nyata terjadi, berkali-kali jatuh, berkali-kali pula bangun. Kita banyak membaca dan mendengar cerita bouncing back ini. Juga, bila kembali ke basic, yaitu mekanisme pasar, kita juga melihat bahwa transaksi hal-hal yang basic tetap berjalan dan bisa membuat dunia usaha tetap aktif.

Kesuksesan start-up seperti Go-Jek langsung didera kompetisi dan kita pun pasti akan bertanya-tanya akankah perusahaan yang ngehits ini bertahan? “We cannot predict the future. But we can create it.” Demikian pendapat pakar manajemen ternama Jim Colins.

Buang pesimisme
Beberapa hari terakhir, media social dihiasi dengan gambar Sungai Ciliwung yang sudah bersih. Ini merupakan gejala yang sangat baik, karena gerutu maupun caci maki kapan pun dan dimana pun, sungguh tidak akan membangkitkan tenaga, apalagi inspirasi untuk bangkit.
Apa yang bisa membuat sungai jadi sebersih itu? Singkat kata, optimise pemimpin sangat penting. Selain itu nilai-nilai yang dianut pemimpin perlu membuat pengikut, bahkan masyarakat luas, mempraktikkannya. 

Ketidaknyamanan dalam keprihatinan       
Siapa pun akan merasa tidak nyaman bila tiba-tiba harus berubah prihatin. Kalau dulu menggunakan tisu sesukanya, sekarang dibatasi seperlunya. Kalau dulu berlonggar-longgar di kelas bisnis, sekarang meniru Presiden, kita siap bersempit ria di kelas ekonomi, sekarang meniru Presiden, kita siap bersempit ria di kelas ekonomi. 

Peningkatan daya mawas diri
Perjalanan dinas ke luar negeri atau susulan kenaikan gaji pejabat sebenarnya sekadar menunjukkan betapa individu sering tidak melakukan praktik refleksi intensif. Untuk menjadi sukses, individu tetap harus menjaga esadarann diri tingkat tinggi, apalagi menghadapi terpaan turbulensi lingkungan politik, sosial maupun ekonomi. 

Di sinilah EQ seseorang berperan, tanpa kekuatan emosi, orang tidak bisa memimpin, apalagi mengatur ‘emosi’ bawahan maupun rakyatnya. Kekuatan emosi membutuhkan banyak latihan intensif secara individual. Semakin tidak rajin berlatih, semakin bebal seseorang dan sulitnya, keadaan ini tak dapat diperbaiki secara instan. Kita lihat, menanggulangi krisis atau membangkitkan daya lenting, banyak bisa dijawab oleh latihan mental, nilai yang kuat, dan gaya hidup.

Sumber Tulisan:
Rachman, Eileen dan Tanujaya, Edward. 2015. Daya Lenting. Kompas, 03 Oktober.



0 komentar:

Posting Komentar