Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
KALAU
perusahaan mengalami kejatuhan, kita mungkin masih bisa membayangkan. Namun,
jika yang mengalami kejatuhan adalah Negara, reaksi kita akan berbeda. Yunani,
yang dipandang oleh banyak orang sebagai tempat wisata yang menyenangkan, tiba-tiba
menyatakan diri tidak bisa membayar utang-utangnya. Dampaknya segera menyebar
ke seantero Eropa, bahkan juga secara global.
Bila saat ini di Indonesia
kita melihat grafik penurunan angka penjualan, angka ekspor, atau nilai tukar
rupiah, kita pun perlu merasa was-was dan bisa saja menjadi pesimistis. Kita
pun pasti menyadari bahwa keterpurukan pasti mengecewakan dan menyakitkan. Hal
ini bahkan sudah diakui para CEO perusahaan besar, dan bahkan Presiden sendiri.
Para pengusaha dan para
wirausaha, apalagi yang tergolong start-up, setidaknya sudah menyadari adanya
data statistik yang menyatakan bahwa dua pertiga dari perusahaan start-up sudah
lenyap pada tahun ke-2, dan hanya 45 persen diantaranya yang bisa bertahan
untuk berulang tahun yang ke-4. Tentunya, sisa yang bertahan ini mempunyai
kekuatan bangkit yang besar dan nyata terjadi, berkali-kali jatuh, berkali-kali
pula bangun. Kita banyak membaca dan mendengar cerita bouncing back ini. Juga,
bila kembali ke basic, yaitu mekanisme pasar, kita juga melihat bahwa transaksi
hal-hal yang basic tetap berjalan dan bisa membuat dunia usaha tetap aktif.
Kesuksesan start-up seperti
Go-Jek langsung didera kompetisi dan kita pun pasti akan bertanya-tanya akankah
perusahaan yang ngehits ini bertahan? “We cannot predict the future. But we can
create it.” Demikian pendapat pakar manajemen ternama Jim Colins.
Buang
pesimisme
Beberapa hari terakhir,
media social dihiasi dengan gambar Sungai Ciliwung yang sudah bersih. Ini
merupakan gejala yang sangat baik, karena gerutu maupun caci maki kapan pun dan
dimana pun, sungguh tidak akan membangkitkan tenaga, apalagi inspirasi untuk
bangkit.
Apa yang bisa membuat sungai
jadi sebersih itu? Singkat kata, optimise pemimpin sangat penting. Selain itu
nilai-nilai yang dianut pemimpin perlu membuat pengikut, bahkan masyarakat
luas, mempraktikkannya.
Ketidaknyamanan dalam keprihatinan
Siapa
pun akan merasa tidak nyaman bila tiba-tiba harus berubah prihatin. Kalau dulu
menggunakan tisu sesukanya, sekarang dibatasi seperlunya. Kalau dulu
berlonggar-longgar di kelas bisnis, sekarang meniru Presiden, kita siap
bersempit ria di kelas ekonomi, sekarang meniru Presiden, kita siap bersempit
ria di kelas ekonomi.
Peningkatan daya mawas diri
Perjalanan
dinas ke luar negeri atau susulan kenaikan gaji pejabat sebenarnya sekadar
menunjukkan betapa individu sering tidak melakukan praktik refleksi intensif.
Untuk menjadi sukses, individu tetap harus menjaga esadarann diri tingkat
tinggi, apalagi menghadapi terpaan turbulensi lingkungan politik, sosial maupun
ekonomi.
Di
sinilah EQ seseorang berperan, tanpa kekuatan emosi, orang tidak bisa memimpin,
apalagi mengatur ‘emosi’ bawahan maupun rakyatnya. Kekuatan emosi membutuhkan
banyak latihan intensif secara individual. Semakin tidak rajin berlatih,
semakin bebal seseorang dan sulitnya, keadaan ini tak dapat diperbaiki secara
instan. Kita lihat, menanggulangi krisis atau membangkitkan daya lenting,
banyak bisa dijawab oleh latihan mental, nilai yang kuat, dan gaya hidup.
Sumber Tulisan:
Rachman,
Eileen dan Tanujaya, Edward. 2015. Daya Lenting. Kompas, 03 Oktober.
0 komentar:
Posting Komentar