20.12.15

Ringkasan Artikel :Kita Terus Belajar Saling Menghargai

Muji Pambudi
Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Setelah Indonesia merdeka tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya 17 Agustus 1945 ternyata masih
masih banyak ditemui gesekan gesekan yang berhubungan dengan perbedaan agama, suku, ras dan golongan di berbagai daerah. Pemicu awalnya bisa berupa gesekan kepentingan lokal, soal politik atau ekonomi yang akhirnya bisa melebar ke SARA.
            Pemerintah sebenarnya sudah membentuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota, tetapi memang peran dan langkah-langkah dari FKUB belum berjalan sesuai harapan. Selain pemerintah peran para tokoh agama yang berwawasan nasionalis juga selain diperlukan untuk membimbing umatnya dan lepercayaannya, tetapi juga mampu bekerja sama dengan agama lain.
            Menurut  Sekretaris Dewan Setara Institute Benny Susetyo dalam seminar "Peran Pemimpin Agama dalam Merawat Perdamaian Maluku di Indonesia: Sebuah Pembelajaran dari Ambon, Maluku" di Jakarta, Kamis (3/12),mengatakan  "Mereka (FKUB) kadang menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Padahal, di beberapa wilayah, pemerintah juga kurang bisa mengayomi rakyat," agamawan nasionalis harus bisa mengedepankan kepentingan bangsa ketika berada di forum antarumat beragama. Dengan begitu, mereka bisa menjadi bagian dari penyelesaian masalah.
            Keberadaan dan fungsi FKUB  gaungnya tidak begitu terdengar oleh public karena hubungan dengan masyarakat juga tidak terlalu dekat. Sementara ini keberadaan FKUB di daerah konflik seperti Ambon, Poso, Sulawesi Tengah mendapatkan ujian cukup serius dimana konflik sebenarnya dipicu oleh soal-soal lain di luar agama, tetapi kemudian dikaitkan dengan sentimen agama sehingga meluas dan mendorong gesekan keras. "Agama disalahgunakan sebagai cara memobilisasi massa dan memicu konflik yang menyalahi fungsi agama sebagai pendamai," kata Manajer Proyek Sistem Nasional Pemantau Kekerasan THC
Saat ini perlu adanya kreativitas dari para tokoh agama untuk memupuk kerukunan antar umat di lapangan.  Saat ini di Maluku, umat beragama bergiat tidak hanya dalam dialog teologi, tetapi juga bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai kelompok umat agama berbeda kini semakin sering bersama-sama membersihkan rumah ibadah atau perkampungan. Sehingga potensi konflik tidak terjadi karena adanya rasa kebersamaan.
Kompas edisi 7 Desember 2015, "Kita Terus Belajar Saling Menghargai".




0 komentar:

Posting Komentar