Restu
Wahyuningtyas
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Pada masa sekarang
anak-anak sudah mulai dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan sejak
bayi pembedaan sudah mulai dilakukan seperti misalnya pemilihan warna baju
untuk anak perempuan lebih pada warna yang lembut seperti merah muda, kuning.
Sedangkan pada anak laki-laki, orang tua mulai memilihkan warna-warna yang
lebih berani seperti merah, biru. Perilaku orang tua memilihkan warna-wana baju
merupakan sarana untuk mengajarkan pada anak tentang peran gender. Perempuan
digambarkan sebagai seseorang yang feminin sedangkan laki-laki digambarkan
sebagai seseorang yang maskulin. Hal itu merupakan keyakinan unik kita tentang
atribut suatu kelompok orang seperti kelompok wanita dan pria. Keyakinan yang
seperti itu merupakan personal stereotype
(Taylor, Peplau dan Sears, 2009).
Berdasarkan
teori pembelajaran sosial (social
learning theory) yang dikemukakan dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy (1997),
para ahli teori pembelajaran sosial mempercayai bahwa perempuan belajar menjadi
feminine dan lelaki belajar menjadi masculine dilatarbelakangi oleh dua hal.
Pertama, anak-anak menerima reward dan
punishments mengenai perilaku
spesifik peran jender. Seperti misalnya pada anak perempuan, ketika mereka
mengenakan baju-baju warna yang lembut seperti merah muda maka orang-orang
dewasa disekitarnya akan sering memberikan barang-barang lain dengan warna yang
senada. Hal ini merupakan bentuk dukungan kepada anak untuk menjadi seorang
yang lemah lembut sesuai dengan anggapan bahwa warna merah muda adalah warna
yang lembut.
Kedua,
anak-anak mengimitasi perilaku dari orang lain (Bandura, 1989; Jacklin, 1989,
Maccoby dan Jacklin, 1974; Tavris, 1992 dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy,
1997). Terdapat beberapa faktor menentukan apakah seseorang akan belajar dari
suatu model atau tidak (Feist & Feist, 2010). Salah satunya adalah
karakteristik model sangat penting. Dari uraian mengenai pemilihan warna
pakaian pada anak oleh orang tua diatas, orang tua adalah sebagai model anak
dalam melakukan imitasi perilaku. Misalnya ketika ibu yang merupakan orang tua
perempuan mengenakan pakaian dengan warna yang lembut, maka anak perempuannya
juga akan memilih warna-warna lembut. Selain itu perilaku imitasi juga
diperoleh dari pembiasaan orang tua ketika anak masih dipilihkan warna-warna
tertentu untuk pakaiannya.
Pengendalian
yang mungkin dilakukan adalah orang tua mengajarkan pada anaknya tentang sifat feminine dan masculine. Hal ini dimaksudkan agar anak mengetahui bagaimana
baiknya menjadi seorang individu laki-laki atau individu perempuan. Sesuai
dengan teori pembelajaran sosial yang menekankan pada kekuatan dalam situasi
yang terjadi dan perilaku-perilaku (Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997).
Prediksi
saya ketika orang tua mampu melakukan pengendalian tersebut adalah orang tua
akan menjadi model yang baik bagi perilaku imitasi dari anaknya. Karena seperti
yang diungkapkan dalam teori pembelajaran sosial, salah satu yang dapat melatar
belakangi anak dalam belajar menjadi feminine atau maskulin adalah dari imitasi
perilaku orang lain (Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997).
Referensi
Huffman, K. Vernoy, M., Vernoy, J.
(1997). Psychology in action.(4th
ed). Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Taylor, E. S., Peplau, L. A., Sears,
D. O. (2009). Psikologi sosial edisi
keduabelas. Terj. Wibowo, T. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Feist, J., Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian (edisi 7). Handriatno
(Terj.). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
0 komentar:
Posting Komentar