Mengembalikan Marwah KPK
Joko
Prambudiyono
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Kompas Senin 13 Juli 2015
Pada 2 Juli 2015 KPK memanggil
Bupati Morotai Rusli Sibuka untuk diperiksa kasus sengketa pilkada di Mahkamah
Kostitusi. Namun, saat itu ia tidak hadir dengan alas an meminta penundaan
pemeriksaan. KPK kembali memanggil Rusli, tetapi tidak datang lagi dengan alas
an ketidakhadirannya saat itu karena tengah mengajukan permohonan praperadilan
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapannya sebagai tersangka.
Melihat alas an Rusli, keesokkannya
penyidik KPK menjemput paksa di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Rusli kemudian
diperiksa selama 6,5jam. Setelah itu ia langsung ditahan. Tak jauh berbeda
dengan Rusli, KPK juga menahan Wali Kota Makasar Ilham Arief Sirajuddin. Sebelumnya,
ia sempat mengajukan permohonan praperadilan di tempat yang sama atas penetapan
statusnyasebagai tersangka oleh KPK. Ia menyatakan langkah KPK menetapkan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah, karena
dinilai oleh Hakim PN Jakarta Selatan menyatakan tak cukup bukti menetapkan
Ilham sebagai tersangka.
Sebelum Rulsi dan Ilham ditahan, ada
satu kepala lagi yang ditahan KPK setelah diperiksa yaitu Bupati Empat Lawang,
Provinsi Sumatera Selatan, Budi Antoni. Budi dan Suzanna menjadi tersangkah
karena terjerat kasus dugaan korupsi terkait sengketa pemilihan kepala daerah
di Mahkamah Konstitusi (MK). Tak seperti tersangka yang lain yang sering
mangkir, budi dan Suzanna langsung datang memenuhi panggilan pertama
pemeriksaan mereka sebagai tersangka.
Padahal belum seminggu keduanya diumumkan KPK sebagai tersangka. Namun
setelah keduanya diperiksa, KPK pun langsung menahan mereka.
Ketegasan KPK terhadap sejumlah
kepala daerah dan mantan kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi ini
seperti hendak menyatakan, marwah lembaga anti korupsi ini harus dikembalikan.
Kekalahan KPK dalam tida kalli siding praperadilan yaitu dalam permohonan yang
diajukan Budi Gunawan, Dirjen Pajak Hadi Poernomo, membuat sejumlah tersangka
korupsi yang ditetapkan KPK juga mencoba mengajukan permohonan praperadilan.
Menghadapi hal ini, KPK menyadari
dibutuhkan sinyal ketegasan agar para tersangka yang mereka tetapkan tak
menganggap KPK mudah dikalahkan sebagaimana dalam beberapa kali “pertarungan”
praperadilan. Hanya saja, ketegasan ini baru tampak pada tersangka dengan
kekuatan ini baru tampak pada tesangka dengan kekuatan politik yang terlalu
besar.
0 komentar:
Posting Komentar