Murjiwantoro
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Perguruan Tinggi
adalah suatu pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik
perguruan tinggi disebut mahasiswa sedangkan tenaga pendidik disebut dosen.
Dosen wajib memikul tiga tugas sekaligus yaitu mengajar, meneliti, dan melakukan
kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tugas yang dirumuskan dalam konsep
Tri Dharma Perguruan Tinggi wajib dijadikan napas setiap perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta. Kinerja dosen dan reputasi sebuah perguruan tinggi diukur
dari seberapa jauh ketiga dharma dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi,
dan proposional. Kondisi dimana Perguruan Tinggi yang semakin
terindustrialisasikan, apakah seorang dosen dimungkinkan menjalankan tiga
dharma itu secara semestinya? Perguruan Tinggi yang semakin
terindustrialisasikan adalah pengelolaan Perguruan Tinggi yang semakin
digerakkan nalar bisnis, yaitu cost and
benefit analysis secara finansial. Perguruan Tinggi tak boleh menjadi
lembaga yang berorientasi mencari laba, tetapi mendapatkan keuntungan materiil
bukanlah hal yang dilarang.
Wujud konkret dari
pengelolan Perguruan Tinggi yang digerakkan nalar bisnis adalah kebijakan
pembukaan atau penutupan suatu program studi. Pembukaan dan penutupan suatu
program studi yang terjadi disebagian besar Perguruan Tinggi di Indonesia, baik
negeri maupun swasta, bergantung pada situasi pasar tenaga kerja. Apakah
konsekuensinya bagi dosen bila Perguruan Tinggi dikelola dengan nalar bisnis dan mentalitas? konsep
mulia Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi sesuatu yang nyaris tak mungkin
dilaksanakan dengan semestinya. Hal yang hampir selalu terjadi pada
program-program studi yang tengah laku keras adalah tidak memadainya
perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio
dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya, banyak dosen yang beban
mengajar serta jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiahnya makin tak masuk akal.
Bila seorang dosen harus mengampu 7 sampai 9 mata kuliah per semester dalam
belasan kelas pararel, dan jumlah bimbingan
penulisan tugas ilmiah, sekripsi, tesis, dan disertesis yang mencapai
puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melakukan penelitian dengan
semestinya? Mengajar pun menjadi mekanistis, tak ubahnya putar ulang materi
yang telah di susun sekian tahun sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah
bimbingannya pun jelas tidak mungkin bisa cermat dan mendalam. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat mungkin masih sanggup dilakukan, tetapi barangkali
hanya formalitas sekaligus tak lebih dari sekedar variasi dari rutinitas
kegiatan kampus.
Kesimpulannya adalah
Tri Dharma Perguruan Tinggi memang bisa berjalan, tetapi tidak lebih dari
formalitas belaka. Bukan karena para dosen enggan melaksanakannya, tetapi lebih
karena akibat kondisi struktural Perguruan Tinggi yang semakin digerakkan nalar
bisnis. Bagaimana solusinya? Solusinya ada dua pilihan, tuntutan yang ideal itu
disederhanakan, atau kondisi riil yang ada dibuat kondusif bagi terwujudnya
tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua, hanya mungkin bila kebijakan yang cenderung
melepas Perguruan Tinggi kedalam mekanisme pasar direm, dan pemerintah kembali
menjadi penanggung jawab utama penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Sumber
tulisan
: Budiawan, (2015) Perguruan Tinggi Kian Terindustrialisasikan. Kompas, 11 Juni 2015. Hal 7
0 komentar:
Posting Komentar