22.10.15

MEMAKNAI PENDIDIKAN NASIONALISME DI INDONESIA

 

MEMAKNAI PENDIDIKAN NASIONALISME DI INDONESIA

Jati Pramono

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta


 

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.

Pendidikan di sekolah/kampus merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat). Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa dan karsa.Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.

Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.

Dalam trilogi pendidikan tersebut, seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang (menikmati paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru  harus mampu membangkitkan motivasi (memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir dan batin bagi anak didiknya.

Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan.Kalau pendidikan sudah masuk dalam dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan.Dalam hal pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis serta berdaya dan berbudaya.

Pendidikan harus diperbaharui (Charles Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002)

Melalui sistem among, Tamansiswa  meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi  Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak pernah jadi penganggur”

Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain) secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi korban keadaan dan lingkungan.Menguasai perubahan ketimbang melawannya.

Abad prestasi berada dalam genggaman kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib dari Nicholl;325- 2002)

Sistem pendidikan sekarang yang dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional.Sehingga Ketika sebuah negara sepertiIndonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja?Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?

Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian (masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh Indonesia.  Jadi apakah pendidikan itu?Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?

Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%.Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia.

Seorang manusia yang berpikir dan mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari Nicholl; 53- 2002)

Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa.Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan.Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi.Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat.Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.

Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien)

Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.

Pendidikan bukanlah indoktrinisasi pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini.Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah.Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya.Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.

Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak?Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan.Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.

Pendidikan yang diterapkan disekolah maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan, contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum lagi  dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan mengukur kelulusan.

Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar)

Dikampus banyak terjadi permasalahan yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori. Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa yang mereka pelajari.

Para pelajar boleh jadi belajar dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan pasif mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.

Melalui tindakan anda menciptakan pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002)

Jangan bikin aku berjalan ketika aku ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002)

Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di  univesitas berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian, begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu? “Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar, ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut nama baik univesitas tersebut  didunia kerja nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini.

Lebih-lebih pada zaman sekarang ada pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak mendidik.Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.  Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan.

Maka dari itu perlunya solusi yaitu mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”

Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan.Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi.Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah anak didik.Akan tetapi, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik.Oleh sebab itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat Among Sistem.Yakni sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas anak didik.Pada zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas serta karya anak didiknya.

Guru wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa,maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan,  tut wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal agar gagal.

Ada beberapa ajaran dari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya.Tingkat kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan tanaman menjadi pusat perhatian guru.

Tukang kebun hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenisnya.Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran.Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik.

Menurut Ki Hajar Dewantara, tukang kebun tidak boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu pengetahuan itu.Namun yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya (potensinya).

Seperti yang telah di ungkapkan oleh Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalahbelajar bagaimana belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan keyakinan dirinya meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri.

Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.

 

Daftar Pustaka :

Al Hakim, S. Dkk. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan: Dalam Konteks Indonesia. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Hardi. 1988. Meningkatkan Kesadaran Nasional. Jakarta: PT.Mufti Harun.

Madjid, N. 2004. Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Taniredja, T. Dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Penerbit Alfabeta Bandung

 

 

0 komentar:

Posting Komentar